Liputan6.com, Jakarta Para dokter di Washington, Amerika Serikat melaporkan adanya temuan kasus wanita yang masih bisa menularkan virus corona penyebab COVID-19 selama 70 hari, meski sudah tidak bergejala.
Dalam laporan yang dimuat di jurnal Cell, wanita tersebut berusia 71 tahun dan mengidap leukemia, atau kanker sel darah putih, yang menyebabkan sistem kekebalan tubuhnya melemah sehingga kurang mampu membersihkan tubuhnya dari virus corona penyebab COVID-19.
Advertisement
Para peneliti selama ini hanya menduga bahwa dengan sistem kekebalan yang lemah, maka seseorang berpotensi menularkan virus lebih lama dari biasanya. Namun, bukti yang ada masih sedikit hingga laporan tersebut dirilis.
Dikutip dari Live Science pada Senin (9/11/2020) Temuan ini bertentangan dari pedoman yang dikeluarkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), yang menyebut bahwa orang yang mengalami gangguan kekebalan, kemungkinan tidak akan menularkan COVID-19 setelah 20 hari.
Menurut Vincent Munster, penulis studi yang juga ahli virus di National Institute of Allergy and Infectious Diseases, saat ini lebih banyak orang dengan berbagai gangguan imunosupresi yang berpotensi terinfeksi.
"Penting untuk memahami bagaimana SARS-CoV-2 berperilaku dalam populasi ini," tulisnya seperti dikutip dari EurekAlert.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Tak Bergejala Meski Positif Beberapa Pekan
Munster mendapatkan laporan kasus tersebut pada April lalu. Ia dihubungi oleh salah satu penulis studi lain yaitu Francis Riedo, seorang dokter spesialis menular, yang melaporkan bahwa seorang pasien di Kirkland, mengalami hasil tes PCR positif COVID-19 selama beberapa pekan. Riedo ingin tahu apakah wanita tersebut masih bisa menularkan virus.
Meski mengalami gangguan sistem imun karena leukemia limfositik dan mengalami hypogammaglobulinemia, pasien tersebut tidak menunjukkan gejala COVID-19.
Lansia tersebut diketahui terinfeksi virus corona setelah melakukan skrining, ketika dia dirawat di rumah sakit karena anemia parah terkait kanker pada 25 Februari lalu. Dokternya melaporkan, pasien pernah tinggal di fasilitas rehabilitasi yang menjadi klaster penularan COVID-19.
Mereka mengungkapkan, virus terdeteksi di saluran pernapasan bagian atas selama 105 hari dan partikel virus yang menular atau mampu menyebarkan penyakit, terdeteksi setidaknya selama 70 hari. Hal ini ditemukan usai para peneliti mengisolasi virus dari sampel pasien dan mengembangkannya di laboratorium,
Sampel darah wanita tersebut menunjukkan tidak adanya antibodi terhadap virus corona. Dari situ, ia kemungkinan dapat menular begitu lama karena tubuhnya yang tidak meningkatkan respon imun yang tepat.
Advertisement
Masih Dianggap Misteri
Pasien diketahui dirawat dengan dua kali pemberian plasma konvalesen, atau menggunakan darah dari penyintas COVID-19 yang sudah mengandung antibodi. Ia dinyatakan bersih dari infeksi usai perawatan kedua, meski tidak ada cara untuk mengetahui apakah metode itu membantu kesembuhannya. Apalagi, konsentrasi antibodi pada pasien masih rendah setelah transfusi.
Berdasarkan penelitian terhadap virusnya, para peneliti melihat adanya mutasi yang berkembang. Namun, kondisi ini tidak mempengaruhi seberapa cepat virus bereplikasi. Peneliti melihat bahwa ini bukan salah satu mutasi yang memberikan virus keuntungan untuk bertahan hidup.
Temuan ini pun masih dianggap sebagai misteri oleh Munster dan rekan-rekannya. Ia menyebut, masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut soal hal ini.
Munster mengatakan, sejauh yang ia ketahui, temuannya merupakan kasus aktif infeksi COVID-19 terlama yang tanpa gejala. "Kami telah melihat kasus serupa pada influenza dan Middle East respiratory syndrome, yang juga disebabkan oleh virus corona."
"Kami berharap untuk melihat lebih banyak laporan seperti kami yang keluar di masa depan."
Selain itu, para penulis studi menegaskan bahwa temuan mereka hanya melibatkan satu kasus, sehingga laporan serupa belum tentu berlaku untuk semua pasien dengan kondisi yang sama.
"Memahami mekanisme persistensi virus dan pembersihan akhirnya (pada pasien dengan gangguan kekebalan) akan sangat penting untuk menyediakan pengobatan yang tepat dan mencegah penularan SARS-CoV-2," kata para penulis studi.
Infografis Olahraga Benteng Kedua Cegah Covid-19
Advertisement