Liputan6.com, Jakarta - Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Arif Budimanta memastikan kebijakan transisi energi terus dilakukan oleh pemerintah. Sebab, transisi energi menjadi sangat dibutuhkan, utamanya untuk mewujudkan ketahanan energi dan menurunkan emisi karbon.
"Pada intinya apa yang dilakukan dengan konteks transisi energi ini sudah on the track," kata dia dalam diskusi virtual, di Jakarta, Jumat (13/11)
Advertisement
Dia mengatakan, Presiden Joko Widodo sangat serius dan konsen terhadap arah kebijakan energi ke depan. Bahkan belum lama, kata dia, Kepala Negara itu memantau langsung proses perkembangan transisi energi di Tanah Air hingga sejauh mana.
"Presiden sendiri terus melakukan pengawalan secara langsung bahkan beberapa waktu yang lalu, belum ada satu bulan namun secara kusus dibahas mengenai proses transisi energi," katanya.
Bahkan, seluruh road map bauran kebijakan energi secara langsung dilakukan evaluasi secara berkala. Tidak sampai proses monitoring juga dilakukan, untuk mencari kendala dan apa -apa saja yang perlu didorong dalam rancangan-rancangan dan kebijakan selanjutnya.
Sebelumnya, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya mengatakan, transisi energi bukanlah sebuah pilihan yang bisa dilakukan, tetapi sebuah keharusan. Namun demikian, Indonesia dinilai belum siap untuk langsung berjalan ke arah transisi energi karena adanya justifikasi dari melimpahnya sumber daya alam yang ada di negeri ini.
"Kita tahu kalau kita harus transisi energi, kita tahu kita tertinggal ketimbang negara lain. Tapi, karena ada pembenaran bahwa energi kita (misalnya batubara) masih banyak, kita jadi kena 'kutukan sumber daya alam'. Ketika sumber daya kita banyak, hal ini malah bikin kita tertinggal dari negara lain," ujar Tata pada Peluncuran Laporan Seri Studi Peta Jalan Transisi Energi Indonesia via YouTube Live pada Rabu (4/11).
Menurutnya, hal itu yang membuat Indonesia belum berada di jalur yang tepat untuk melakukan transisi energi, khususnya batu bara yang saat ini masih mendominasi bauran energi.
"Kalau kita bicara tentang sektor kelistrikan, sekitar 54 persen dan presentasinya akan turun sedikit. Meskipun jika ditotal akan meningkat melihat susunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) saat ini," tambahnya.
Selain adanya bauran batubara yang masih mendominasi, hambatan yang menahan adanya transisi adalah masalah regulasi. Ketidakseragaman keputusan serta belum tegasnya ketetapan peraturan tentang penggunaan energi langsung dari pemerintah membuat transisi energi masih jauh di depan mata. Fokus pemerintah dilihat lebih mengutamakan untuk membangun infrastruktur.
"Bukan soal pemerintah harus jadi radikal untuk menerapkan ini. Namun, diharapkan pemerintah dapat lebih tegas dalam membicarakan peta jalan yang jelas. Perencanaan pembangunan tambang dan lain-lain ini akan menghambat perkembangan energi terbarukan di Indonesia," ungkapnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Indonesia Siap Penuhi Kebutuhan Bioenergi Jepang
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan Indonesia siap memenuhi kebutuhan bioenergi untuk Jepang.
Kesiapan tersebut disampaikan dalam rapat rencana kerja awal pemerintah Indonesia dengan Jepang yang diselenggarakan secara virtual.
"Saat ini Indonesia tengah berusaha meningkatkan pemanfaatan biomassa sebagai alternatif bahan bakar untuk membangkitkan listrik. Indonesia sangat senang memenuhi kebutuhan biomassa di Jepang khususnya berasal dari cangkang sawit," ujar Airlangga, Selasa (10/11/2020).
Untuk memastikan agar standar bioenergi Indonesia layak dipakai dan memenuhi kebutuhan negeri sakura tersebut, Airlangga mengingatkan pentingnya komunikasi antar stakeholder dalam pemenuhan pasar.
Selain itu, politikus Golkar ini juga menyampaikan agar para pelaku industri bioenergi saling berkolaborasi menentukan kapasitas ataupun syarat yang harus dipenuhi agar jual beli bioenergi bisa maksimal.
"Perlu ada kolaborasi antara sehingga Indonesia dapat memanfaatkan berbagai sektor biomassa yang ditawarkan Jepang," jelasnya.
Sebagai negara yang memproduksi kelapa sawit terbesar di dunia, Airlangga juga menyampaikan, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan transisi dari penggunaan energi fosil ke bioenergi.
Selain itu, Airlangga menagatakan pengembangan energi baru terbarukan yang dimuat dalam RUPTL PLT 2019-2028 bahkan dicantumkan capaian target penambahan bioenergi sesuai dengan kebutuhan pasar. Untuk itu, dalam rapat kerja pertama yang dimulai hari ini, Airlangga berharap terjadi kesepahaman antara Indonesia dan Jepang terkait kualitas bioenergi yang akan diproduksi oleh Indonesia.
"Saya mengharapkan ini jadi langkah nyata hasil resolusi yang konkret dalam upaya meraih pasar biomassa energi Jepang yang dapat mendorong kapasitas perekonomian secara nasional di tengah lesunya ekonomi," ucap Airlangga.
Reporter: Yunita Amalia
Advertisement