UN Women dan AJI Gelar Webinar Mengenai Kesetaraan Gender

UN Women dan AJI menggelar webinar untuk membahas krisis atas kesetaraan gender.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Nov 2020, 19:23 WIB
Webinar UN Women via Zoom

Liputan6.com, Jakarta - UN Women didirikan pada tahun 2010 yang didedikasikan untuk pemperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. UN Women memiliki misi yaitu memperjungkan agenda-agenda kesetaraan gender dan perempuan untuk menegakkan hak perempun serta menjawab tujuan Sustainable Development Goals.

EU juga memiliki komitmen yang sangat kuat, terkait SDgs (Strategi Kesetaraan Gender, Rencana Aksi Gender, Pendekatan Strategis terkait Perempuan, Perdamaian dan Keamanan). Laurence Gillois, Wakil Direktur UN Women Brussel mengatakan bahwa EU siap dengan Kerangka Kerja Keuangan Multi Tahun 2021-2027 untuk mendukung agenda kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, serta pencapaian SDGs.

Webinar yang digelar pada Selasa (10/11/2020), Strategi Kesetaraan Gender EU (2020-2025): Kesetaraan gender menjadi prinsip utama EU, namun demikian ini belum terwujud secara konkret di dunia usaha, politik maupun kehidupan bermasyarakat secara umum. Rencana Aksi Gender EU seri ke-3 (2021-2025), mencakup kegiatan-kegiatan eskternal, yang diadopsi sebagai Komunikasi EU di bulan November, dan menjadi Ringkasan Dewan yang dibawahi oleh pemerintah Jerman, dan dengan demikian juga dapat diimplementasikan di berbagai institusi EU dan negara-negara anggotanya.

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Perempuan Dalam Lingkup COVID19

Ilustrasi Konflik KDRT Credit: unsplash.com/Christine

Temanya mencakup, kekerasan berbasis gender, pemberdayaan ekonomi, kepemimpinan perempuan, pendidikan, digitalisasi, COVID-19, dll. Dampak COVID-19 terhadap kemiskinan pada perempuan yaitu bahwa saat ini di setiap 100 laki-laki miskin antara usia 25-34 tahun, terdapat 188 perempuan miskin, akibat pandemi ini juga tingkat kemiskinan perempuan rata-rata  diperkirakan akan naik sebesar 9,1%.

Dampak COVID-19 dalam kesempatan kerja di antara perempuan, yaitu kasus COVID-19 di antara pekerja perempuan adalah 2-3 kali lebih tinggi dari pada pekerja laki-laki (data berasal dari Jerman, Italia, dan Spanyol). Di bulan pertama dalam pandemi, pekerja informal secara global diperkirakan kehilangan 60% pemasukannya, dampak COVID-19 dalam pekerjaan rumah bagi perempuan yaitu meningkatkan beban kerja di dalam rumah, meski laki-laki dilaporkan membantu, namun perempuan menanggung dampak lebih besar, dalam mencakup beban fisik dan mental.

Sepanjang 1 tahun terakhir, sebanyak 243 juta perempuan berusia antara 15-49 tahun mengalami kekerasan fisik dan seksual yang dilakukan oleh orang terdekat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan kekerasan terhadap perempuan yaitu adanya kecemasan akan keselamatan, kesehatan dan stabilitas keuangannya, seperti situasi rumah tinggal yang sempit/berhimpitan secara padat, terisolasi dengan pemberi kekerasan, pembatasan sosial serta banyaknya area-area publik yang ditinggalkan/kurangnya pengawaan publik selama pandemi. Kurang dari 4-% bahwa perempuan mengalami kekerasan untuk berani melapor atau mencari pertolongan, hal ini dikarenakan jika melapor bagi mereka adalah sebuah aib.

KDRT yang dilaporkan juga mengalami peningkatan di Singapura (33%), Siprus (30%), Perancis (30%), dan Argentina (25%) hal tersebut merupakan dampak dari perpektif gender ekonomi, poliik, perawatan/pemeliharaan keluarga, kekerasan terhadap perempuan.


Posisi Perempuan Yang Semakin Lemah

Alami KDRT, Ini 7 Potret Tiga Setia Gara Saat Lakukan Perawatan (sumber: Instagram.com/tigawat)

Semakin lama posisi perempuan semakin ringkih, Endah Lismartini selaku Koordinator Divisi Gender dan Kelompok Marjinal, AJI Indonesia mengatakan bahwa gender bukan suatu hal yang mutlak, tetapi dikarenakan adanya bentukan dari budaya.

Saat ini perempuan diposisikan sebagai subordinat, gender yang tidak mempunyai power, mudah untuk didominasi, difungsikan sebagai objek, dan terjadinya akrena bentukan budaya patriarki yang kuat di masyarakat. Dalam media massa, sering sekali ditemukan bahwa perempuan yang menjadi korban dijadikan objek pemberitaan dengan memvisualisasi dan indentifikasinya dengan gambaran mengenai tubuhnya.

Perempuan juga kerap menjadi pemberitaan dan kekerasan yang dideskripsikan sebagai sosok yang mempunyai andil terhadap aksi kekerasan terhadap dirinya sendiri, dengan ini dimaksudkan perempuan yang menjadi korban juga bisa dijadikan sebagai pelaku, karena membuat laki-laki melakukan kekerasan ataupun pelecehan terhadap hilangnya kontrol atas dirinya.

Pemilihan diksi yang melemahkan juga merugikan perempuan atau korban untuk menyebut pemerkosaan dengan eufisme atau semacam keperawanannya ternoda atau digagahi. Di tengah pandemi COVID-19 ini potensi meningkatnya kekerasan berbasis gender meningkat dan beban ganda juga berlipat.

Karena hal itu, diperlukan adanya sensitif gender untuk meluruskan hubungan yang timpang atau relasi yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan. Jurnalisme juga memegang prinsip-prinsip humanisme yang berangkat dari sensitivitas terhadap situasi sosial di masyarakat.

Reporter : Romanauli Debora

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya