Liputan6.com, Jakarta Pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sejauh ini fokus pada pengajaran berbagai keterampilan pada anak. Padahal, dalam pendidikan inklusif para orangtua juga seharusnya mengikuti pelatihan untuk menangani anak spesialnya.
Hal ini disampaikan Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) B-C YPCM Boyolali, Jawa Tengah, Drs. Subaru SE., MM dalam lokakarya di Yogyakarta, ditulis Selasa (10/11/2020).
Advertisement
“Dari berbagai pengalaman di lapangan dan berbagai macam teori yang kami dapatkan, ternyata program kita itu bukan hanya masalah pendidikan anak tapi juga perlu adanya pendidikan dan pelatihan bagi para orangtua anak,” katanya.
Ia menambahkan, selain anak yang ikut sekolah di pendidikan luar biasa, orangtua juga perlu ikut diberi pengetahuan dan ilmu tentang bagaimana pendampingan anak. Hal ini juga berguna bagi orangtua agar dapat melakukan fisioterapi di rumah masing-masing jika anaknya memerlukan terapi tersebut.
“Ini sangat membantu karena 24 jam orangtua bersama anak-anak. Sertai mereka, ajak makan bersama, terus dimonitor walau melalui ponsel.”
Simak Video Berikut Ini:
Setiap Anak Memiliki Potensi
Selama 40 tahun berkecimpung di dunia disabilitas Subaru melihat bahwa setiap anak memiliki kemampuan dan potensi masing masing khususnya anak difabel.
Seperti anak pada umumnya, mereka dapat berkembang dan hidup mandiri serta memiliki kepercayaan diri. Bahkan, beberapa siswa sebelum lulus sudah dipekerjakan contohnya di percetakan dan industri tekstil.
“Ada juga yang bakatnya di salon dan industri baja. Setelah lulus mereka juga membuat komunitas tunarungu Boyolali. Komunitas itu sering tampil di berbagai acara mulai dari car free day hingga hari-hari besar agar mereka dikenal oleh masyarakat.”
Subaru juga menyebut bahwa sebagian muridnya sudah ada yang bisa menjadi tulang punggung keluarga dan membiayai kuliah adik-adiknya.
Advertisement
Masalah Pendataan
Perkembangan pendidikan inklusif di kota tidak sama dengan di desa terpencil. Masyarakat pedesaan umumnya memiliki pemahaman yang kurang terkait disabilitas.
Menurut Subaru, sempat ada satu kecamatan di lereng Merapi yang tidak melaporkan jumlah difabel di wilayahnya karena di Kartu Keluarga tidak disebutkan.
Hal ini dapat berpengaruh terhadap pendidikan difabel-difabel tersebut, tidak adanya data dapat menyulitkan penyaringan atau penyaluran bantuan pendidikan khusus bagi mereka. Setelah ditelusuri ternyata ada 62 anak difabel di kecamatan tersebut.
“Kami melakukan pendataan dari bidan-bidan desa, sebenarnya anak difabel sudah diketahui sejak lahir namun bidan-bidan pun tidak dapat berbuat banyak.”
Setelah melakukan pengajaran selama 4 tahun, ada berbagai perubahan dan perkembangan baik yang ditunjukkan anak-anak difabel di wilayah tersebut, tutup Subaru.
Infografis Disabilitas
Advertisement