Liputan6.com, Jakarta - Peneliti mengakhiri uji klinis obat HIV lebih awal karena hasilnya sangat meyakinkan. Obat yang diberikan dalam bentuk enam suntikan dalam setahun ini diklaim lebih efektif daripada 365 pil harian.
Penelitian tersebut dipuji sebagai terobosan dalam perang melawan virus mematikan penyebab AIDS, hingga para peneliti memutuskan untuk mengakhiri uji klinis obat lebih awal, seperti dikutip New York Post, Senin (9/11/2020).
Dokter spesialis penyakit infeksi di Brigham and Women’s Hospital di Boston, Dr Sigal Yawetz, yang tidak terlibat dalam penelitian mengatakan hasil uji coba obat HIV ini bisa mengubah nasib wanita.
"Wanita dewasa dan anak perempuan menyumbang sekitar setengah dari semua kasus HIV," katanya.
Advertisement
Pada 2019, UNAIDS---sebuah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memimpin perjuangan global melawan HIV dan AIDS---mengungkapkan bahwa di sub-Sahara Afrika terdapat lima dari enam infeksi baru di kalangan remaja perempuan usia 15 hingga 19.
“Jika kita ingin mencapai akhir epidemi, kita harus melakukan sesuatu untuk membendung gelombang infeksi pada para wanita itu. Itulah mengapa studi ini sangat penting. Ini memberikan opsi baru yang sangat efektif bagi wanita," kata Kepala penelitian dan pengembangan di ViiV Healthcare (yang memproduksi suntikan), Dr Kimberly Smith.
Menurut para ahli, banyak wanita berjuang untuk minum pil secara teratur. Namun, tak sedikit dari mereka yang bosan hingga tidak meminumnya rutin.
Dengan bertambahnya strategi dalam mencegah HIV, Dr Yawetz mengatakan obat HIV suntik ini bisa menjadi pilihan yang terjangkau dan aman.
Simak Video Berikut Ini:
Proses Uji klinis sempat terkendala COVID-19
Menurut dr Smith, uji klinis bukan tanpa kendala. Mengingat lockdown di beberapa negara selama pandemi, ada masalah untuk memastikan bahwa para wanita ini bisa mendapatkan suntikan tepat waktu.
Beruntung, para peneliti bisa mengirim transportasi untuk para wanita yang mengikuti uji klinis tersebut dan berhasil mempertahankan 98 persen peserta, katanya.
Uji klinis ini dilakukan oleh HIV Prevention Trials Network, sebuah kolaborasi internasional yang didanai oleh National Institutes of Health. Percobaan membandingkan obat yang disuntikkan, yang disebut cabotegravir, dengan Truvada pada 3.223 peserta di 20 lokasi di tujuh negara di sub-Sahara Afrika.
Dari wanita yang menerima Truvada, 34 terinfeksi HIV selama uji coba, dibandingkan dengan hanya empat wanita yang menerima suntikan; dua dari empat wanita itu telah berhenti menerima suntikan, kata Dr. Smith.
Setelah melalui analisis, studi menunjukkan bahwa injeksi jangka panjang ternyata 89 persen lebih efektif daripada Truvada. Untuk itu, Independent data safety monitoring board merekomendasikan agar uji coba dihentikan lebih awal karena dianggap berhasil.
Tentu banyak yang sangat menantikan hasil dari penelitian ini untuk bisa digunakan secara umum. Terlebih, obat tersebut tidak perlu disimpan di lemari es, sehingga wanita bisa menggabungkannya dengan kontrasepsi suntik," kata Dr. Monica Gandhi, seorang ahli HIV di University of California, San Francisco yang tidak terlibat dalam persidangan.
Percobaan sebelumnya menguji obat tersebut pada hampir 4.600 pria cisgender dan wanita transgender dan menemukan bahwa obat suntik tersebut 66 persen lebih efektif daripada Truvada pada populasi tersebut. Uji coba itu diharapkan berlanjut hingga 2022, tetapi dihentikan pada Mei karena alasan yang sama.
Gandhi memuji uji coba ini untuk menguji obat di berbagai populasi. Gilead's Descovy diuji dan disetujui hanya pada pria dan wanita transgender yang berhubungan seks dengan pria.
Para wanita dalam uji coba semuanya menggunakan kontrasepsi, tetapi mengingat bahwa wanita usia subur berisiko tinggi terinfeksi HIV, penting juga untuk menunjukkan bahwa obat tersebut aman untuk digunakan pada wanita hamil, kata Dr. Yawetz.
Namun karena obat suntikan dengan dosis rendah ini dapat bertahan di tubuh dalam waktu yang lama, sehingga ada risiko resistensi yang lebih tinggi pada orang yang melewatkan suntikan dibandingkan dengan pil harian yang cepat menghilang.
"Jika Anda melewatinya terlalu lama, Anda bisa terkena virus yang resisten terhadap obat. Maka dari itu, setiap delapan minggu wajib untuk menjalani suntik lagi. Oleh karena itu, pasien harus tetap mematuhi jadwal seperti ini," kata Dr. Gandhi.
Advertisement