HEADLINE: Gelombang Kedua COVID-19 Menerpa Berbagai Negara, Indonesia Waspada?

Beberapa negara Eropa mengalami gelombang kedua COVID-19, Presiden Jokowi memerintahkan agar kita tidak teledor. Lalu, apa saja yang perlu diwaspadai?

oleh Aditya Eka PrawiraMuhammad Radityo PriyasmoroBenedikta DesideriaFitri Haryanti HarsonoGiovani Dio PrasastiAde Nasihudin Al Ansori diperbarui 14 Nov 2020, 13:11 WIB
Dua orang pejalan kaki yang mengenakan masker melewati sebuah jalan di Frankfurt, Jerman, 2 November 2020. Jumlah infeksi baru COVID-19 di Jerman bertambah 12.097 kasus dalam sehari. (Xinhua/Lu Yang)

Liputan6.com, Jakarta Gelombang kedua COVOD-19 menerpa banyak negara. Prancis memberlakukan jam malam pada Oktober lalu demi menekan angka penularan COVID-19 yang kembali melesat pesat. Tak cuma Prancis, Belgia juga memberlakukan jam malam nasional karena terjadi lonjakan kasus COVID-19.

Selain dua negara itu, gelombang kedua COVID-19 muncul di Swiss dan Italia yang mulai terasa sejak Oktober lalu.

Melihat kondisi di luar negeri, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti jajaran menterinya untuk mewaspadai munculnya gelombang kedua COVID-19. Jokowi meminta para menteri untuk berwaspada agar kejadian tersebut tak terjadi di Indonesia.

"Saya ingin menekankan sekali lagi, hati-hati karena di Eropa sudah muncul gelombang kedua yang naiknya sangat drastis sekali," kata Jokowi.

"Jadi, jangan sampai kita teledor, jangan kita kehilangan kewaspadaan sehingga kejadian itu terjadi di negara kita," kata Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna dari Istana Negara Jakarta, Senin, 2 November 2020.

Satuan Tugas Penanganan COVID-19 juga kembali mengingatkan agar masyarakat Indonesia waspada terhadap fenomena gelombang kedua dari berbagai negara di banyak belahan dunia. 

"Di banyak belahan dunia saat ini, kasus COVID-19 menurun, dan di saat bersamaan, ada yang mengalami lonjakan bahkan muncul fenomena second wave (gelombang kedua)," kata Juru Bicara dan Koordinator Tim Pakar Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito dalam konferensi pers pada Kamis, 12 November 2020.

Gelombang kedua adalah suatu kondisi ketika ada tren kenaikan kasus konfirmasi positif yang kembali memuncak setelah sebelumnya sempat melandai.

"Di negara lain pernah tinggi, terus turun terus merendah. Lalu, tiba-tiba loncat lagi (jumlah kasus meningkat), loncatnya cepat," kata Wiku menjelaskan mengenai arti gelombang kedua saat dihubungi Liputan6.com.

Menurut Wiku, ada beberapa faktor yang membuat terjadi gelombang kedua COVID-19 di beberapa negara. Mulai dari kendornya perilaku menjalankan protokol kesehatan hingga kasus impor.

"Kita lihat itu pasti ada trigger-nya, apa? Dugaan saya prilaku masyarakat tak terkendali dalam menjalankan protokol kesehatan 3M (memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan). Lalu, ada imported case yang menular cepat, yang mau direm susah," kata Wiku ke Liputan6.com.

Kemungkinan lain beberapa negara Eropa alami gelombang kedua salah satu faktornya adalah kelelahan menghadapi gelombang pertama COVID-19 seperti disampaikan Direktur Penyakit Menular WHO Regional Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama.

"Kelelahan menanggulangi gelombang pertama sehingga protokol kesehatan tidak dilanjutkan atau tidak seketat di gelombang pertama," kata Tjandra dihubungi Jumat (13/11/2020).

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Infografis Jangan Sampai Ada Gelombang Kedua Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

Simak Video Pilihan Berikut Ini:


Jangan Sampai Ada Gelombang Kedua COVID-19 di Indonesia

Infografis Waspada Gelombang Kedua Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

Wiku menerangkan pola penambahan kasus COVID-19 di Indonesia berbeda dengan negara-negara yang kini mengalami gelombang kedua COVID-19. Wiku menerangkan pola kasus COVID-19 di Indonesa naik terus tapi pelan sekali.

"Itu pola yang beda (dibandingkan negara-negara lain)."

Kondisi kasus COVID-19 yang ada di Indonesia saat ini, kata Wiku, adalah kasus aktif terus turun dari waktu ke waktu. Lalu, angka kesembuhan juga naik terus dan lebih tinggi dari kasus kesembuhan global. Namun, angka kematian memang terjadi penurunan tapi masih lebih tinggi sedikit dari angka global. Dengan melihat pola tersebut, berbeda dengan negara-negara yang kini sedang mengalami gelombang kedua.

"Jadi, kalau di belahan dunia lain itu naik drastis, di Indonesia tidak ada pola seperti itu," katanya.

Meski begitu, bila Indonesia kendor dalam melakukan upaya pencegahan mungkin saja kita mengalami gelombang kedua COVID-19. Salah satunya, bila kendor dalam mencegah kasus impor bisa membuat kasus di Indonesia melesat.

"Kalau kita membiarkan imported case enggak di-screening saat datang ke Indonesia, pada saat daerah Eropa sedang terjadi kenaikan kasus, tidak ada screening, bisa naik (kasus) kita," kata Wiku.

Ketika satu kasus impor 'lolos' masuk ke Indonesia, memang risiko terjadi kenaikan kasus tinggi mengingat kepatuhan masyarakat menjalankan 3M masih rendah. 

Oleh karena itu, guna menekan kasus impor COVID-19, screening di pintu masuk Indonesia wajib dilakukan. Hal ini termasuk berlaku pada saat jemaah Indonesia usai pulang umrah. Jemaah umroh yang akan kembali ke Tanah Air bakal menjalani tes usap COVID-19 sebelum kembali ke rumah masing-masing.

"Sebelum jemaah umrah pulang dan sampai di Tanah Air, mereka akan dites untuk mengetahui status kesehatan terkait COVID-19," kata Wiku.

Jemaah umroh yang kini di Tanah Suci memang ada yang terpapar COVID-19. Menurut Kementerian Kesehatan RI mereka yang positif COVID-19 saat umrah akan menjalani isolasi di sana.

"Soal jemaah umrah kita yang positif COVID-19. Dari informasi terakhir yang saya peroleh, mereka di sana masih isolasi, dengan (pendampingan/pengawasan) muassasah dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI)," kata Kepala Pusat Kesehatan Haji Kementerian Kesehatan RI Eka Jusup Singka kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Jumat (13/11/2020).


Gelombang Kedua COVID-19 di Indonesia Sulit Diprediksi

Warga menjalani "swab test" di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Rabu (7/10/2020). Pemerintah menetapkan harga batas tes usap alias tes swab melalui PCR untuk mendeteksi Covid-19 agar mendorong masyarakat melakukan tes secara mandiri. (merdeka.com/Imam Buhori)

Direktur Penyakit Menular WHO Regional Asia Tenggara, Profesor Tjandra Yoga Aditama menyatakan bahwa Indonesia masih dalam gelombang pertama COVID-19. “Indonesia saat ini belum gelombang kedua bahkan belum menurun kasusnya,” ujar Tjandra.

Bahkan Indonesia masih jauh dari puncak kasus COVID-19 itu sendiri. Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan, datangnya gelombang kedua COVID-19 ke Tanah Air sulit diprediksi.

"Karena komunitas kita ini penduduknya luar biasa besar, sebarannya luas, negara kita dari Sabang sampai Merauke, tetapi kapasitas testing kita lemah sekali," kata kata Hermawan saat dihubungi oleh Health Liputan6.com pada Jumat (13/11/2020). 

Hermawan mengatakan, gelombang pertama suatu wabah baru dinyatakan terlewati apabila kasus sudah terkendali dalam minimal 14 hari, dan menunjukkan perlambatan secara signifikan.

Hal tersebut bisa dilihat apabila kapasitas pemeriksaan COVID-19 jumlahnya menetap atau stabil, namun kasusnya menurun. Namun, di Indonesia, Hermawan menilai kapasitas pemeriksaan COVID-19 yang terbatas membuat rendahnya temuan kasus. Hal ini memunculkan kesan bahwa kasus di Indonesia terbilang stabil.

"Setiap hari kan ada pengumuman oleh Satgas, di situ ada pemeriksaan spesimen, itu fluktuatif. Sekarang di atas 40 ribuan, tetapi sempat 25 ribuan, jadi fluktuasi kapasitas testing itu menyebabkan fluktuasi kasus temuan."

"Jadi, di kita belum bisa dikatakan kalau kasusnya terkendali. Masih jauh," katanya.


Negara Lain Harus Waspada terhadap Indonesia

Hermawan Saputra mengatakan bahwa saat ini, sesungguhnya bukan Indonesia yang harus khawatir akan penularan dari luar negeri. "Sekarang ini bukan Indonesia yang takut dengan luar negeri, tetapi luar negeri yang takut dengan Indonesia."

"Jadi kalau negara lain di dunia melihat Indonesia sebagai negara yang kasus COVID-19 nya belum terkendali," ujarnya.

Ia mengatakan, beberapa negara masih menutup atau setidaknya membatasi penerbangan dari Indonesia.

"Untuk Arab Saudi kan agak berbeda karena perjalanan umrah, jadi protokol kesehatannya pun ketat, sebelum dan sesudah sampai harus isolasi mandiri, wajib pemeriksaan PCR, dengan protokol yang sangat ketat," kata Hermawan.

"Kalau antar negara di luar Arab kan kunjungannya wisata, jadi ini kebutuhan sekunder atau tersier."

Menurut Hermawan, pertimbangan besar terkait dibukanya ibadah umrah pun sesungguhnya dilakukan oleh Arab Saudi.

"Jadi yang menjadi pertimbangan itu negara lain yang mempertimbangkan Indonesia, bukan Indonesia yang mempertimbangkan negara lain."


Tak Harap Ada Gelombang Kedua COVID-19

Petugas medis mengambil sampel lendir saat tes usap (swab test) pegawai kecamatan Sawah Besar, Jakarta, Selasa (18/8/2020). Tes swab yang dilakukan terhadap seluruh pegawai kecamatan Sawah Besar itu sebagai upaya memutus mata rantai penyebaran Virus Corona Covid-19. (merdeka.com/Imam Buhori)

Indonesia juga memiliki potensi pandemi gelombang kedua namun lebih parah atau setidaknya sulit diprediksi, kata Profesor Tjandra Yoga Aditama.

“Ini tergantung juga pada vaksin dan obat.”

Jika vaksin dan obat telah ditemukan, potensi gelombang kedua yang lebih parah memiliki kemungkinan lebih sedikit jika dibandingkan sebelum ada vaksin dan obat.

Senada dengan Tjandra, Hermawan juga tidak bisa memperhitungkan kapan gelombang kedua akan masuk ke Indonesia. Tentu saja, ia berharap agar fenomena ini tidak sampai terjadi.

"Tetapi kita juga berharap semuanya disiplin, pemerintah juga memperkuat 3T (Tracing, Testing, Treatment), masyarakat juga berperilaku dengan disiplin 3M (menggunakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak)."

Apabila Indonesia akan membuka perjalanan antar negara, harus dipastikan bahwa hal itu dikarenakan kepentingan yang betul-betul mendasar.

"Kalau misalnya hanya kepentingan pariwisata, saya rasa itu harusnya bukan prioritas, tetapi kalau kepentingan bisnis, profesional, mungkin itu kewajiban tetapi harus dengan persyaratan yang ketat, misalnya dengan surat pemeriksaan bebas COVID-19.

Sementara bagi masyarakat, 3M saat ini sudah bukan lagi sekadar imbauan. Hermawan menegaskan bahwa protokol kesehatan sekarang merupakan "keniscayaan atau kewajiban."

"Ini bukan lagi imbauan, bukan lagi sesuatu yang perlu tanda tanya, tetapi perlu menjadi kewajiban bersama, karena kita boleh jadi tahun ini dan tahun depan masih bersama COVID-19 ini."

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya