Liputan6.com, Jakarta Setiap orang memiliki mimpi, termasuk Adi Utarini, seorang Guru Besar Kesehatan Masyarakat Universitas Gadjah Mada. Ia bermimpi membasmi demam berdarah di Indonesia.
Ya, demam berdarah masih menjadi penyakit momok di Indonesia setiap tahun. Pada tahun 2020, hingga Juli tercatat 71 ribu kasus demam berdarah dengan jumlah kematian 459 berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI. Dan, Profesor Uut begitu ia disapa sedang berupaya mewujudkan mimpinya. Begini kisahnya seperti sudah dituliskan di The Conversation berikut ditulis Ika Krismantari, Prodita Sabarini, dan William Reynold.
Advertisement
Perempuan berusia 65 tahun yang akrab disapa Prof Uut adalah seorang ilmuwan hebat Indonesia di balik penelitian yang mampu membasmi nyamuk demam berdarah sejak 2011 di Yogyakarta.
Penelitian Prof Uut mampu merekayasa dan membiakkan nyamuk penyebar virus demam berdarah Aedes aegypti, yang mengandung bakteri Wolbachia. Bakteri ini terbukti membuat nyamuk tidak bisa mentransfer virus demam berdarah ke manusia.
“Jadi kita sudah berawal dari telur yang sudah ber-wolbachia, yang kemudian ini kita ternakkan dan kembangkan dengan nyamuk lokal sedemikian rupa, sehingga secara fisik, secara genetik, ini memang match nyamuk lokal dan kemudian they fall in love each other (mereka saling jatuh cinta),” tutur Prof Uut disusul tawa kecil.
Setelah hampir 10 tahun, proyek penelitian tersebut berhasil menurunkan 77 persen kasus demam berdarah di kawasan Yogyakarta pada Agustus lalu.
Keberhasilan ini membuat Prof Uut mendapat Habibie Awards. Ini adlah sebuah penghargaan yang diberikan kepada ilmuwan yang aktif dan berjasa dalam penemuan, pengembangan, dan penyebarluasan inovasi pada tahun 2019.
Penelitian yang menjadi bagian dalam program pengentasan nyamuk di tingkat global juga telah berhasil dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine, Inggris.
Tidak Ada Kata Menyesal dalam Setiap Perjalanan Hiduo
Kata menyesal tidak pernah tersirat bagi Prof Uut dalam setiap perjalanan hidupnya. Suka duka penelitian demam berdarah hingga pengalaman harus menjadi pasien COVID-19 yang akhirnya merenggut nyawa suaminya, Guru Besar UGM Iwan Dwiprahasto yang mengajarkannya tentang hal itu.
Mengingat kembali peristiwa itu, terasa berat bagi Prof Uut untuk bisa menerima keadaan dan juga harus memberi penjelasan kepada keluarga lingkungan sekitar.
Prof Uut melakukan berbagai cara untuk bisa menghadapi dan menerima cobaan tersebut secara tulus. Menulis jurnal adalah salah satu hiburan dalam kesehariannya di ruang isolasi ketika menjadi pasien COVID-19.
Lewat ujian ini, ia pun semakin menyadari betapa pentingnya setiap dukungan, termasuk relasi yang lebih intens kepada Sang Pencipta.
“Yang tadinya tidak terlalu padat hubungannya dengan Tuhan, sekarang jadi lebih macet mungkin”, tuturnya.
Selama menjalani isolasi, Prof Uut menyadari pentingnya dukungan dari orang-orang sekitar seperti teman, keluarga, kolega, dan bahkan tenaga kesehatan dalam kesembuhan pasien COVID-19.
Pengalamannya itu menginspirasinya untuk menulis dan menerbitkan artikel ilmiah tentang pelayanan kesehatan pada pasien COVID-19 yang berpusat pada orang-orang terdekat.
Setelah sembuh dari COVID-19, banyak yang berubah dalam diri Prof Uut. Salah satunya adalah muncul kebiasaan baru untuk mengikuti senam bersama dengan tetangga sekitar.
“Saya sangat berterima kasih ke ibu-ibu tetangga saya yang selama pandemi mempunyai kebiasaan senam di luar, di jalan saban hari, saban hari, lho,” ujarnya.
Advertisement
Berawal Ingin Jalan-Jalan ke Wilayah Terpencil
Awal mula ketertarikan Prof Uut di bidang kesehatan yakni agar bisa ingin jalan-jalan ke daerah terpencil di Indonesia.
“Awalnya sih pengen jadi dokter seperti biasa itu kan artinya bekerja di klinik ya, bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan gitu. Nah, saat itu saya pengin banget kerja di Puskesmas, saya ingin banget kerja di Puskesmas. Asyik aja, bisa pergi, agak jauh kemudian bisa bergaul dengan masyarakat,” ujar perempuan ini.
Namun, sebagai putri paling kecil di keluarga, membuatnya harus berpikir ulang. Akhirnya, inspirasi dari mendiang ayahnya, Muhammad Ramlan, yang juga merupakan guru besar di Fakultas Sastra UGM menginspirasinya menjadi dosen dan akhirnya memutuskan terjun di bidang kesehatan masyarakat.
Selama perjalanan menempuh pendidikan ini, ia punya berbagai kenangan manis. Salah satunya ketika dia melakukan perjalanan ke daerah pelosok di Sumatera Barat.
“Perjalanan setengah hari nonstop tanpa henti, dan melewati sungai, batu-batuan, dan sebagainya untuk bisa sampai ke puskesmas yang paling pinggir. Nah, itu kayak gitu tuh haduh apa sangat seru,” kata Prof Uut.
Dengan jiwa petualangan yang tidak pernah mati, ibu satu anak ini juga menekuni kebiasaan barunya yakni bersepeda. Perlahan dari 3-10 menit, 15 menit, hingga bisa menempuh jarak paling jauh yakni dari Yogyakarta ke Madiun, Jawa Timur, sejauh 180 kilometer.
Bersepeda membuat Prof Uut lebih memaknai filosofi kehidupan untuk terus maju dan mengayuh meski ada suatu tantangan atau kendala.
“Kadang-kadang hidup ada tanjakan, ada turunan, but it’s everything will be okay as long kita mencoba keep rolling.”
Setelah sembuh dari COVID-19, Prof Uut pun kembali menata mimpi-mimpinya yang lain. Ia kini punya tekad untuk bisa naik haji, menulis, dan fokus pada keluarga. Ia juga ingin memperluas proyek Wolbachia ke berbagai daerah.
“Ya kita merencanakan yang terbaik tapi nanti Tuhan yang menentukan.”