Mengelola Secara Bijak Sampah Organik di Rumah

Memilah sampah dan membuat kompos dari sampah rumah tangga dapat mengurangi beban TPA.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Nov 2020, 22:00 WIB
Ilustrasi sampah organik. (dok. Instagram @sustaination/ https://www.instagram.com/p/CD3CudBg0sB/?igshid=1sld0vj13vcln/ Brigitta)

Liputan6.com, Jakarta Sampah plastik bukan satu-satunya isu yang harus dijawab secara tuntas. Sampah organik juga butuh perhatian khusus agar tujuan mengurangi beban Tempat Penampungan Akhir (TPA) terealisasi.

Gunungan sampah di TPA Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat adalah bentuk nyata dari keprihatinan isu sampah di Indonesia. Saking menumpuk, TPA Bantar Gebang disebut-sebut sebagai TPA terbesar di dunia.

Dinas Kebersihan DKI Jakarta mencatat bahwa ada sekitar tujuh ribu ton sampah atau setara berat 1,4 ribu ekor gajah Asia yang dibuang ke Bantar Gebang setiap harinya. Dari jumlah tersebut, proporsi sampah di TPA Indonesia mayoritas atau 58 persennya adalah sampah organik.

Disusul14 persen sampah plastik, sembilan persen sampah kertas, dan 19 persen sampah residu.

Dwi Sasetyaningtyas, CEO Sustaination, komunitas di bidang pengelolaan sampah organik jadi kompos, mengatakan bahwa proses penguraian sampah organik sebenarnya tak semudah yang dibayangkan mayoritas orang.

"Kebanyakan masyarakat Indonesia terbiasa membuang sampah dalam satu kantong kresek. Sampahnya bercampur, ada yang organik dan anorganik. Sementara itu, sampah organik baru akan terurai dengan sempurna kalau ada oksigen yang cukup," jelasnya dalam webinar Jitu dan Mudah Kelola Sampah Rumah Tangga oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Sabtu (7/11/2020).

“Teman-teman tahu nggak Bantar Gebang itu diprediksikan akan penuh tahun 2021 atau 2022, dan yang buat penuh itu bukan sampah plastik, melainkan sampah organik," ungkapnya.

Maka dari itu, kesadaran mengelola sampah organik di rumah sudah seharusnya dipupuk dan dipraktikan secara berkelanjutan.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Memilah Sampah

Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang (Liputan6.com/ Immanuel Antonius)

Sasetyaningtyas menjelaskan, proses penguraian limbah organik tanpa oksigen yang cukup justru akan memakan waktu yang jauh lebih lama. Juga, berbahaya karena dapat memproduksi banyak gas metana di dalam tanah.

"Sampah rumah tangga yang dimasukan ke dalam kantong kresek dan diikat kencang itu nantinya akan dibawa truk sampah ke TPA. Sesampainya disana pun akhirnya hanya ditumpuk terus-menerus dan sampah ini akan terurai tanpa oksigen yang menyebabkan penguraiannya tidak sempurna dan menghasilkan gas-gas yang tak diinginkan, seperti gas yang mudah terbakar, yaitu metana," imbuhnya.

Gas-gas tersebut tentu menyumbang perubahan iklim secara global. Tapi, menurutnya, yang paling mengerikan adalah ketika gas metana itu terpantik api, maka dapat menyebabkan ledakan hebat. Hal ini pun pernah terjadi sebelumnya, yang menyebabkan tanah longsor akibat ledakan, bahkan menewaskan ratusan pekerja.

Penumpukan sampah organik ini juga berbahaya bagi kehidupan di sekitar TPA, seperti pencemaran air bersih yang berujung pada masalah kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sampah organik juga perlu dikelola dengan baik dari rumah, salah satunya dengan menjadikannya kompos. `

Ova Candra Dewi, Scholar Urban Planner dan Enviromental Activist, dalam kesempatan yang sama turut menyampaikan bahwa penting bagi masyarakat untuk memilah sampah dari sumbernya, yakni dari rumah, sebelum menyalurkannya ke pembuangan akhir.

"Jika itu dibiasakan, memilah sampah akan jadi kebiasaan, terlebih bila dapat menjadikannya kompos," ujarnya.

Membuat kompos dari sampah organik dikatakan sebagai salah satu kegiatan yang bisa dilakukan semua anggota keluarga.

"Lahan saya di rumah kecil buat taman. Tapi, di lantai dua, dan setiap hari saya dan anak-anak pasti kagum dengan hasil panennya. Inilah yang bisa jadi alasan kuat kenapa kita harus mulai memilah sampah dan mengompos,” katanya.

"Ini bukan hanya bermanfaat bagi lingkungan, tapi juga kesehatan psikologis dan mental anak-anak di rumah, sehingga mereka punya kegiatan lain," tambahnya tentang manfaat membuat kompos dari sampah organik.


Mengompos di Lahan Sempit

Ilustrasi biopori (dok. Instagram @sustaination/ https://www.instagram.com/p/CBhc_25gAYF/?igshid=19q9ab16ub3go/ Brigitta)

Dwi menyampaikan benar adanya bahwa kegiatan mengompos dapat dilakukan di rumah dan di tempat yang beragam pula, termasuk apartemen yang tak memiliki lahan luar.

Untuk pemanfaatan lahan sempit, dapat terlebih dulu mengobservasi ruang untuk mengompos, seperti pemanfaatan teras, balkon, atau dapat pula di sekitar dapur. Sementara untuk tekniknya, biopori dapat jadi pilihan tepat untuk lahan sempit.

Misal, ukuran lahan 1x1 meter dapat membuat empat lubang biopori. Pemilihan komposter juga harus sesuai kebutuhan, seperti menggunakan ember yang praktis bagi lahan sempit.

"Semua yang berasal dari makhluk hidup yang disebut senyawa organik itu dapat dikompos. Lalu, kunci utama dari keberhasilan kompos adalah mikroba, yang prosesnya dibantu dengan air dan oksigen," katanya.

Untuk dapat menguraikan sampah organik dengan baik, mikroba butuh asupan energi dari karbon material cokelat, seperti daun kering, sekam, dan lainnya. Butuh pula sumber protein dan enzim melalui material hijau, seperti sisa sayuran, buah, dan semua makhluk hidup yang berwarna. Juga, butuh oksigen untuk proses penguraian aeorob. (Brigitta Valencia Bellion)

Infografis Indonesia Sumbang Sampah Plastik Terbesar Kedua Sejagat. (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya