Studi: Pria Asia Rentan Alami Kebotakan Dini di Usia Muda

Sebuah studi menemukan kurang dari 3 persen pria berusia 18--29 tahun dan lebih dari 13 persen lelaki berusian 30-an, mengalami tanda-tanda kebotakan.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 06 Nov 2020, 21:00 WIB
(Foto: .hairrestorationofthesouth.com)

Liputan6.com, Jakarta - Kebotakan rambut tentu bisa terjadi pada siapa saja. Rambut yang sebelumnya lebat kemudian menjadi botak akan sangat terlihat dan membuat beberapa individu menjadi kurang percaya diri.

Menurut Asosiasi Dermatologi Inggris, tidak ada alasan untuk panik jika Anda mengalami kerontokan hingga 100 rambut setiap hari. Namun, jika Anda mendapati rambutmu tersisa di tangan setelah keramas atau menyisir, ini bisa menjadi tanda bahwa Anda akan botak.

Dari sejumlah studi, nyaris semua pria Kaukasia akan mengalami kebotakan pada level tertentu, dan hampir setengahnya diperkirakan mulai kehilangan rambut mereka di usia pertengahan. Namun, pria-pria Asia, khususnya Asia Timur, memiliki insiden kebotakan terendah di dunia berdasarkan sejarah.

Sebuah studi pada 2010 yang meneliti di enam kota di China menemukan kurang dari tiga persen pria berusia 18--29 tahun, dan lebih dari 13 persen lelaki berusian 30-an, mengalami tanda-tanda kebotakan.

Sementara, penelitian sebelumnya di Korea Selatan menemukan hanya 14,1 persen dari populasi seluruh lelaki yang terpengaruh, sementara pria-pria Jepang mulai mengalami tanda kebotakan satu dekade lebih lambat dibandingkan pria Eropa.

Tapi, fakta di lapangan, banyak anak muda Asia yang tak bisa mengelak dari kebotakan. Melansir dari CNN, Jumat (6/11/2020), Alex Han salah satunya. Pria asal Tiongkok itu tak pernah menyangka akan mengalami tanda-tanda kebotakan saat usianya masih 20-an.

Han yang sekarang berusia 34 tahun belakangan mengetahui bahwa genetik bukanlah penyebab tunggal. Stres, pola makan buruk, kurang tidur, dan merokok juga dapat berkontribusi pada kerontokan rambut.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah ini:


Perubahan Gaya Hidup

ilustrasi botak

Dengan perubahan gaya hidup di China yang sangat dramatis pada beberapa dekade terakhir, hal tersebut nyatanya memengaruhi kondisi rambut warga.

"Saya sedang mempersiapkan ujian masuk pendidikan master saya dan ada banyak tekanan. Jadi, mungkin saya tak beristirahat dengan baik," kata Han. "Saat itu, (garis rambut yang menipis) masih terkendali, tapi setelah tiga tahun di Beijing menyelesaikan program master, saya pindah ke Jerman untuk studi doktoral. Tak hanya saya, tapi juga mahasiswa Asia lain di sana memiliki masalah dengan rambut rontok."

Kerontokan jadi masalah yang kini banyak dihadapi pria seumuran Han, bahkan lebih muda. Dari 50 ribu orang yang disurvei Asosiasi Promosi Kesehatan dan Pendidikan China, ditemukan bahwa pria berusia 30-an mengalami kebotakan lebih cepat dibanding kelompok umur lain.

Hampir sepertiga responden yang lahir pada dan setelah 1990 dilaporkan mengalami penipisan rambut, dikutip dari media negara China.

Polling serupa juga dilakukan Universitas Tsingshua di Beijing. Mereka menemukan bahwa hampir 60 persen mahasiswanya mengalami kerontokan rambut dengan berbagai level. CGTN, lembaga penyiaran negara setempat, bahkan menggambarkan kerontokan rambut di kalangan muda sebagai epidemi.

 


Pengaruhi Kepercayaan Diri

Ilustrasi pria botak. (dok. Foto Sholto Ramsay/Unsplash.com)

Kebotakan rambut di kalangan pria muda Asia menimbulkan masalah kepercayaan diri bagi yang mengalaminya. Tak hanya itu, pria botak juga diyakini memengaruhi prospek karier dan kesan pertama mereka.

"Gaya rambut, bagi saya, sangat penting untuk menimbulkan kesan pertama sebagai lelaki," tutur Han.

Maka itu, Han memutuskan menjalani transplantasi rambut untuk mengatasi kebotakan. Perawatan tersebut juga naik daun di kalangan lelaki dan diperkirakan mendatangkan pendapatan 20,8 miliar yuan pada 2020, atau lebih dari empat kali lipat pada empat tahun yang lalu, menurut firma riset pasar Statistica.

Han memilih Thailand untuk menjalani prosedur tersebut, yakni rubuan folikel rambut ditanam di kepala yang diambil dari bagian tubuh lain, seperti dada atau belakang leher. Prosedur yang menghabiskan waktu sembilan sepuluh jam itu berbiaya sembilan ribu dolar AS, meski ia menemukan klinik di China yang menawarkan biaya seperenamnya saja.

Transplantasi itu menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk berdampak. Namun, Han berharap rambutnya bisa kembali normal pada dua atau tiga bulan lagi. "Kemudian, saya  akan bersikap seolah-olah ini tak pernah terjadi," katanya.


Citra Pria Korea

Kehilangan rambut bisa sangat menyulitkan di negara-negara yang hal itu jarang terjadi. Standar ketampanan pria di Asia Timur sangat dipengaruhi budaya populer, mulai dari K-pop hingga industri film Hong Kong. Seringkali, pria ganteng digambarkan memiliki rambut lebat dan tampilan macho.

"Di dalam budaya Asia, generasi lebih muda sangat menyukai idol seperti grup TFBoys," kata Han.

Hal senada juga diungkapkan David Ko, reporter yang berbasis di Seoul. Ia mengatakan jarangnya pria Korea berpenampilan botak memegang peranan penting atas perasaan tak nyaman soal kebotakan.

"Di mana pun ada sebuah preseden, orang-orang cenderung merasa (lebih percaya diri) untuk mengikutinya," ucapnya.

Studi Korea yang tercantum di International Jpurnal of Dermatology menemukan bahwa pria botak dianggap lebih tua dan kurang menarik oleh 90 persen responden tak botak. Pada 2018, Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Korea bahkan mengimbau para pemberi kerja tak mendiskriminasi pria tanpa rambut, setelah sebuah perusahaan pengelola bangunan dituduh meminta pelamar menggunakan wig selama proses wawancara dan menolaknya lantaran ia botak.

Sementara, persepsi berbeda berlaku di Barat. Meski tak selalu positif, stigmanya cenderung lebih longgar. Studi dari Universitas Pennsylvania menemukan bahwa lelaki yang digambarkan lebih dominan, tinggi, dan kuat adalah mereka yang rambutnya dihilangkan secara digital.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya