Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong sektor industri untuk memperluas pangsa pasarnya, terutama menembus ke kancah internasional. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengambil peluang pengapalan produk dalam negeri ke Amerika Serikat (AS), khususnya bagi jenis-jenis produk yang mendapat fasilitas Generalized System of Preference (GSP) dari pemerintah AS.
Melalui United States Trade Representative (USTR), pemerintah AS telah memperpanjang fasilitas GSP bagi Indonesia pada 30 Oktober 2020. GSP merupakan fasilitas pembebasan bea masuk yang diberikan AS dalam rangka meningkatkan akses pasar bagi negara-negara berkembang.
Advertisement
"Pemerintah menilai, perpanjangan preferensi tarif GSP bagi Indonesia akan berkontribusi pada peningkatan kinerja ekspor Indonesia. Kemudahan ini harus dapat dimanfaatkan secara strategis oleh sektor industri dalam negeri untuk meningkatkan akses produk Indonesia ke pasar AS," ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita dalam pernyataannya, Selasa (3/11).
Menurut Menperin, GSP dari AS perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya karena kebijakan perpanjangan oleh Pemerintah AS jarang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Terbukti pada 2019 lalu, ekspor Indonesia ke AS yang menggunakan fasilitas GSP mencapai USD2,6 miliar atau meningkat sebesar 18,2 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya.
"Ekspor GSP Indonesia pada periode tersebut menyumbang 13,1 persen dari total ekspor Indonesia ke AS yang sebesar USD20,1 Miliar. GSP diperkirakan telah menghemat sekitar USD92 juta biaya bea masuk bagi produk Indonesia ke AS di tahun 2019," jelasnya.
Pada 2019, Indonesia juga merupakan negara asal impor GSP terbesar setelah Thailand. Ekspor Negeri Gajah Putih ke AS dengan menggunakan fasilitas GSP mencapai USD4,8 Miliar atau 23,71 persen dari total impor GSP AS. Pada periode yang sama, produk GSP Indonesia mengisi 12,95 persen dari keseluruhan impor, sebesar USD2,6 Miliar. Nilai tersebut berasal dari 732 pos tarif ekspor dari total 3572 pos tarif yang memperoleh GSP.
Selain itu, Indonesia juga berpeluang meningkatkan pangsa pasar bagi produk-produk yang selama ini diisi oleh Thailand. Berdasarkan hasil review, terdapat beberapa produk ekspor Thailand yang tidak lagi mendapatkan fasilitas GSP dari AS.
Adapun beberapa produk yang berpeluang untuk ditingkatkan pangsa pasarnya adalah pompa bahan bakar/pelumas (HS 8413.30.90), kacamata (9004.90.00), sepeda motor dengan piston (HS 8711.50.00), wastafel/bak cuci (HS 6910.10.00). Lalu, papan/panel/konsol/meja (HS 8537.10.91), sekrup dan baut (HS 7318.15.80), alat kelengkapan pipa dari tembaga, perangkat makan (HS 3924.10.40), serta bingkai kayu untuk lukisan (HS 4414.00.00).
"Dengan demikian, produk kita bisa lebih kompetitif dibandingkan Thailand, sehingga kita berpeluang meningkatkan ekspor dan mengisi pasar di AS dengan merebut pangsa pasar Thailand tersebut," tegas Agus.
Reporter: Sulaeman
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indonesia Perlu 2,5 Tahun Negosiasi Kesepakatan GSP dengan AS, Ini Penyebabnya
Amerika Serikat (AS) sempat menahan pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia selama 2,5 tahun, tepatnya sejak Maret 2018. Padahal, sejak 1980 Indonesia telah jadi langganan penerima fasilitas pembebasan bea tarif masuk tersebut, dan telah diperpanjang sebanyak 15 kali.
Duta Besar RI untuk AS Muhammad Lutfi menjelaskan, banyak sekali permasalahan yang membuat negosiasi ini harus tertunda 2,5 tahun. Terutama karena cara pandang dalam berdagang Indonesia yang ruwet dan ketinggalan zaman.
"Jadi kalau saya melihat dari item-nya itu kalau enggak salah ada 9 item yang bikin sakit kepala semuanya. Itu karena Pemerintah Amerika kalau saya boleh kasih contoh, mereka kesel juga," ujar Lutfi, seperti dikutip Selasa (3/11/2020).
"Indonesia juga jago membuat permasalahan yang perlu dipermasalahkan. Dan ini adalah bagian dari perdagangan masa lalu," dia menekankan.
Mantan Menteri Perdagangan ini menyatakan, Pemerintah Indonesia kala itu masih memakai pola pikir perdagangan sebagai persaingan. Padahal saat ini Amerika Serikat telah menekankan prinsip kolaborasi dalam kerjasama dagang.
"Misal contohnya di holtikultura. Setelah kita lihat contoh, mereka mau jual kentang. Kentangnya ini dipakai sama industri. Sama kita itu disusah-susahin karena ini masalah persaingan," kata Lutfi.
"Setelah kita hitung mereka mau jual kentang berapa, ini saya tidak bercanda, kentang yang mereka mau jual ke Indonesia itu nilainya USD 1 juta. Jadi kira-kira Rp 14 miliar. Mau dimakan sama 270 juta rakyat Indonesia. Saya dalam hati saya, kenapa ya kok kita ribut masalah kek gini," ungkapnya.
Menurut dia, masalah seperti itu merupakan warisan masa lalu, yakni bersaing dalam perdagangan. Atau menurut istilah yang dipakai Lutfi, kalau bisa membeli sesedikit mungkin, dan menjual sebanyak mungkin.
"Itu masa lalu. Yang kita musti hadapi sekarang ini adalah era kolaborasi, kita musti sama-sama memastikan persamaan tersebut," pungkas dia.
Advertisement