Liputan6.com, Jakarta Pandemi COVID-19 membawa berbagai perubahan dan dampak tak terkecuali pada hubungan keluarga. Berbagai laporan menyebutkan, seiring datangnya pandemi, konflik keluarga pun meningkat.
Psikolog Klinis Anak dari Universitas Indonesia (UI) Edward Andriyanto Sutardhio menjabarkan beberapa dampak negatif COVID-19 pada keluarga. Mulai dari konflik dan perceraian, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), masalah psikologis, masalah akses koneksi, dan masalah finansial.
Advertisement
“Stres yang tinggi dan komunikasi tidak baik memicu banyaknya pertengkaran dan perceraian,” ujar Edward dalam webinar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ditulis Senin (16/11/2020).
Kasus perceraian yang melonjak tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan di berbagai negara lain di Amerika, Eropa, dan Asia terutama China.
“Angka perceraian naik tapi banyak juga yang belum memasukan berkas tapi sudah tahu bahwa setelah ini selesai mereka akan menyelesaikan ikatan pernikahan karena konfliknya terlalu tinggi.”
Masalah kedua yang sering disebut adalah KDRT. Kasus KDRT meningkat hingga tiga kali lipat selama pandemi COVID-19. Edward mencontohkan, sulitnya membimbing anak belajar di rumah bisa membuat orangtua marah dan melakukan hukuman yang sebelumnya tak pernah dilakukan.
“Stres memicu kekerasan fisik, emosional, dan pelampiasannya pada anggota keluarga.”
Selain pada keluarga inti, masalah juga timbul pada orang yang pacaran. Kekerasan dalam pacaran (KDP) biasanya terjadi secara daring virtual abuse.
Kasus KDP dapat dipicu oleh sulitnya bertemu sehingga menuntut untuk selalu terhubung secara daring. Kata-kata kasar dapat dikirimkan via pesan teks dan dapat memicu stres. Saat stres terjadi maka ujung-ujungnya keluarga bisa terkena dampak.
Perasaan yang tidak menentu dan kesulitan untuk mengutarakan perasaan pada orangtua akan memicu pelampiasan dalam bentuk negatif dan akhirnya terjadilah pertengkaran dengan anggota keluarga.
Simak Video Berikut Ini:
Masalah Finansial
COVID-19 membawa kerugian dan penurunan ekonomi berbagai perusahaan. Hal ini berdampak pada pemutusan kerja.
Ketika seseorang tidak lagi bekerja padahal kebutuhan semakin bertambah, saat itu pula tekanan datang. Ditambah, jika ia hidup di lingkungan yang tidak mendukung jaringan yang buruk.”
“Jaringan yang buruk membuat akses pekerjaan dan pendidikan sulit didapatkan.”
Dari berbagai masalah tersebut timbullah masalah psikologis seperti kecemasan dan stress.
“Kecemasan itu lebih dari 25 persen dari seluruh kasus, lalu muncul stres, lama kelamaan menjadi depresi. Ini mengganggu interaksi dalam keluarga berpengaruh juga pada adiksi rokok, minuman keras, dan internet,” tutupnya.
Advertisement