Liputan6.com, Jakarta Irjen Napoleon Bonaparte mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan kasus suap penghapusan status red notice Djoko Tjandra yang dibacalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada, Senin 2 November 2020 kemarin.
Menurut tim kuasa hukum Napoleon, dakwaan jaksa penuntut umum yang menyebut Napoleon menerima suap dari Djoko Tjandra terkait penghapusan red notice adalah rekayasa palsu.
Advertisement
"Bahwa perkara pidana yang melibatkan klien kami, Irjen Napoleon Bonaparte dalam hal penerimaan uang sejumlah SGD 200 ribu dan USD 270 ribu untuk pengurusan penghapusan red notice adalah merupakan rekayasa perkara palsu," ujar Santrawan Paparang, tim kuasa hukum Napoleon di Pengadilan Tipikor, Senin (9/11/2020).
Santrawan menyatakan demikian bukan tanpa alasan. Menurutnya, kuitansi atau bukti penerimaan uang dari Djoko Tjandra tidak ada hubungannya dengan Napoleon. Jaksa menyebut, uang dari Djoko Tjandra diterima Napoleon melalui Tommy Sumardi.
Menurut Santrawan, bukti soal penerimaan uang terhadap kliennya tak kuat lantaran hanya berdasarkan kesaksian dari satu orang, yakni keterangan dari Tommy Sumardi.
"Bahwa tidak ada keterangan kesaksian yang termuat di dalam keseluruhan berita acara pemeriksaan (BAP) dari saksi Djoko Soegiarto Tjandra yang menerangkan keterlibatan langsung maupun tidak langsung Irjen Napoleon Bonaparte terhadap penyerahan dan penerimaan uang sebagaimana kwitansi tanda terima," kata dia.
Dia menerangkan, kwitansi tanda terima uang yang diterjma Tommy Sumardi dari Djoko Tjandra berturut-turut pada 27 April 2020 sebesar SGD 100 ribu, 28 April sebesar SGD 200 ribu, 29 April sebesar USD 100 ribu, 4 Mei 2020 sebesar USD 150 ribu, 12 Mei sebesar USD 100 ribu, dan 22 Mei 2020 sebesar USD 50 ribu.
"Maka seharusnya demi hukum di dalam kuitansi tanda terima uang wajib dicatat maksud penerimaan uang yang diterima Tommy Sumardi dari Djoko Tjandra akan dipergunakan untuk kepentingan apa," kata dia.
Tim kuasa hukum juga menjelaskan uang USD 20 ribu yang dijadikan barang bukti oleh penuntut umum bukan dari Tommy Sumardi, melainkan dari istri Brigjen Prasetijo Utomo. Uang itu diperuntukkan buat barang bukti di Propam Polri.
"Bahwasanya uang USD 20 ribu adalah uang milik sah dari istri Brigjen Prasetijo Utomo dalam bentuk mata uang rupiah di mana ketika itu Divisi Propam Polri meminta kepada Brigjen Prasetijo Utomo agar menyiapkan barang bukti uang USD 20 ribu, dan mengingat karena ia Brigjen Prasetijo tak memiliki uang, maka Brigjen Prasetijo menulis sepotong surat kepada istrinya dengan meminta uang sejumlah USD 20 ribu," paparnya.
Oleh karena itu, dia menilai uang USD 20 ribu yang dijadikan barang bukti untuk kasus kliennya cacat hukum. Dia membantah uang itu penerimaan dari Tommy Sumardi, melainkan uang istri Brigjen Prasetijo yang dipinjam oleh Divisi Prompam untuk barang bukti.
"Bahwa dengan demikian, keberadaan barang bukti uang USD 20 ribu yang oleh penyidik Tipikor Bareskrim Polri dijadikan barang bukti dalam berkas perkara klien kami terdakwa Irjen Napoleon adalah melawan hukum, cacat hukum, tidak sah berkekuatan hukum dan batal demi hukum dengan segala akibatnya," kata dia.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Urus Status Red Notice
Diberitakan sebelumnya, mantan Kadiv Hubinter Irjen Napoleon Bonaparte menerima sejumlah uang untuk mengurus status red notice Djoko Tjandra.
"Telah menerima pemberian atau janji yaitu terdakwa Irjen Pol Napoleon Bonaparte menerima uang sejumlah SGD 200 ribu dan USD 270 ribu," kata jaksa saat pembacaan dakwaan.
Jaksa menyebut, Irjen Napoleon menerima aliran uang tersebut langsung dari terdakwa Tommy Sumardi dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari Daftar Pencanan Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.
Dengan cara, Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte memerintahkan penerbitan surat yang ditujukan kepada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI yaitu surat nomor B/1000/IV/2020/NCB-Div HI, tanggal 29 April 2020, surat nomor: B/1030/V/2020/NCB-Div HI tanggal 04 Mei 2020, surat nomor 8 1036/V/2020/NCB-Div HI tgi 05 Mei 2020.
"Yang dengan surat-surat tersebut pada tanggal 13 Mei 2020, pihak Imigrasi melakukan penghapusan status DPO atas nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada Sistim Informasi Keimigrasian (SIMKIM) Direktorat Jenderal Imigrasi," jelas dia.
Jaksa menegaskan, perbuatan tersebut mengakibatkan terhapusnya status DPO Djoko Tjandra pada sistem ECS Imigrasi. Sebagai polisi, Irjen Napoleon Bonaparte seharusnya melakukan penangkapan terhadap Djoko Tjandra jika masuk ke Indonesia.
"Petugas juga mesti menjaga informasi Interpol hanya untuk kepentingan kepolisian dan penegakan hukum serta tidak menerima pemberian berupa hadiah dan atau janji-janji," jaksa menandaskan.
Advertisement