Liputan6.com, Jakarta Indonesia memasuki jurang resesi ekonomi pertamanya sejak 22 tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III-2020 terkontraksi minus 3,49 persen secara year on year (yoy). Kontraksi ini lebih baik dibandingkan posisi pada kuartal II-2020 yang tercatat minus 5,32 persen.
Kondisi pertumbuhan ekonomi dalam 2 kuartal yang minus yang membuat Indonesia dikatakan sudah masuk ke resesi ekonomi, mengekor negara-negara lain di dunia.
Advertisement
Berikut deretan fakta-fakta resesi ekonomi yang melanda Indonesia, Kamis (5/11/2020). Apa saja?
1. Penyebab Resesi Ekonomi
Kepala BPS, Suhariyanto mengungkapkan, ada beberapa faktor penyebab terjadinya resesi ekonomi. Di mana, secara umum faktor PDB pada kuartal III memang tidak berubah, di mana 64,13 persen PDB berasal dari lima sektor yakni industri, pertanian, perdagangan, kontruksi, dan pertambangan.
Sementara, dari 17 lapangan usaha yang ada, tujuh sektor masih tumbuh positif meskipun masih mengalami perlambatan. Ketujuhnya adalah pertanian, infokom, administrasi, pemerintahan, jasa pendidikan, real estate, jasa kesehatan dan pengadaan air.
Adapun sektor yang paling tinggi tumbuhnya adalah jasa kesehatan dan kegiatan sosial. Di mana, pada kuartal III ini tumbuh sebesar 15,33 persen. Kemudian sektor yang juga tumbuh tinggi yang menempati posisi kedua adalah informasi dan komunikasi yang tumbuh 10,61 persen.
"Kemudian disusul oleh pengadaan air, pengelolaan sampah dan limbah masih tumbuh 6,04 persen," kata dia.
Dia melanjutkan, pada kuartal III ini 10 sektor mengalami kontraksi, tetapi tidak sedalam kontraksi yang terjadi pada kuartal III tahun lalu.
Misalnya saja untuk industri, pada kuartal kedua yang lalu itu tumbuh minus 6,19 persen. Tetapi pada kuartal III industri ini tumbuh minus 4,31 persen.
Kemudian, untuk akomodasi makan dan minum masih ada kontraksi, tetapi kontraksinya hanya separuh dari kuartal II yang lalu. Di mana pada kuartal II kemarin akomodasi makan dan minum mengalami kontraksi 22,0 persen, namun pada kuartal III ini kontraksi jauh lebih landai yaitu sebesar 11,85 persen.
"Jadi kembali tujuh sektor masih positif, 10 sektor masih mengalami kontraksi tetapi kontraksinya tidak sedalam kontraksi seperti pada triwulan ke-2 tahun 2020," jelas dia.
Sementara, jika melihat beberapa sektor yang mempunyai peran besar kepada resesi Indonesia, untuk industri pengolahan mengalami perbaikan.
Di mana industri pengolahan di kuartal II lalu mengalami kontraksi minus 6,9 persen, namun pada triwulan ketiga ini mengalami perbaikan yakni kontraksinya sebesar minus 4,31 persen.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
2. Rincian Pelemahan Ekonomi Tiap Wilayah di Indonesia
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ini juga terlihat dari pertumbuhan seluruh kepulauan di di Tanah Air. Di mana, hampir setiap daerah mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020.
"Dari sisi pertumbuhan ekonomi, seluruh pulau alami kontraksi dengan kedalaman berbeda-beda," kata dia.
Merujuk data BPS, pertumbuhan ekonomi di Jawa minus 4,00 persen, Sumatera minus 2,22 persen, Kalimantan minus 4,23 persen, Sulawesi minus 0,82 persen, Bali dan Nusa Tenggara minus 6,80 persen, Maluku dan Papua minus 1,83 persen.
Dia mengatakan, Jawa dan Sumatera menjadi pulau yang paling besar kontribusinya terhadap perekonomian yaitu sekitar 88 persen. Di mana masing-masing kontribusinya Jawa sebesar 58,88 persen dan Sumatera sebesar 21,53 persen.
Sedangkan pulau lainnya, seperti Kalimantan sebesar 7,70 persen, Sulawesi sebesar 6,60 persen, Bali dan Nusa Tenggara sebesar 2,93 persen, Maluku dan Papua sebesar 2,37 persen.
"Ekonomi Bali dan Nusa Tenggara kontraksi paling dalam minus 6,8 persen. Sementara di Sulawesi masih alami kontraksi yang paling landai yaitu 0,82 persen," katanya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement
3. Rupiah dan Pasar Saham Stabil
Pengumuman Indonesia resesi yang dikeluarkan bPS tidak terlalu mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan, rupiah sukses menembus level 14.300 per dolar AS pasca kepastian resesi tersebut.
"Setelah rilis PDB kuartal ketiga, rupiah menguat ke 14.395 per dolar AS," ungkap Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi kepada wartawan, Kamis (5/11/2020).
Mengutip data Bloomberg, rupiah kokoh bertahan di level 14.300 AS pada Kamis siang ini. Pada pukul 14.20, rupiah masih bercokol di posisi Rp 14.397 per dollar AS.
Menurut Ibrahim, nilai tukar rupiah turut diperkuat berkat sinyal kemenangan Joe Biden atas Donald Trump dalam proses pemilihan presiden (pilpres) Amerika Serikat. Nilai tukar rupiah bahkan diprediksi bisa turun hingga di bawah level Rp 14.400 per dollar AS jika Joe Biden benar-benar terpilih menggantikan Trump.
"Rupiah di bulan November kemungkinan menyentuh level Rp 14.350 (per dollar AS)," kata Ibrahim.
Demikian pula Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup di zona hijau pada perdagangan Kamis ini. Sebanyak 320 saham perkasa sehingga membawa IHSG di zona hijau.
Pada penutupan perdagangan saham, Kamis (5/11/2020), IHSG ditutup melonjak 155,12 poin atau 3,04 persen ke posisi 5.260,32. Sementara, indeks saham LQ45 juga menguat 4,48 persen ke posisi 816,15.
Selama perdagangan, IHSG berada di posisi tertinggi pada level 5.260,32 dan terendah 5.161,39.
Pada sesi penutupan pedagangan, 320 saham perkasa sehingga membawa IHSG di zona hijau. Sedangkan 140 saham tertekan dan 150 saham diam di tempat.
4. Jadi Sorotan Media Asing
Masuknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang resesi membuat media asing ikut menyoroti hal tersebut. Media Inggris BBC menyoroti isu ini dalam artikelnya yang berjudul "Indonesia in recession for first time in 22 years".
"Indonesia telah jatuh ke dalam resesi pertamanya dalam 22 tahun karena pandemi virus corona terus memakan korban," tulis artikel tersebut.
Sementara itu, media Bloomberg menuliskan isu yang sama dalam artikelnya yang bertajuk "Indonesia Slips to First Recession in 22 Years Amid Outbreak."
Media asal Asia pun tak ketinggalan menyoroti isu ini.
Misalnya media asal Singapura, Channel News Asia yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul "Indonesia tumbles into first recession for two decades."
"Perekonomian Indonesia yang dilanda virus mengalami kontraksi pada kuartal ketiga, menjerumuskannya ke dalam resesi pertama sejak negara kepulauan itu terperosok dalam krisis keuangan Asia lebih dari 20 tahun yang lalu," tulis artikel tersebut.
Sedangkan media asal Thailand, Bangkok Post menyorot isu ini dengan artikelnya yang berjudul "Indonesia sees first recession in 22 years."
Media Asia lainnya, Nikkei Asia menyorot isu ini dalam artikelnya yang bertajuk "Indonesia falls into recession for first time in two decades."
Advertisement
5. Pengusaha Tak Kaget
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, para pengusaha tidak terlalu kaget dengan pernyataan Indonesia resesi ekonomi. Hal ini lantaran sesuai dengan prediksi sebelumnya.
“Ini bukan output yang mengagetkan karena sudah bisa kita prediksi sebelumnya, dan kami tetap positif bahwa di kuartal IV dan kedepannya akan lebih baik karena faktor-faktor ekonomi yang cukup mendukung,” kata Shinta kepada Liputan6.com.
Faktor pendukung tersebut diantaranya, adanya peningkatan produktivitas dalam jangka pendek. Ini misalnya dorongan normalisasi ekonomi yang lebih kuat dari berbagai partner dagang di Asia Pasifik, konsumsi akhir tahun, proyeksi peningkatan distribusi stimulus untuk korporasi.
Serta proyeksi pengendalian pandemi yang lebih positif. Itu karena temuan vaksin yang mendukung normalisasi ekonomi, dan sebagainya.
“Di kuartal IV ini kami harap pemerintah bisa bekerja lebih keras lagi untuk memacu normalisasi ekonomi dan peningkatan confidence, konsumsi masyarakat juga, menggenjot stimulus baik supply maupun demand,” jelasnya.
Dia mengatakan, kondisi kita sangat jauh berbeda dengan China yang bisa keluar dari krisis dalam 1 kuartal karena supporting faktor-nya tidak sama. Selain itu, kemampuan ekonomi Indonesia tidak sekuat China untuk membendung pandemi.
“Confidence pasar global terhadap iklim usaha Indonesia dan level produktivitas ekonomi kita juga lebih rendah,” ujarnya.
Oleh karena itu, jika Indonesia tidak bekerja keras menciptakan iklim ekonomi yang positif dipastikan resesi akan berkelanjutan..
Dia juga mengusulkan agar pemerintah terus menerus menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat dan pelaku usaha, serta terus meningkatkan produktivitas di sektor-sektor ekonomi yang masih potensial di saat krisis.
Lalu, kondisi technical recession ini bisa berkepanjangan karena cukup sulit bagi Indonesia untuk bisa memacu kinerja dan produktivitas ekonomi nasional selama pandemi masih berlangsung.
“Karena kenyataannya peningkatan confidence konsumsi masyarakat tidak bisa diciptakan hanya dengan stimulus-stimulus konsumsi,” pungkasnya.