Liputan6.com, Jakarta - Ilmuwan Universitas Harvard baru-baru ini merilis hasil penelitian tentang seberapa aman naik pesawat di masa pandemi COVID-19. Mereka menggunakan model komputer untuk menilai sirkulasi udara di dalam kabin pesawat.
Studi yang dirilis pada 27 Oktober 2020 itu menyebut, sistem ventilasi khusus di pesawat bisa menyaring 99 persen virus di udara. Penelitian oleh para peneliti dari Harvard T. H. Chan School of Public Health tersebut menyimpulkan risiko paparan virus corona baru selama penerbangan sangat rendah.
Dilansir dari CNN, Selasa (3/11/2020), para peneliti mengungkap, meski disirkulasikan kembali ke kabin, udara yang masuk sudah melalui filter berkualitas tinggi. Hal itu membuat droplet dari satu penumpang tak mungkin menginfeksi penumpang lain karena aliran udaranya ke bawah.
Baca Juga
Advertisement
"Ventilasi ini secara efektif jadi solusi para penumpang yang memikirkan harus menjaga jarak," tulis laporan tersebut. Namun, sistem ventilasi yang aman saja tak cukup untuk mencegah penyebaran droplet. Peneliti Harvard tetap menekankan pentingnya pemakaian masker untuk menjaga kesehatan para penumpang pesawat terbang.
Peran disinfeksi pesawat secara berkala dan prosedur pengetesan gejala COVID-19 sebelum memasuki pesawat juga tak boleh dilupakan.
"Pendekatan berlapis dengan ventilasi gerbang ke gerbang, mengurangi risiko penularan SARS-CoV-2 di dalam pesawat. Tingkat risikonya lebih rendah dibanding aktivitas rutin lain selama pandemi, seperti berbelanja atau makan di restoran," tulis studi tersebut.
Pemodelan komputer pada studi itu sejalan dengan penelitian terbaru lain. Studi dari Departemen Pertahanan Amerika Serikat, misalnya. Mereka menggunakan boneka rancangan yang dilengkapi masker bedah dan peralatan deteksi partikel pada jet Boeing 767 dan 777.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perbedaan Pesawat dengan Bioskop dan Kantor
Hasilnya, tak banyak ditemukan risiko penularan berkat masker dan ventilasi udara yang efisien. Mayoritas pesawat punya frekuensi pertukaran udara sekitar setiap tiga menit dan 75 persen berasal dari luar pesawat, yang berarti hanya 25 persen udara kabin yang disirkulasi ulang. Dengan begitu, hanya perlu enam menit untuk menyaring 99,99 persen partikel dari kabin.
Beberapa bulan lalu, seorang dokter sekaligus penasihat kesehatan Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA), David Powell, juga menyimpulkan bahwa risiko terjangkit virus corona baru di pesawat sangatlah rendah. Alasannya, pasokan udara pada pesawat modern sangat berbeda dengan bioskop atau kantor.
"Udara di pesawat adalah kombinasi udara segar dan udara resirkulasi, masing-masing setengahnya," terang Powell. Ia melanjutkan, udara resirkulasi melalui filter yang sama persis dengan ruangan operasi. Sedangkan pasokan udara terjamin 99,97 persen bebas virus.
"Jadi risikonya, jika ada satu (kasus), tak datang dari pasokan udara, tapi dari orang lain," tuturnya. Selain itu, kata Powell, risiko terpapar virus corona baru dari sentuhan pada kursi, sandaran lengan, atau benda lain di pesawat juga rendah. Sebab, virus dan mikroba lain lebih suka hidup di permukaan tanah.
"Hanya dengan berjabat tangan dengan seseorang akan jauh lebih berisiko daripada permukaan kering yang tak memiliki bahan biologis," jelasnya.
Advertisement