Liputan6.com, Jakarta - Guna memitigasi dampak lanjut pandemi Covid-19 terhadap perekonomian dan sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah menelurkan berbagai kebijakan dan instrumen ekxtraordinary untuk membantu para pelaku usaha. Termasuk perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit hingga Maret 2022.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, kebijakan itu tercantum dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2020. Regulasi tersebut dikatakannya memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan ruang yang leluasa, sebab proses pemulihan terpantau masih membutuhkan waktu.
Advertisement
"Perpanjangan kebijakan ini akan menekankan penerapan manajemen risiko bank yang lebih memadai dalam penerapan perpanjangan restrukturisasi. Mencakup antara lain penilaian kemampuan untuk tetap going concern, dan prospek usaha debitur oleh penilaian masing-masing bank," paparnya dalam sesi teleconference, Senin (2/11/2020).
Perpanjangan restrukturisasi kredit juga memberikan peluang bagi bank untuk bisa mengukur mana debitur yang perlu dibuat Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
"Untuk itu kita mengimbau seluruh industri perbankan untuk tetap melakukan penilaian terhadap seluruh debitur yang akan diterapkan perpanjangan di POJK 11 ini," imbuh Wimboh.
Lebih lanjut, Wimboh menyampaikan, restrukturisasi kredit di perbankan kini sudah mencapai Rp 914,65 triliun, atau dalam debitur berjumlah 7,53 juta. Itu terdiri dari pihak UMKM sebesar Rp 361,96 triliun dengan 5,58 juta debitur, serta non-UMKM senilai Rp 552,69 juta dalam jumlah debitur sebanyak 1,65 juta.
"Sedangkan untuk perusahaan pembiayaan, perbankan posisi 5 Oktober, sedangkan perusahaan pembiayaan pada posisi 27 Oktober, sudah mencapai Rp 177,66 triliun. Dalam debitur adalah 4,79 juta. Sedangkan lembaga keuangan mikro ini jumlahnya tidak terlalu besar, termasuk bank wakaf mikro," sambungnya.
Di lain sisi, OJK juga disebutnya terus mendukung berbagai stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Pihak otoritas percaya, hal itu dapat memberikan keleluasaan bagi perbankan dan juga para pengusaha untuk bisa bertahan, bahkan tumbuh recover lebih cepat.
"Kami berharap itu dapat mendorong penyaluran kredit lebih tinggi, dan akselerasi pertumbuhan ekonomi kita," ujar Wimboh.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Selama Pandemi, Kebijakan Restrukturisasi Kredit Masih Sangat Dibutuhkan
Sebelumnya, kebijakan restrukturisasi kredit yang dijalankan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bukan cuma regulasi semata. Di tengah dampak pandemi, restrukturisasi kredit diperlukan bagi mereka yang kesulitan membayar cicilan karena menurunnya pendapatan.
Ekonom Center of Reforms on Economic (CORE) Piter Abdullah menyatakan, kebijakan restrukturisasi kredit masih akan terus dibutuhkan selama pandemi masih belum berakhir. Dengan demikian, keputusan OJK memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit dinilai bijak, apalagi berakhirnya pandemi masih belum pasti.
"Di tengah pandemi, dunia usaha mengalami tekanan cashflow yang sangat berat. Penerimaan turun sementara pengeluaran tetap tinggi, termasuk untuk pembayaran pokok dan bunga kredit bank," ujar Piter saat dihubungi Liputan6.com, pada Senin 26 Oktober 2020.
Lanjut Piter, jika dunia usaha tidak dibantu maka kredit mereka ke bank akan macet. Imbasnya, pelaku usaha tidak bisa mendapat kredit baru, bangkrut dan yang paling parah, krisis ekonomi akan terjadi.
"Kalau kredit mereka macet, permasalahan akan bergeser ke sektor keuangan. NPL (Non Performing Loan) naik tajam, permodalan bank tergerus dan ujungnya kita krisis perbankan dan krisis sistem keuangan," ujar Piter.
Oleh karenanya, sejak awal, langkah OJK melakukan restrukturisasi kredit bisa membantu menahan dampak pandemi agar tidak semakin parah.
"Selama masih berlangsung pandemi, saya kira, kita masih memerlukan kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit," tuturnya.
Advertisement