Liputan6.com, Jakarta Sebagian penyandang disabilitas memiliki potensi tinggi mengalami gangguan mental. Pemicunya bisa dari berbagai hal seperti diskriminasi, stigma, isolasi sosial terutama di masa pandemi COVID-19.
Masa COVID-19 terbukti membawa gangguan terhadap kesehatan mental penyandang disabilitas. Salah satunya dituturkan oleh Dr. Ro’fah Al Makin dari Pusat Layanan Difabel (PLD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia menceritakan bahwa COVID-19 membawa dampak buruk pada anaknya.
Advertisement
Menurutnya, sang anak sudah 10 tahun terakhir tidak mengalami tantrum. Namun, seiring merebaknya COVID-19, anaknya kembali tantrum beberapa waktu lalu karena ia tak dapat bertemu teman-temanya.
“Anak saya sudah tidak tantrum sejak 10 tahun terakhir karena dia sudah dewasa dan bisa mengekspresikan diri. Namun, dalam kondisi pandemi dia tidak bisa bertemu teman karena berskelolah di rumah, akibatnya beberapa saat lalu dia kembali tantrum,” ujar Ro’fah dalam Lokakarya bersama Staf Khusus Presiden Angkie Yudistia ditulis pada Jumat (13/11/2020).
Kondisi pandemi menjadi faktor yang sangat riskan memicu terjadinya gangguan mental, tambah Ro’fah. Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan mental masih sangat minim.
“Kosa kata saja kita masih minim, mungkin sampai sekarang mayoritas masyarakat itu masih menggunakan kata ‘gila’ untuk merujuk pada kondisi gangguan kesehatan mental.”
Miskinnya kosa kata yang dimiliki menandakan bahwa pengetahuan tentang gangguan mental juga masih minim.
Simak Video Berikut Ini:
Stigma dan Miskonsepsi
Hal lain yang menandakan minimnya pengetahuan masyarakat tentang gangguan mental adalah masih adanya stigma dan miskonsepsi.
“Kesalahan pemahaman tentang apa itu gangguan kesehatan jiwa, misalnya kalau orang sudah mengalami gangguan terus tidak akan sembuh menurut saya itu satu hal yang sangat mengganggu dalam proses interaksi dan juga inklusi sosial dalam masyarakat.”
Di samping itu, pelayanan yang diberikan oleh masyarakat di berbagai lini juga masih dalam level yang kuratif. Dalam segi preventif masih cukup minim.
“Kesehatan yang kita pahami masih terdominasi oleh kesehatan fisik, kesehatan mental menjadi sesuatu yang belum terlalu banyak disentuh sehingga Puskesmas pun masih fokus pada kesehatan fisik dan baru beberapa yang mulai melangkah ke kesehatan mental,” tutupnya.
Advertisement