Liputan6.com, Ciamis - Bagi Enok Sri Kurniasih (46), warga Kampung Citaman, Desa Cicapar, Kecamatan Banjarsari, Ciamis, Jawa Barat ini, kesuksesan mengelola produk minuman nata de coco saat ini, bukanlah ketiban durian runtuh.
Keterbatasan fisik yang dialami Teh Nia, sapaan akrab Enok, selepas musibah kecelakaan 25 tahun lalu, membuat upayanya dalam meraih kesuksesan tidaklah mudah.
Advertisement
"Maklum hingga kini masih ada diskriminasi bagi mereka yang kekurangan fisik seperti saya," ujarnya, dalam obrolan hangatnya dengan awak media, saat kunjungan kerja mitra binaan Bank Indonesia (BI), Senin (9/11/2020).
Menggunakan merek dagang Naza, akronim dari nama kedua anaknya Nabil dan Zaki, bisnis rumahan ini perlahan dengan pasti berkembang. Kesuksesan Nia mulai diperhitungkan banyak pihak, termasuk menjadi motivator bagi para difabel agar bangkit dari keterpurukan.
"Kalau saya tidak mandiri bagaimana saya bisa survive," ujar dia memotivasi.
Jalan hidup yang Nia alami memang tidaklah mudah, tetapi meskipun demikian dia tidak takluk pada takdir yang diberikan Sang Khalik.
Usaha olahan nata de coco akhirnya ia ambil sebagai ikhtiar awal pendapatan tambahan keluarga. "Siangnya saya kerja, malamnya bersama suami mengolah bahan," kata dia.
Pilihan itu bukanlah tidak mendasar. Melimpahnya bahan dasar limbah air kelapa di pasar tradisional, serta pohon kelapa milik warga, membuatnya tertantang mengolah bahan makanan dari kelapa itu.
"Indonesia itu salah satu negara penghasil kelapa terbesar dunia, bahan baku air kelapa tersedia setiap saat," ujar dia.
Sejumlah rencana pun disusun, sebanyak 400 nampan bekas ia beli, hasil modal urungan bersama suami pada awal 2001 silam. "Saya tidak punya karyawan, seluruhnya saya jalankan berdua bersama suami," kata dia.
Gayung bersambut, pengalaman yang ia peroleh selama enam tahun menjadi karyawan, saat membantu kakak sepupunya menjalankan usaha nata de coco, cukup bermanfaat.
"Binis nata de coco itu adalah bisnis mikroba, bisa jadi 10, 100, atau bahkan 1.000," kata dia.
Bahkan dalam perjalanan selanjutnya, bahan baku dari olahan air kelapa itu, dibutuhkan untuk sektor industri non food seperti bahan kertas, tekstil, layar LCD, dan lain-lain.
"Asal barangnya ada, pangsa pasarnya sangat luas, banyak yang membutuhkan," ujar dia sedikit berbagi.
Khusus bisnis makanan yang ia jalankan saat ini, sudah ada beberapa produk yang diolah, mulai minuman natural nata de coco, hingga bahan campuran minuman lain. "Saya sudah mencoba dicampur dengan honje minuman berbahan lokal, rasanya enak," kata dia.
Walhasil, dalam beberapa momen liburan panjang seperti Idul Fitri dan lainnya, permintaan pun melonjak signifikan. "Kadang tidak bisa kita sanggupi sebab kemampuan kita yang terbatas," kata dia.
Kini, setelah mendapatkan binaan dari Bank Indonesia sejak 2014 lalu, rintisan usaha yang berusia hampir dua dekade lalu itu, terus menunjukkan tajinya.
"BI itu tidak memberikan ikannya tapi kailnya, banyak sekali manfaatnya terutama soal kedisiplinan dan etos kerja bagaimana menghadapi konsumen," kata dia.
Produknya pun tidak hanya menjadi pemimpin pasar di Ciamis, tetapi sudah merambah wilayah lain. Sebut saja produk olahan Wong Koko Lampung, kemudian Bekasi, Bogor, Cianjur, mengantre kiriman bahan baku nata de coco Naza.
"Insya Allah dalam waktu dekat pabrik kami segera didatangi BPOM untuk menguji kualitas," kata dia.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Tasikmalaya Darjana menilai, capaian yang dirasakan kelompok usaha nata de coco 'Naza', merupakan hasil kerja keras mereka, dalam merealisasikan setiap mimpinya.
"Saya melihat wirausaha muda terutama ibu-ibu itu open minded, dia mau menerima masukan dan mau belajar," kata dia.
Dengan upaya itu, setiap pelatihan yang diberikan dari BI, mampu dicerna dengan baik untuk menghasilkan produk yang berkualitas.
"Dia produk herbal yang permintaannya lebih tinggi itulah kunci dari keberhasilannya," kata dia.
Simak Video Pilihan Berikut:
Musibah Ubah Jalan Hidup
Perjuangan Nia dalam meraih asa kesuksesan bukan perkara gampang laiknya membalikkan tangan. Musibah kecelakan lalu lintas di tanjankan Alas Roban 1995 silam mengubah segalanya. "Intinya dari musibah itu mengajarkan bagaimana saya bisa mandiri," ujarnya.
Menggunakan setelah baju muslimah berkerudung, plus tangan buatan, Nia tak sungkan berbagi cerita di depan kalangan wartawan yang hadir.
Saat itu, Nia muda yang tengah duduk di semester V di salah satu universitas swasta di kota kembang Bandung, berencana mengikuti kegiatan kemah bakti budaya nasional.
Nahas mobil yang membawa rombongan masuk jurang, hingga menyebabkan banyak korban, termasuk dirinya.
"Tangan kanan saya putus seketika, terkena patahan besi dan pecahan kaca kendaraan," ujarnya mengenang.
Brak, perasaan putus asa dan pesimis pun seketika langsung membayangi dirinya. Harapan menjadi abdi negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS), akhirnya kandas setelah musibah itu.
Beruntung Menteri Sosial Inten Suweno saat itu, datang melayat memberikan dukungan dan motivasi untuk tetap melanjutkan kuliah hingga lulus.
"Paling terasa itu ketika lulus kuliah, mulai terlihat adanya diskrimasi akibat adanya kekurang sempurnaan ini," ujarnya.
Nasi sudah jadi bubur, perjuangan pun dimulai, beragam lamaran untuk bekerja ia lakukan, untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, meskipun tak sedikit mendapat penolakan akibat keterbatasan fisik itu.
"Akhirnya saya ikut membantu kakak sepupu saya yang lulusan IPB, kebetulan ahli mengolah nata de coco," kata dia.
Gayung bersambut, akhirnya setelah beberapa tahun menimba ilmu mengolah limbah air kelapa tersebut, keberanian untuk membuka usaha sendiri pun akhirnya tumbuh.
"Saya menyampaikan permohonan untuk membuka usaha sendiri dan dia mengizinkan," kata dia.
Awalnya, ia kumpulkan bahan baku dari limbah air kelapa yang diperoleh dari pasar dan warga sekitar, hingga sejurus kemudian diolahnya secara mendiri menjadi produk olahan nata de coco.
"Saya mengolah bahan malam hari bersama suami, sebab siangnya bekerja dulu," kata dia.
Hasilnya masih belum memuaskan, meski produk nata de coco Naza yang ia hasilkan, mendapatkan respon positif dari pasar, walaupun pola pengolahannya masih sederhana.
"Saya masih ingat keuntungan pertama itu sebesar Rp150 ribu, hingga akhirnya terbersit untuk mengolah secara profesional," kata dia.
Perlahan tapi pasti, produk olahan nata de coco yang ia hasilkan mulai dilirik pasar luar, beberapa pengepul mulai datang untuk dijual kembali ke beberapa pabrik produk minuman olahan.
"Saat ini produksi harian sebanyak 4 ton, kalau sebulan sekitar 80-100 ton," kata dia.
Tak ayal dengan total produksinya itu, Nia sudah mampu menghasilkan penjualan hingga Rp200 juta per bulan, dengan melibatkan hingga 36 pegawai warga sekitar.
"Intinya kita kerja keras, kerja cerdas, dan jangan patah semangat," kata dia sedikit membuka celah tips suksesnya dalam membuka usaha.
Advertisement
Cara Membuat Nata de Coco
Nia mengatakan, cara meramu nata de coco yang ia jalankan terbilang mudah. Bahan baku air kelapa yang ia peroleh dari pasar atau tempat lain, disaring untuk menghilangkan bahan lain.
"Jangan biarkan terlalu lama, sebab semakin lama setiap hari PH asamnya semakin tinggi," kata dia.
Dalam mengolah limbah air kelapa, memang tidak seharum mengolah bahan makanan lainnya. Bau menyengat khas air kelapa, tak bisa dihindari.
Awalnya, pengolahan yang ia jalankan masih konvensional menggunakan pemanasan kondensor, tetapi sayang produksinya tidak optimal, akibat banyaknya kebocoran.
"Dengna sistem dandang itu paling dua jam hanya menghasilkan 25 nampan atau 250 lembar," kata dia.
Namun, setelah mendapatkan bimbingan teknis dari pendampingan Bank Indonesia, nilai produksi pun akhirnya tumbuh.
"Sekarang 20 menit bisa menghasilkan 4.000-5.000 lembar," kata dia.
Dalam sekali mengolah, ujar dia, dibutuhkan mikroba bakteri Acetobacter xylinum yang dimasukkan ke dalam media produksi berupa starter nata.
Kemudian, tambahkan asam asetat atau asam cuka untuk menurunkan pH atau meningkatkan keasaman air kelapa. Asam asetat yang baik adalah asam asetat glacial (99,8%). "Kita menggunakan asam asetat buat makanan bukan urea untuk pertanian," kata dia.
Akhirnya, setelah tercampur bakteri dalam strater nata, bakteri mampu membentuk serat nata hingga akhirnya menghasilkan enzim yang dapat menyusun zat gula, hingga tampak padat berwarna putih maupun transparan dan sudah bisa disebut dengan istilah nata.