Liputan6.com, Jakarta - Peringatan hari pahlawan pada 10 November identik dengan Surabaya, Jawa Timur sebagai Kota Pahlawan. Tak hanya itu, peran sejumlah tokoh nasional pun tak bisa dilepas dari peristiwa pertempuran di Surabaya sehingga mencetuskan hari pahlawan.
Penetapan Hari Pahlawan 10 November itu tertulis dalam surat Keputusan Presiden (Keppres) No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 yang ditandatangani oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno.
Selama ini mungkin nama Bung Tomo identik dengan pertempuran Surabaya. Namun, ada juga tokoh lainnya yang tidak kalah penting yaitu Gubernur Jawa Timur pertama yaitu Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo atau disebut juga Gubernur Suryo.
Baca Juga
Advertisement
Pria kelahiran Magetan pada 9 Juli 1898 ini putra dari Raden Mas Wiryosumarto, seorang ajun jaksa di Magetan. Setelah menamatkan pendidikan dasar di HIS, kemudian melanjutkan sekolah ke Sekolah Pamongpraja (OSVIA) di Magelang. Pada 1918, ia menyelesaikan pendidikan di OSVIA, dan selanjutnya bekerja sebagai pamong praja di Ngawi.
Ia juga pernah dipindahkan ke Madiun sebagai mantra Veldpolitie dua tahun kemudian. Pada 1922, ia mengikuti pendidikan polisi di Sukabumi, Jawa Barat.
Gubernur Suryo diangkat menjadi Gubernur Jawa Timur pada 5 September 1945. Ia ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur mempertimbangkan berbagai karier yang telah dijabat dalam lingkungan pegawai pamong praja yang telah berpindah-pindah tempat. Ia pernah ditempatkan di berbagai wilayah di Jawa Timur.
Saat diangkat menjadi gubernur, ia masih sibuk sebagai Residen Bojonegoro. Oleh karena itu, agar pemerintahan di Jawa Timur berjalan lancer, pada 6 Oktober 1945, Residen Sudirman diangkat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur dan merangkap sebagai Residen Surabaya.Demikian mengutip e-journal pendidikan sejarah berjudul Peran Doel Arnowo di Surabaya Tahun 1945-1952 karya Mita Indrawati.
Gubernur Suryo resmi memegang jabatan pada 12 Oktober 1945. Ia baru resmi memegang jabatan itu karena ia berurusan dengan pembentukan Pemerintah Republik Indonesia Daerah Karasidenan Bojonegoro.
Gubernur Suryo dinilai tidak bekerja secara individual melainkan kolektif bersama stafnya.Untuk membantu Gubernur Suryo menjalankan pemerintahan, ia menyusun staf gubernur untuk membantunya menjalankan dan mewujudkan kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Anggota staf itu terdiri dari Doel Arnowo, Roeslan Abdulgani, Mr Dwijoyosewoyo, Bambang Suparto, Subyantoro, dan Residen Sudirman sebagai wakil gubernurnya.
Ia dikenal memiliki karakter dan kepribadian yang tenang, penuh kematangan dan tegas berbeda jauh dengan tokoh nasional lainnya.
Selain itu, ia dikenal sebagai sosok tegas, berani, dinamis, berwibawa, dapat menguasai diri, dan selalu sadar dengan apa yang harus dan apa yang akan dikerjakannya. Ini ditunjukkan ketika ia dengan cepat menyusun staf gubernuran yang akan membantu tugas sebagai gubernur.
Sejarahwan Universitas Airlangga, Adrian Perkasa menuturkan, Gubernur Soerjo punya peran penting dalam pertempuran Surabaya. Akan tetapi, ia kalah terkenal dengan Bung Tomo.
"Jadi yang mendeklarasikan bahwa Surabaya harus dipertahankan itu Gubernur Suryo sebagai pimpinan tertinggi republik di Jawa Timur. Bung Tomo sendiri secara struktural tidak memegang jabatan apa-apa,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, lewat pesan singkat, Senin, (2/11/2020).
Menjelang hari pahlawan 10 November, Liputan6.com merangkum bagaimana peran Gubernur Suryo dalam pertempuran di Surabaya.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Tentara Inggris Tiba di Surabaya
Mengutip e-journal pendidikan sejarah dengan judul Kepemimpinan Gubernur Suryo selama pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, Senin (2/11/2020), Gubernur Suryo datang ke Surabaya pada momentum perjuangan Arek-Arek Surabaya sedang memanas, laskar-laskar atau badan perjuangan dan seluruh rakyat Surabaya siap melaksanakan amanat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Gubernur Suryo tiba ketika Arek-Arek Surabaya sedang bertempur melawan Jepang dan menghadapi gerakan infiltrasi dan aksi subversif tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration dalam kedok recovery of allied prisoners of war an internees (RAPWI) yang dipelopori Kapten Huijer.
Sekitar 23-25 Oktober 1945, tentara Inggris atas nama sekutu mendarat di Surabaya, tepatnya di Pelabuhan Tanjung Perak.
Beberapa hari sebelumnya pemimpin Surabaya telah menerima kawat dari Menteri Penerangan Mr Amir Sjarifudin dari Jakarta yang menerangkan sekitar 25 Oktober akan mendarat Tentara Inggris dengan tujuan melindungi dan mengungsikan para tawanan perang dan interniran, melucuti dan memulangkan tentara Jepang, dan memelihara ketertiban dan keamanan umum.
Pemerintah RI Daerah Jawa Timur diminta untuk menerima dengan baik. Pemimpin Surabaya pun menyanggupi permintaan Menteri Penerangan untuk menerima baik dan membantu tentara Inggris.
Pada saat itu juga di Kantor Gubernur Surabaya sedang ada rapat dari para Residen Jawa Timur di bawah pimpinan Gubernur Suryo.
Tentara Inggris atas nama sekutu mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak. Pasukan tentara Inggris terdiri dari dari Brigade ke-29 dari divisi ke-23 dengan 6.000 prajurit yang dipimpin oleh Brigjen A.W.S Mallaby.
Kemudian dilangsungkan perundingan antara Pemerintah RI dan sekutu pada 26 Oktober 1945. Pihak pemerintah RI hadir Doel Arnowo selaku ketua KNI Karasidenan Surabaya, Residen Sudirman dan tokoh penting lainnya. Dalam perundingan itu telah disepakati, pasukan sekutu boleh menggunakan beberapa bangunan di Surabaya.
Namun, pasukan Inggris tiba-tiba menjatuhkan selebaran oleh beberapa kapal udara Inggris. Intinya berisikan perintah kepada seluruh penduduk Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan Jepang kepada tentara Inggris.
Kedatangan tentara Inggris itu juga dibonceng pasukan NICA. Tentara Inggris melindungi kepentingan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.
Advertisement
Pertempuran Dipicu Tewasnya Brigadir Mallaby
Pada 26-27 Oktober, sekutu menduduki penjara Kalisosok dan melepaskan semua tawanan Belanda, termasuk Kapten Huijer Cs tanpa izin pihak Indonesia. Pada 27 Oktober, sesuai persetujuan, pasukan-pasukan Inggris diperkenankan menuju ke tempat-tempat interniran Belanda dan tawanan Jepang seperti di Darmo, Gubeng, Ketabang, Sawahan, dan Bubutan.
Kemudian rakyat diminta agar tidak menyerang pasukan Inggris, mereka mematuhinya meski dengan sedikit menggerutu, tetapi mereka percaya kepada tokoh-tokoh yang melakukan perundingan seperti Gubernur Suryo, Residen Sudirman, dan Ketua KNI Doel Arnowo.
Berbagai elemen perjuangan mulai dari para pelajar, mahasiswa dan tentara keamanan rakyat (TKR) berkonsolidasi menyerbu ke pos-pos tentara sekutu. Beberapa gedung dan pasar rusak berat menjadi sasaran kemarahan Arek-Arek Surabaya.Pertempuran pun terjadi pada 28 Oktober-30 Oktober 1945.
"Pemicunya ketegangan yang berlangsung terus menerus antara pihak Surabaya dengan sekutu. Awalnya kedatangan disambut baik karena hendak mengamankan tahanan perang saja," ujar Sejarahwan Universitas Airlangga, Adrian Perkasa.
Ia menuturkan, semakin lama banyak indikasi kalau sekutu dibonceng oleh tentara NICA Belanda, sehingga pihak Surabaya marah. Di sisi lain, pihak sekutu sebagai pemenang perang dunia tentu juga tidak tinggal diam mengingat situasi yang tidak menguntungkan.
"Apalagi banyak insiden yang meningkatkan konflik seperti naiknya bendera Belanda di hotel oranye pada September dilanjutkan dengan pertempuran tiga hari pada Oktober," ujar dia.
Perundingan antara Sekutu dan Indonesia
Arek-Arek Surabaya menghentikan serangannya atas perintah dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta yang datang langsung ke Surabaya. Kemudian diadakan perundingan antara Indonesia dan tentara Inggris di ruang kerja Gubernur Jawa Timur.
Pihak Indonesia diwakili oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta, Menteri Penerangan Mr.Amir Sjarifuddin, Gubernur Jawa Timur Suryo, Residen Surabaya Sudirman, Ketua KNI Daerah Surabaya Doel Arnowo, BKR/TKR dan badan perjuangan lainnya diwakili Sungkono, Atmaji, Sumarsono, Bung Tomo dan T.D Kundan.
Pihak Inggris diwakili oleh Mayjen D.C Hawthorn, Brigjen A.W.Mallaby, Kol Pugh, dan beberapa perwira Inggris lainnya. Hasil perundingan berisikan gencatan senjata dan pembentukan Badan Penghubung dan Kontak Biro.
Namun, perundingan antara pihak Indonesia yang diwakili Gubernur Suryo dan para stafnya dengan pihak sekutu tidak serta merta mencapai kesepakatan yang mengikat.
Kemudian puncaknya ketika Brigadir Jenderal Inggris A.W.S Mallaby tewas dalam pertempuran di Gedung Internatio. Tentara sekutu dengan Panglima Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) Letnan Jenderal Sir Philips Christison mengeluarkan ultimatum dalam bentuk pengumuman kepada orang Indonesia. Peringatan ini berisikan rencana sekutu untuk menggempur Surabaya dari darat, laut, dan udara.
Christison menyampaikan faktor-faktor dikeluarkannya peringatan itu, salah satunya kematikan Brigadir Mallaby dalam ekses di Gedung Internatio.
Secara diam-diam Inggris pun mengirim pasukan dan mendaratkan pasukan baru yakni divisi ke-5 Tentara Inggris di bawah pimpinan Mayor Jenderal E.C Manserg. Pada 9 November 1945, Inggris mengeluarkan dua dokumen antara lain ultimatum kepada semua orang Indonesia di Surabaya dan dokumen kepada R.T.M.A Suryo.
Kemudian Pemerintah Indonesia segera hubungi pimpinan tertinggi Tentara Inggris agar berusaha menghindarkan pertempuran. Presiden Soekarno juga menasehatkan kepada pemimpin perjuangan agar tidak gegabah mengambil keputusan sambil menunggu hasil perundingan itu. Namun, perundingan cara damai pun gagal.
Gubernur Suryo Tolak Ultimatum Inggris
Pemerintah pusat yang berkedudukan di Jakarta menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada pemerintah daerah Jawa Timur. Keputusan terakhir berada di tangan Gubernur Suryo. Keputusan antara bertempur dan hancur lebur atau menyerah. Gubernur Suryo hadapi keadaan kritis itu dengan kepala dingin.
Kemudian ia mengadakan perundingan dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) serta tokoh masyarakat lain. Perundingan itu membuahkan hasil berupa penolakan terhadap ultimatum Inggris.
Penolakan itu langsung disampaikannya dalam pidato di depan corong radio pada 9 November 1945 pukul 23.00 WIB.
Ultimatum itu dibalas oleh pidato pemimpin tertinggi Jawa Timur Gubernur berisi seruan kepada Arek-Arek Surabaya untuk melawan pasukan sekutu dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Pidato Gubernur Suryo tenang, tegas, dan mantap. Hal ini karena ia membicarakan dan merundingkan bersama dengan staf pembantunya. Meski ia keturunan feudal, sikap dan perilakunya demokratis sekali. Rakyat Surabaya patuh menjalankan setiap instruksi Gubernur Suryo.
Penolakan Gubernur Suryo terhadap ultimatum Inggris didukung oleh rakyat Surabaya yang juga menolak sehingga pertempuran tak dapat dihindari. Pada 10 November 1945 pukul 06.00 pagi, tentara Inggris mulai menyerang Surabaya dari darat, laut dan udara.
Serangan besar-besaran Inggris terutama dengan kanon dari kapal perangnya dan bombardemennya oleh NAVI di atas kota Surabaya. Pertempuran berlangsung selama tiga minggu.
Pemerintah Indonesia pun bersiap-siap menyelamatkan sarana penting antara lain pemancar radio RRI, dan mencari lokasi di luar kota.
Gubernur Suryo beserta staf mula-mula mengundurkan diri ke Sepanjang, lalu ke Mojokerto. Gubernur Suryo kemudian pindah ke Kediri. Pengunduran diri bukan karena keinginan Suryo tetapi saran dari Sungkono, selalu pimpinan pasukan Surabaya. Pada waktu itu, keadaan pemerintahan tidak teratur. Kantor-kantor terpaksa harus dipencar-pencar tetapi roda pemerintahan terus jalan.
Pada 20 November 1945, Gubernur Suryo bersama Doel Arnowo dan Ruslan Abdulgani meninjau front terdepan dan bertemu banyak pemuda dan pejuang.
Mereka masuk kota hingga gedung White Away (Siola). Ia disebut-sebut sering meninjau front terdepan untuk mengetahui keberadaan pemimpin pasukan Republik Indonesia seperti Sungkono, Atmaji dan lainnya. Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya itu berlangsung lebih dari 28 hari.
Gubernur Suryo meninggal karena dibunuh pada 10 September 1948. Ia dimakamkan di Magetan, Jawa Timur. Untuk mengenang jasa Gubernur Suryo dibangun monumen untuk mengenang jasa-jasanya di Kecamatan Kedunggalar, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.
Pemerintah pun menyematkan Gubernur Suryo sebagai pahlawan nasional pembela kemerdekaan yang tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 pada 17 November 1964.
Advertisement