Derita Buruh di UU Cipta Kerja, Upah Murah, Pesangon Dipangkas hingga Kontrak Seumur Hidup

UU Cipta Kerja mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah.

oleh Athika Rahma diperbarui 03 Nov 2020, 13:40 WIB
Massa buruh menyalakan asap suar saat unjuk rasa di Patung Kuda, Jakarta, Kamis (22/10/2020). Aksi gabungan buruh, petani, mahasiswa, dan pelajar dilakukan untuk menyuarakan penolakan pengesahan UU Cipta Kerja dan meminta Presiden mengeluarkan Perppu. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama buruh Indonesia secara tegas menyatakan menolak dan meminta agar UU Cipta Kerja dibatalkan. Sebagai informasi, UU Cipta Kerja telah diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan diundangkan pada 2 November 2020.

"Menyikapi hal itu, pagi ini KSPI dan KSPSI AGN secara resmi akan mendaftarkan gugatan judicial review ke MK terhadap uji materiil UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020).

Menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI khususnya pada klaster ketenagakerjaan, KSPI menemukan beberapa pasal yang merugikan buruh dalam UU Cipta Kerja. Berikut poinnya:

1. Upah Murah

Dalam temuan KSPI, sistem upah murah ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten dan kota dengan syarat tertentu.

Penggunaan frasa "dapat" dalam penetapan upah minimum kabupaten dan kota (UMK) dinilai sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja Gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.

"Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar Rp 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar Rp 4,2 juta. Jika hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun," jelas Said Iqbal.

Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU ini menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:


2. Karyawan Kontrak Seumur Hidup

Massa buruh menggelar aksi menolak UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020). Massa buruh dari berbagai serikat pekerja tersebut menggelar demo terkait penolakan pengesahan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan upah minimum 2021. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Menurut temuan KSPI, UU Cipta Kerja menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan.

"Dengan demikian, PKWT (karyawan kontrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja," katanya.

Padahal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak.

Dengan demikian, setelah menjalani kontrak maksimal 5 tahun, maka karyawan kontrak mempunyai harapan diangkat menjadi karyawan tetap atau permanen apabila mempunyai kinerja yang baik dan perusahaan tetap berjalan. "Tetapi UU Nomor 11 Tahun 2020 menghilangkan kesempatan dan harapan tersebut," lanjutnya.

 


3. Outsourcing Seumur Hidup

Presiden KSPI Said Iqbal didampingi masa buruh saat menuju ke Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan gugatan pembatalan UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (2/11/2020). (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

UU ini juga menghapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003. Selain itu, UU tersebut juga menghapus batasan 5 jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan.

Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing.

"Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern)," ujarnya.

Oleh karena itu, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi 5 jenis pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003.

 


4. Nilai Pesangon Dikurangi

Presiden KSPI Said Iqbal saat memimpin aksi buruh di sekitar Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (2/10/2019). Puluhan ribu buruh dari berbagai daerah berunjuk rasa dalam rangka menolak revisi UU Ketenagakerjaan dan PP Nomor 78 Tahun 2015. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Lanjut Said Iqbal, UU Cipta Kerja juga mengurangi nilai pesangon buruh, dari 32 bulan upah menjadi 25 upah (19 dibayar pengusaha dan 6 bulan melalui Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang dibayarkan BPJS Ketenagakerjaan).

Menurutnya, hal ini jelas merugikan buruh Indonesia, karena nilai jaminan hari tua dan jaminan pensiun buruh Indonesia masih kecil dibandingkan dengan beberapa neagra ASEAN.

"Bandingkan dengan Malaysia. Di sana, jumlah pesangon antara 5-6 bulan upah. Tetapi nilai iuran jaminan hari tua dan pensiun buruh Malaysia mencapai 23 persen. Sedangkan buruh Indonesia nilai JHT dan pensiunnya hanya 8,7 persen. Akibat nilai jaminan sosial yang lebih kecil itulah, wajar jika kemudian negara melindungi buruh melalui skema pesangon yang lebih baik," tutur Said Iqbal.

Hal lainnya yang disoroti buruh adalah PHK yang menjadi mudah dengan hilangnya frasa "batal demi hukum" terhadap PHK yang belum ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

TKA buruh kasar cenderung akan mudah masuk ke Indonesia karena kewajiban memiliki izin tertulis Menteri diubah menjadi kewajiban memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang sifatnya pengesahan.

Cuti panjang berpotensi hilang karena menggunakan frasa "dapat", jam kerja dalam penjelasan UU Cipta Kerja memberi peluang ketidakjelasan batas waktu kerja, lalu dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing 'seumur hidup' berpotensi menyebabkan buruh tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan pensiun, dan beberapa sanksi pidana yang sebelumnya ada menjadi dihilangkan.

Selain melakukan upaya konstitusional melalui jalur Mahkamah Konstitusi, KSPI juga akan melakukan melanjutkan aksi-aksi dan mogok kerja sesuai dengan hak konstitusional buruh yang diatur dalam undang-undang dan berasifat anti kekerasan (non violence).

“Kami juga menuntut DPR untuk menerbitkan legislatif review terhadap UU Nomor 11 tahun 2020 dan melakukan kampanye atau sosialisasi tentang isi pasal UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang merugikan kaum buruh tanpa melakukan hoaks atau disinformasi," tegas Said Iqbal.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya