HEADLINE: Donald Trump Gugat Hasil Pilpres AS 2020, Seberapa Besar Peluang Menangnya?

Pertarungan Donald Trump melawan Joe Biden dalam Pemilu Amerika Serikat 2020 memasuki babak baru.

oleh Tanti YulianingsihTeddy Tri Setio BertyBenedikta Miranti T.VTommy K. Rony diperbarui 10 Nov 2020, 13:53 WIB
Ilustrasi Pilpres AS 2020, Donald Trump. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Tetap mengklaim menang. Bahkan melayangkan gugatan karena merasa dicurangi. Pertarungan Donald Trump melawan Joe Biden dalam Pemilu Amerika Serikat 2020 memasuki babak baru.

Berdasarkan hasil penghitungan suara Pemilu AS yang dilakukan The Associated Press, hingga Senin (9/11/2020) malam, Joe Biden menang dengan suara elektoral 290, sedangkan Trump 214. Total suara yang diraih Biden sebanyak 75.404.182, sementara Trump 70.903.094.

Tak jauh berbeda, Peta Hasil Pemilu AS 2020 yang dilansir VOA, juga menunjukkan kemenangan Biden atas Trump. Biden mengantongi 279 suara elektoral, dan Trump 214.

Namun, melalui akun twitternya, Donald Trump mengklaim dirinyalah pemenang Pemilu Amerika 2020. "Saya memenangkan pemilihan ini, dengan suara yang banyak."

Jauh sebelum pemungutan suara Pilpres AS digelar, Donald Trump telah menyatakan menentang hasil pemilu yang ia klaim penuh kecurangan, bila kalah. Bahkan jelang kemenangan Biden diumumkan, tim kampanye Trump telah mengajukan gugatan hukum di tiga negara bagian yang menjadi medan pertempuran sengit kedua kandidat, yakni Pennsylvania, Michigan, dan Georgia.

Trump juga menyatakan siap membawa sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Agung, dan tim kampanyenya meminta donor Republik untuk mendanai upaya hukum itu. Ketua Komite Nasional Republik, Ronna McDaniel berkata, "Pertarungan belum berakhir. Kami ada di dalamnya."

Saat ini, tim kampanye Trump tengah menggalang dana dari para pendukungnya, yang menurut halaman webnya akan digunakan untuk membayar utang kampanye dan menggugat hasil pemilu ke MA. Partai Republik tengah berupaya untuk menggalang dana sedikitnya US$ 60 juta (sekitar Rp 852,9 miliar) untuk membiayai tuntutan hukum yang diajukan Donald Trump atas hasil pemilu AS.

"Mereka menginginkan 60 juta dolar," kata seorang donatur untuk Partai Republik yang menerima permohonan dari tim kampanye Trump dan Komite Nasional Partai Republik (RNC).

Dua sumber lainnya menyebut tim kampanye Trump menginginkan dana sebesar US$ 100 juta (sekitar Rp 1,4 triliun) untuk komite penggalangan dana bersama yang dikelola tim kampanye dan RNC--suatu tanda bahwa skala tuntutan hukum Trump mungkin akan lebih besar.

Ketiga sumber tersebut memberikan keterangan kepada Reuters tanpa ingin disebutkan identitasnya karena terkait isu yang sensitif. Tim kampanye Trump dan RNC belum memberikan komentar mereka mengenai masalah ini.

Halaman donasi yang ditautkan ke situs web Trump mendorong sumbangan ke "Satgas Pertahanan Pemilu Trump-Pence." Halaman itu berbunyi, "Presiden Trump membutuhkan ANDA untuk melangkah dan untuk memastikan kami memiliki sumber daya untuk melindungi integritas Pemilu!"

Namun, dalam cetakan kecil di bawah halaman, dikatakan bahwa 60% dana akan digunakan untuk "penghentian utang pemilihan umum," dan 40% sisanya akan digunakan untuk rekening operasional Komite Nasional Republik.

Menurut laporan Forbes, Mahkamah Agung AS saat ini sedang mempertimbangkan apakah harus membatalkan aturan batas deadline surat suara via pos di Pennsylvania. Dalam aturan itu, pengadilan di Pennsyvlania membolehkan surat suara datang hingga tiga hari usai pemilu. Meski begitu, jika suara yang datang terlambat menjadi tidak sah, maka itu belum tentu cukup untuk Trump mengalahkan Joe Biden.

Kubu Trump juga menggugat supaya suara via pos yang kurang bukti identifikasi agar tidak dihitung. Pemilih diberi kesempatan untuk memperbaikinya pada 10 hingga 12 November. Tetapi suara itu belum dihitung sehingga tak berpengaruh pada perhitungan suara yang masih mengunggulkan Joe Biden.

Saat ini Joe Biden memiliki 290 suara elektoral, dan bila ditambah Georgia akan mencapai 306. Apabila Trump bisa mengubah hasil di Georgia, Michigan, dan Wisconsin, melalui gugatannya, maka Joe Biden terancam kehilangan angka minimal 270 untuk menjadi presiden.

"Ada laporan-laporan hal yang tidak reguler di beberapa kabupaten Wisconsin yang menimbulkan keraguan serius tentang validitas hasil-hasilnya," ujar manajer kampanye Trump, Bill Stepien.

Petinggi Partai Republik yakin pertarungan Trump versus Biden akan berlanjut ke meja hijau. Salah satunya adalah Tom Spencer yang terlibat dalam sengketa antara George W. Bush dan Al Gore pada Pemilu AS 2000. George W. Bush akhirnya menang.

Tom Spencer memprediksi hakim Brett Kavanaugh, John Roberts, dan Amy Coney Banett yang diangkat Donald Trump akan berpengaruh pada sengketa ini. Tiga-tiganya sempat bekerja di kubu Bush pada sengketa pemilu AS 2000.

"Masalah besarnya adalah bagaimana Hakim Barrett akan memutuskan," ucap Spencer.

Time menyebut gugatan hukum mungkin tak akan berpengaruh jika selisih suara tidak setipis yang dikira. Jika ada ribuan suara yang dinyatakan tidak valid, itu belum tentu mengubah hasil final.

Saat ini, kemenangan Joe Biden baru berdasarkan perhitungan versi media, belum pengumuman resmi. Pakar hukum dari Ohio State University menyebut suara masih dihitung. Bisa saja selisih suara semakin melebar dan tak perlu mengulang sengketa pemilu antara George W. Bush dan Al Gore.

"Ini masih mungkin margin suara kemenangan di negara-negara bagian yang sengit akan cukup tegas sehingga tidak akan menjadi litigasi seperti Bush vs Gore," ungkap Spencer.

Infografis Hasil Pilpres AS 2020 dan Gugatan Donald Trump. (Liputan6.com/Abdillah)

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai secara keseluruhan proses Pemilu Presiden AS 2020 telah berlangsung sukses. "Tidak ada insiden yang terlalu merisaukan. Bahkan ini adalah pemilu tersukses di Amerika Serikat, katakanlah lebih dari 50 tahun terakhir, jika kita lihat dari partisipasi pemilihnya."

Terkait pernyataan Donald Trump yang akan menggugat hasil Pemilu AS 2020, Djayadi Hanan menyatakan upaya itu hanya akan sia-sia.

"Gugatan itu bisa berhasil kalau kandidat itu punya bukti-bukti yang memadai. Misalnya, ada tuduhan banyak pemilih (di Nevada) yang sudah meninggal namun suaranya masih ada, itu tuduhannya. Lalu ada juga para saksi dari partai Republik yang tidak diperbolehkan melakukan pemeriksaan di Pennsylvania dan sebagainya," kata dia kepada Liputan6.com.

"Tapi tuduhan dari kubu Trump itu harus dibuktikan oleh kubu mereka. Sampai kita ikuti pemberitaannya hari ini, kita melihat tidak ada bukti-bukti memadai soal itu. Sementara waktu mereka terbatas," imbuh Djayadi.

Menurutnya, gugatan yang dilayangkan Trump harus dilakukan dan selesai pada 8 Desember 2020. Setelah itu Electoral College akan bertemu menentukan siapa yang jadi presiden secara resmi. "Jadi menurut saya peluang Trump itu sangat sedikit."

Trump memang berupaya untuk menggugat, namun Djayadi mempertanyakan, apa yang menjadi dasar gugatan kubu Republik itu. "Misalnya kecurangan. Kecurangan yang secara struktur dan masif itu tidak ditemukan."

"Lagipula di negara bagian seperti Georgia yang sekarang Biden unggul dan mungkin menang, itukan yang menyelenggarakan orang dari Republik. Gubernurnya orang Republik, Secretary of States yang menjadi penanggung jawab pemilu juga orang Republik. Bagaimana ia menuduh orang Republik memenangkan Bidan, itu kan susah," sambungnya.

Kalaupun kubu Trump punya bukti-bukti seperti surat suara yang tidak sah, jumlahnya relatif sedikit. "Misalnya yang mereka temukan di Pennsylvania ada 53 surat suara yang dikirim melalui pos, itu tibanya jam tujuh malam waktu setempat tapi masih tetap dihitung. Itu sebenarnya tidak boleh. Namun itu jumlahnya hanya 53 surat suara. Sementara Trump tertinggal sekitar 46 ribu suara (0,7 persen)."

"Jadi gugatan dia itu sangat lemah, sangat kecil," tegas Djayadi.

Trump juga menekankan agar sejumlah negara bagian melakukan penghitungan suara ulang. Namun tiap negara bagian memiliki syarat yang  berbeda-beda.

"Umumnya, penghitungan suara antarkandidat itu kurang dari setengah persen. Jika kurang, maka bisa hitung ulang. Namun, hitung ulang pun itu jumlahnya tak bisa banyak. Kan cuma hitung ulang. Biasanya kesalahan yang terjadi seratus sampai dua ratus surat suara. Kalaupun seribu, itu juga tak mengubah apa-apa," jelas Djayadi Hanan.

"Peluang untuk hitung ulang ada di Georgia dan Arizona. Kalau di Pennsylvania tidak bisa karena aturannya mengatakan, antara kandidat itu harus kurang dari setengah persen, sedangkan di Pennsylvania itu lebih dari setengah persen. Jadi saya yakin, tetap akan Biden (pemenangnya," ia memungkasi.

Pakar Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada, Nur Rachmat Yuliantoro menilai kemenangan Joe Biden dari Partai Demokrat sudah aman. Ia menegaskan kegaduhan yang terjadi hanya karena Trump tak mau kalah.

"Tidak ada 'sengketa pemilu AS' antara Biden dan Trump. Yang ada adalah Trump yang mengatakan akan membawa penghitungan suara yang dia nilai tidak adil ke pengadilan," ujar Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM itu kepada Liputan6.com.

"Saya kira lebih ke dia (Donald Trump) tidak mau kalah saja," imbuhnya. 

Nur Rachmat menyorot retorika Trump yang meminta agar hitung suara dihentikan di negara bagian yang Joe Biden unggul. Tetapi, dia tak meminta hal serupa di daerah yang dia sendiri unggul.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Respons Joe Biden

Ilustrasi Pilpres AS, Donald Trump Vs Joe Biden. (Liputan6.com/Trie Yasni)

Tim kampanye Joe Biden menyebut gugatan Donald Trump ke pengadilan terhadap hasil pemilu Amerika Serikat 2020 tidaklah berguna. Gugatan Trump dituding bersifat oportunitis.

"Ini untuk menciptakan peluang bagi mereka untuk memberi pesan palsu tentang apa yang terjadi di proses pemilihan," ujar Bob Bauer, ahli hukum di kubu Joe Biden, seperti dilansir AP News, Senin (9/11/2020).

Bob Bauer juga berkata, tim Donald Trump "terus-terusan menuding adanya hal yang tidak regular, kegagalan sistem, dan kecurangan tanpa adanya basis."

Sejauh ini, Donald Trump protes kecurangan pada pemerintah negara bagian dan layanan pos AS.

Salah satu upaya Donald Trump adalah perhitungan suara dihentikan agar tidak menghitung suara yang baru ada sesusah hari pencoblosan tanggal 3 November. Tim Joe Biden meminta agar perhitungan tetap dilanjutkan.

Tim Joe Biden mengambil slogan "Count Every Vote" (hitung setiap suara).

"Rakyat tidak akan dibungkam, di-bully, atau menyerah. Setiap suara harus dihitung," ujar Joe Biden via Twitter.

Dalam pidato kemenangan di Wilmington, Delaware, pada 7 November Joe Biden turut menyampaikan pesan kepada pemilih dan suporter Trump. Ia menyerukan persatuan dan rekonsiliasi.

"Sekarang untuk Anda semua yang memilih Presiden Trump, saya memahami kekecewaan Anda malam ini. Saya sendiri telah kehilangan beberapa kali, tapi sekarang mari saling memberi kesempatan," kata Biden, dikutip dari CNN.

Mantan wakil presiden itu mengatakan sudah waktunya kedua belah pihak "saling mendengarkan lagi".

"Sudah waktunya untuk menyingkirkan retorika kasar, menurunkan suhu, bertemu lagi, saling mendengarkan lagi, dan untuk membuat kemajuan, kita harus berhenti memperlakukan lawan kita sebagai musuh kita. Mereka bukan musuh kita. Mereka orang Amerika," kata Biden.

Joe Biden melanjutkan, "Alkitab memberitahu kita untuk segala sesuatu ada masanya, ada waktunya membangun, ada waktu menuai, ada waktu untuk menabur dan ada waktu untuk menyembuhkan. Ini adalah waktu untuk menyembuhkan di Amerika."

Ia juga menyampaikan bahwa warga Amerika Serikat telah menentukan pilihan mereka dengan jelas. "Rakyat negara ini telah berbicara bahwa mereka telah memberi kami kemenangan yang jelas, kemenangan yang meyakinkan, kemenangan bagi rakyat," katanya.

"Kami menang dengan suara terbanyak yang pernah diberikan untuk tiket presiden dalam sejarah bangsa," tambahnya.

Biden melanjutkan pidatonya dengan mengatakan bahwa ia terkejut dengan perayaan di jalan-jalan di seluruh negeri yang menyebutnya sebagai "curahan kegembiraan, harapan, iman yang diperbarui di hari esok untuk membawa hari lain. " Hal ini merujuk pada perayaan yang diadakan para pendukung Biden usai kemenangannya diumumkan. 

"Saya tersanjung dengan kepercayaan dan keyakinan yang Anda berikan kepada saya," Biden memungkasi.


Bila Donald Trump Menolak Tinggalkan Gedung Putih

Ilustrasi Pilpres AS 2020, Donald Trump Vs Joe Biden. (Liputan6.com/Abdillah)

Presiden Donald Trump telah menyatakan tidak akan menerima hasil Pemilu Presiden Amerika Serikat 2020 jika dia kalah. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana jika ia dinyatakan kalah secara resmi namun tetap tidak ingin meninggalkan Gedung Putih.

Dalam satu skenario, bila Joe Biden menang dengan selisih yang cukup lebar di negara bagian sehingga hasil pemilu yang sebenarnya tidak diragukan lagi, maka akan menentang pernyataan Trump yang mengatakan ia hanya akan kalah bila dicurangi.

Menurut Amandemen Ke-20, jika Trump kalah dalam pemilihan, masa jabatannya akan berakhir pada 20 Januari 2021, di mana dia secara resmi akan menyerahkan kewenangan panglima tertinggi AS kepada Biden.

"Bahkan jika ia tidak setuju dengan hasilnya, hampir pasti ia akan dikeluarkan dari Gedung Putih," ujar Robert Shapiro, seorang profesor dan mantan direktur pelaksana Institut Penelitian dan Kebijakan Sosial dan Ekonomi Universitas Columbia.

Dikutip dari Livescience, Senin (9/11/2020), segala kemungkinan dapat terjadi dalam beberapa waktu ke depan. Trump mungkin secara resmi kalah dalam pemilihan, lalu setuju untuk meninggalkan jabatannya atau ia mungkin bisa bertahan di kantornya.

Dalam lembaran hukum, tidak banyak yang bisa dilakukan Trump untuk mempertahankan kekuasaannya.

"Biden pergi ke Gedung Putih dan Dinas Rahasia mengawal Trump keluar, itulah yang akan terjadi. Semua pegawai negeri pemerintah, setiap pegawai Amerika Serikat melapor kepada Joe Biden pada saat itu," imbuh Saphiro, seorang pakar politik asal AS.

Seorang sejarawan Universitas Stanford Jonathan Gienapp mengatakan, penolakan Trump untuk berkomitmen pada transfer kekuasaan secara damai membuat kekuatan institusi Amerika dipertanyakan.

Konstitusi sendiri tidak memiliki perlindungan langsung untuk memastikan perdamaian dan sebaliknya mengasumsikan bahwa setiap orang yang terlibat dalam pemilu memiliki komitmen yang sama untuk mematuhi hasil.

"Kami memiliki lembaga yang dapat dipanggil untuk menengahi perselisihan atau menolak perampasan kekuasaan yang melanggar hukum, tetapi perlindungan yang akan memutuskan masalah lebih bersifat politis daripada konstitusional," tambahnya.

"Pada akhirnya, transisi akan terjadi dan pemerintahan baru segera terwujud, lalu pemerintahan lama harus pergi," imbuh Shapiro.

Bukan Pertama

Trump telah berulang kali mengatakan di depan umum bahwa dia mengharapkan dapat memenangkan pemilihan melalui pertempuran pengadilan (sebagai upaya banding dari kemenangan dalam pemungutan suara).

Hal itu bukan pertama kali terjadi. Dalam pemilihan presiden AS tahun 2000, Gubernur Texas George W. Bush mengalahkan Wakil Presiden Al Gore, bukan dengan jelas memiliki suara terbanyak yang mendukungnya, tetapi dengan lebih efektif melawan pertempuran di pengadilan setelah hasil Florida yang begitu kabur.

Namun baik Bush maupun Gore tidak menyebut penyimpangan hukum sebelum pemilu benar-benar terjadi (tidak seperti Trump). Gore berjuang untuk melakukan penghitungan ulang, sedangkan Bush berjuang untuk menghentikan penghitungan ulang.

Trump sendiri telah melakukan upaya sebelum hari pemilihan untuk mencegah orang memberikan suara di negara bagian yang jadi kunci. Pengacara Republikan telah menyebar ke seluruh negeri untuk mempersulit pemungutan suara, namun sejauh ini langkah itu tidak berhasil.

Undang-undang federal mengatakan bahwa negara bagian harus menyelesaikan pilihan pemilih mereka pada 8 Desember. Lalu pada 14 Desember, lembaga pemilihan memberikan suara mereka. Pada saat itu, proses penghitungan telah selesai.

Jika lebih banyak suara Trump, dia akan mendapatkan pelantikan kedua. Jika lebih banyak suara untuk Biden, dia akan menjadi presiden terpilih yang sah di luar jangkauan gugatan pengadilan. 

Meskipun Trump telah menolak untuk berkomitmen pada transfer kekuasaan secara damai, dia belum secara eksplisit mengatakan dia akan menolak hasil bahkan pada saat ini. Hal ini akan menjadi yang pertama dalam sejarah Amerika.

Ditanya apakah ada presiden yang pernah mengisyaratkan penolakan untuk menerima hasil pemilu, Bruce Schulman, seorang sejarawan di Universitas Boston, mengatakan tidak ada.

"Tidak ada preseden yang benar-benar seperti itu," imbuh Schulman.

Pada 1824, Andrew Jackson, John Quincy Adams, Henry Clay dan William Crawford semuanya mencalonkan diri sebagai presiden, tidak ada yang memenangkan pemilihan mayoritas di perguruan tinggi dan DPR memilih Adams sebagai presiden.

Kontes kongres 1876 berakhir ketika Republikan Rutherford B. Hayes berjanji kepada Kongres Demokrat bahwa ia akan mengakhiri Rekonstruksi sebagai imbalan atas suara mereka. Itu tetap menjadi salah satu peristiwa paling penting dalam sejarah Amerika. Tetapi dalam kasus ini, yang kalah tetap menerima hasil akhirnya.


5 Gugatan Donald Trump

Ilustrasi Pilpres AS 2020, Donald Trump-Mike Pence dan Joe Biden-Kamala Harris. (Liputan6.com/Tri Yasni)

Pada hari-hari setelah pemilihan umum Amerika Serikat dilaksanakan, tim kampanye Presiden Donald Trump telah mengajukan tuntutan hukum di negara-negara bagian di mana persaingan sangat ketat.

Gugatan hukum itu berpotensi masih akan terus diproses oleh kubu petahana, meski pesaing mereka, Capres Joe Biden dari Partai Demokrat, telah dinyatakan sebagai presiden terpilih berdasarkan proyeksi hitungan electoral votes yang dilakukan oleh kantor media besar AS.

Joe Biden mengantungi 290 electoral votes dari ambang batas 270 suara yang dibutuhkan untuk menang. Sementara Donald Trump hanya meraih 214 suara, the Associated Press melaporkan.

Biden melesat dalam persaingan setelah memenangi popular vote di negara bagian Pennsylvania, membuat jatah electoral votes jatuh ke tangannya --jatah suara yang kemudian mengantarkan mantan wapres AS pada era Barack Obama itu melampaui ambang batas 270 suara.

Namun, kubu Donald Trump belum menerima kekalahan. Sang miliarder nyentrik itu sendiri mengklaim bahwa dirinyalah yang memenangi pemilu.

Ia juga menyebut bahwa "pemilu belum usai", dan sejumlah gugatan hukum dari kubunya akan disiapkan.

Berikut 5 gugatan hukum terbaru dari kubu Donald Trump dalam Pilpres AS 2020, dirangkum dari ABC News:

1. Pennsylvania

Tim Kampanye Trump dan tim hukumnya telah melakukan beberapa tindakan hukum di negara bagian tersebut.

Terbaru pada hari Sabtu, setelah Biden menjadi pemenang yang jelas di Pennsylvania - dan, sebagai akibatnya, presiden terpilih - pengacara Trump, Rudy Giuliani, berjanji untuk mengajukan gugatan pada hari Senin untuk menantang perilaku pejabat pemilihan di negara bagian tersebut.

Giuliani menuduh bahwa kampanye Trump kehilangan kemampuan untuk menonton surat suara yang sedang diproses. Dia mengatakan kampanye tersebut akan membuat tuduhan serupa di negara bagian lain yang dapat menyebabkan kampanye untuk membuat kasus "gugatan nasional besar-besaran."

2. Georgia

Tim Kampanye Trump mengajukan gugatan bersama dengan Partai Republik Georgia Rabu di Chatham County berusaha untuk memerintahkan kabupaten untuk mengumpulkan, menyimpan dan mempertanggungjawabkan semua surat suara yang diterima setelah batas waktu negara bagian pukul 7 malam pada Hari Pemilihan.

Hakim Wilayah Chatham James Bass menolak gugatan tersebut selama sidang pada Kamis pagi, dengan alasan kurangnya bukti bahwa surat suara yang dirujuk dalam petisi diterima setelah batas waktu.

3. Michigan

Pada Rabu, Tim Kampanye Trump mengajukan gugatan di pengadilan negara bagian yang meminta penghitungan suara dihentikan sampai pengadilan dapat menegakkan aturan yang mengizinkan pengamat kampanye untuk menonton surat suara dibuka dan dihitung. Kampanye tersebut menuduh bahwa pengamat pemilu tidak diberi akses close-up untuk mengamati penghitungan suara di lokasi di Detroit.

Seorang hakim di Michigan mengatakan Kamis sore bahwa dia akan menolak pembelaan, sebagian besar atas dasar bahwa penghitungan sebagian besar sudah dilakukan.

Pada hari Jumat, Hakim Cynthia Stephens mengeluarkan perintah resminya yang menolak permintaan kampanye Trump untuk menghentikan penghitungan di Wayne County, yang mencakup Detroit, yang secara khusus mengutip kurangnya bukti dan detail yang diberikan oleh kampanye tersebut.

"Seperti yang tercantum dalam catatan sidang 5 November 2020, penggugat tidak berhak atas bantuan darurat luar biasa yang mereka minta," tulisnya.

4. Arizona

Dalam gugatan baru pada hari Sabtu, Tim Kampanye Trump dan Komite Nasional Republik menuduh bahwa suara ditolak dengan tidak semestinya, mengangkat masalah yang sama seperti gugatan Sharpie yang diberhentikan. Mereka mengklaim bahwa "kemungkinan ribuan pemilih di seluruh Maricopa County telah dicabut haknya oleh penggantian tabulator yang tidak tepat secara sistematis."

Sekretaris negara Arizona dan pejabat pemilihan Maricopa County telah berulang kali mengatakan bahwa Sharpies tidak menimbulkan masalah pada peralatan tabulasi.

5. Nevada 

Pada Kamis, Tim Kampanye Trump mengumumkan sedang mengajukan gugatan di pengadilan federal di Clark County atas penipuan pemilih. Gugatan tersebut, yang diajukan hari itu juga oleh kelompok GOP Nevada, menuduh bahwa "prosedur yang longgar untuk mengautentikasi surat suara yang masuk lebih dari 3.000 contoh individu yang tidak memenuhi syarat yang memberikan suara."

Gugatan tersebut meminta putusan sela pengadilan yang mengarahkan pekerja pemungutan suara untuk secara manual memeriksa semua tanda tangan surat suara dan untuk memungkinkan "akses yang berarti" ke penghitungan surat suara.

Seorang hakim pengadilan distrik Nevada menolak permintaan darurat pada Jumat sore. Hakim James Gordon mengatakan dia tidak berpikir penggugat datang ke pengadilan dengan "cukup bukti" untuk mendapatkan apa yang dibutuhkan dari "pembebasan luar biasa dari sebuah perintah" yang akan membuatnya "mendikte bagaimana Clark County harus melakukan pekerjaan mereka."


Peta Hasil Pemilu AS 2020

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya