Kematian Akibat COVID-19 Tinggi, Warga di Inggris Tak Mengira Harus Alami Lockdown Lagi

Pemerintah Inggris kembali menerapkan status lockdown lantaran tingginya angka kematian akibat Virus Corona baru.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 03 Nov 2020, 15:54 WIB
Orang-orang makan dan minum di Covent Garden, di London, Selasa (22/9/2020). Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, telah mengumumkan bahwa pub dan restoran tutup pada pukul 10 malam, karena lonjakan kasus virus corona di seluruh Inggris. (AP Photo / Alberto Pezzali)

Liputan6.com, Inggris - PM Boris Johnson telah memperingatkan angka kematian akibat Virus Corona COVID-19 di Inggris kembali meningkat. Lantaran hal tersebut, ia pun kembali menerapkan status lockdown jilid II yang diharapkan dapat menekan angka penyebaran virus di negara tersebut.

Untuk saat ini, status lockdown diberlakukan mulai 5 November hingga 2 Desember 2020. 

Akibatnya, banyak masyarakat setempat termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang ikut merasakan dampak dari lockdown kedua yang diterapkan pemerintah. 

"Kasihan orang-orang di sini banyak yang tidak mengira akan lockdown lagi," ujar salah satu WNI di Inggris, Danti Firdaus yang ikut merasakan dampak lockdown nasional Inggris. 

Ia menambahkan, status lockdown akan diberlakukan di wilayah Inggris, lantaran wilayah Skotlandia, Wales dan Northern Ireland telah menerapkan lockdown lebih awal sebelumnya. 

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:


Lampaui 1 Juta Kasus

Seorang pria memakai masker saat melewati London Eye di London, Kamis (29/10/2020). Sekitar 100.000 orang terjangkit virus corona setiap hari di Inggris, menurut studi terbaru Imperial College London. (AP Photo/Frank Augstein)

Aturan lockdown di Inggris diumumkan oleh PM Boris Johnson usai negara tersebut melewati 1 juta kasus COVID-19 dan gelombang infeksi kedua yang mengancam akan membanjiri layanan kesehatan.

Inggris, yang memiliki jumlah kematian resmi terbesar di Eropa akibat COVID-19, bergulat dengan lebih dari 20.000 kasus virus corona baru setiap harinya. 

Tak hanya itu, para ilmuwan juga telah memperingatkan akan adanya skenario "kasus terburuk" dimana 80.000 kematian dapat terlampaui.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya