Berlin - Meski belum ada vaksin, sejumlah pasien terinfeksi COVID-19 dilaporkan sembuh dengan perawatan menggunakann serangkaian obat.
Kendati demikian, sejumlah pasien yang sudah sembuh mengaku mengalami efek masalah psikis, gejala dampak jangka panjang infeksi COVID-19. Seperti depresi, rasa takut tak beralasan atau tidak bisa tidur.
Advertisement
Laporan DW Indonesia yang dikutip Jumat (13/11/2020) menyebut, Riset Oxford University menunjukkan bahwa virus juga menyerang dan merusak jaringan saraf.
Virus Corona SARS-CoV-2 diketahui sangat agresif dan menyerang serta merusak jaringan paru-paru dan saluran pernafasan. Namun para dokter juga melaporkan virus pemicu COVID-19 ini juga menyerang jantung, ginjal, jaringan saraf, pembuluh darah dan kulit.
Laporan para dokter ahli saraf Inggris bulan Juli lalu mengejutkan banyak orang. Virus Corona SARS CoV-2 ternyata bisa memicu kerusakan berat pada otak dan sistem saraf pusat pada pasien dengan gejala ringan atau mereka yang sudah sembuh dari COVID-19. Hal ini bisa memicu stroke, masalah psikis atau kelumpuhan.
Para ilmuwan dari Oxford Health Biomedical Research Centre kini menemukan, COVID-19 bisa memicu masalah psikis pada sekitar 20% yang terinfeksi. Terutama isolasi bisa memicu depresi, rasa takut tidak beralasan dan tidak bisa tidur, demikian hasil riset para peneliti yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah "Lancet Psychiatry".
Saksikan Juga Video Ini:
Kasus Penyakit Lain Sebagai Pembanding
Risetnya mencakup data anonim sangat besar, yakni sekita 70 juta akte elektronik pasien di Amerika Serikat. Diantaranya terdapat sekitar 62.000 data pasien COVID-19 dengan gejala ringan atau sedang.
Dari data ini dilakukan penelitian lanjutan untuk melihat apakah dalam rentang waktu dua minggu hingga tiga bulan setelah diagnosa, pasien menunjukkan masalah psikis. Hasilnya, sekitar 18,1% mantan pasien COVID-19 didiagnosa mengalami masalah psikis dalam rentang waktu tersebut.
Untuk menegaskan bahwa penyakit psikis ini berkorelasi langsung dengan COVID-19, para peneliti membandingkannya dengan enam kasus penyakit lain dalam rentang waktu yang sama. Seperti penyakit infuenza, infeksi radang saluran pernafasan di luar COVID-19, penyakit batu ginjal, infeksi kulit, penyumbatan saluran kemih dan patah tulang.
Pada 6 penyakit itu, munculnya masalah psikis sebagai efek sampingan, hanya didiagnosa pada kisaran antara 2,5% hingga 3,4%. “Temuan ini tidak diduga dan harus diteliti lebih lanjut. Untuk sementara ini, gangguan psikis harus dimasukan ke dalam daftar faktor risiko COVID-19“, ujar Max Taquet dari National Institute for Health Research yang juga salah satu penulis laporan ilmiah itu.
Advertisement
Jangan Ditafsirkan Berlebihan
Para ilmuwan Inggris itu dalam waktu bersamaan juga memperingatkan, analisis data kesehatan elektronik itu jangan ditafsir berlebihan. Karena untuk abnormalitas itu belum ada penjelasan ilmiah yang meyakinkan. Pasalnya, berdasar data itu, orang dengan gangguan psikis, punya risiko 65% lebih tinggi untuk tertular virus SARS CoV-2.
Selain itu, kasus penyakit demensia pada pasien COVID-19 dalam rentang waktu 3 bulan, meningkat dua kali lipat dari biasanya. Ini tidak harus berarti bahwa virus Corona memiliki pengaruh langsung pada otak.
“Kemunginan kasus demensia lebih sering didiagnosa, karena semakin banyak orang juga diperiksa oleh dokter“ ujar Paul Harrison, Professor untuk psikiatri di University of Oxford.
Selain itu banyak faktor yang tidak tercakup dalam analisa data. Misalnya jenis kelamin, usia, apakah pasien merokok atau kecanduan narkoba. Semua faktor itu turut berpengaruh pada meningkatnya risiko terkena penyakit psikis.
Riset itu tidak memasukkan aspek sosio ekonomi para pasien serta stres secara umum akibat pandemi. Diketahui, risiko gangguan psikis pada kelompok miskin yang tinggal di pemukiman buruk, kumuh dan berdesakan jauh lebih tinggi.
Baru di tahun-tahun mendatang akan terlihat, dalam besaran seperti apa virus Corona itu benar-benar memicu efek merugikan jangka panjang dan jadi penyebab penyakit psikis.