Hari Toleransi Internasional, Ini Manfaat Ajarkan Anak Hargai Perbedaan

Peringatan Hari Toleransi Internasional ini dideklarasikan sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap beragam budaya dan lainnya.

oleh Agustina Melani diperbarui 16 Nov 2020, 16:11 WIB
Ilustrasi Toleransi Terhadap Sesama Credit: unsplash.com/KylieLugo

Liputan6.com, Jakarta - Setiap 16 November diperingati sebagai Hari Toleransi Internasional atau Hari Toleransi Sedunia. Peringatan Hari Toleransi Internasional ini dideklarasikan oleh The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO). 

Negara-negara anggota UNESCO menerapkan sebuah deklarasi prinsip-prinsip toleransi pada 16 November 1995. Pada 1996, Majelis Umum PBB mengundang negara-negara anggota PBB untuk memperingati Hari Toleransi Internasional setiap 16 November.

Deklarasi Hari Toleransi Internasional diciptakan sebagai bentuk penghormatan dan apresiasi terhadap beragam budaya di dunia. Hal ini karena keragaman agama, bahasa, budaya, dan etnis di dunia bukan dijadikan dalih untuk konflik melainkan sebagai pelengkap yang memperkaya setiap manusia.

Terkait toleransi tersebut, sikap ini pula yang dinilai perlu ditanamkan sejak dini. Toleransi ini tidak hanya memiliki sikap keterbukaan terhadap agama, budaya, suku, status tetapi juga gender.

Dosen Psikologi Sosial Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Dyan Evita Santi menuturkan, orangtua dapat mengenalkan konsep toleransi sejak sang anak mulai berbicara dan mengenal orang lain.

Ia mengatakan, berdasarkan penelitian mengenai prasangka, individu sejak bayi sudah dapat mengidentifikasi hal menarik dan tidak. Hal ini terlihat ketika memiliki boneka ketika bermain. Dyan mengatakan, anak sudah mulai mengenal toleransi tersebut juga dari orangtua, keluarga besar dan lingkungan sekitar seperti tetangga.

"Sejak usia 3 tahun sudah bisa dikenalkan toleransi. Anak mulai mengenal lingkungan. Ajarkan anak-anak dari nilai-nilai toleransi. Pada masa pendidikan anak usia dini itu kita mengenalkan nilai-nilai positif kepada anak. Oleh karena itu, orangtua perlu hati-hati karena usia tersebut mudah untuk meniru hal positif dan negatif," ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Senin, (16/11/2020).

Dyan mengatakan, mengenalkan konsep toleransi kepada anak bukan hanya soal budaya, agama, suku dan lainnya. Akan tetapi, belajar toleransi dari kategori gender laki-laki dan perempuan juga bisa awal mengenalkan toleransi kepada anak.

 

 

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Manfaat Mengenalkan Toleransi kepada Anak

Ilustrasi Toleransi dan Keberagaman Credit: unsplash.com/DuyPham

Dyan menuturkan, mengenalkan toleransi kepada anak sejak ini memiliki banyak manfaat. Salah satunya sang anak tidak culture shock ketika terjun ke lapangan dan menemukan hal berbeda dengan lingkungan dihadapinya selama ini.

"Ini berdasarkan pengalaman teman yang memiliki mahasiswa yang sebelumnya sekolah yang sangat eksklusif, kemudian diterima di perguruan tinggi negeri dengan orang yang beragam, sang anak alami culture shock. Anak itu tidak menjadi percaya diri. (Lingkungan kuliah-red) ada anak yang miskin, kaya, ada yang galak. Jadi ada culture shock,” ujar dia.

Selain mencegah culture shock, Dyan mengatakan, mengenalkan toleransi sejak dini agar anak juga dapat lebih mudah belajar menyesuaikan diri.

"Lebih mudah adaptif, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dan akan lebih siap. Karena kita tidak tahu akan ditempatkan di mana," ujar dia.

Dyan menambahkan, saat anak sudah diajarkan toleransi sejak dini juga akan lebih mudah bekerja ke depan dengan lingkungan yang beragam. Apalagi Indonesia yang memiliki ragam budaya, agama, dan suku, hal tersebut yang menuntut suatu kompetensi individu yang memiliki sikap terbuka dan menghargai.

"Assessment pegawai pemerintahan dituntut untuk menjadi perekat bangsa. Ini dibutuhkan kompetensi perekat bangsa yang bisa toleransi, menghargai perbedaan. Kalau seseorang tidak terbiasa dengan keragaman, ia akan tidak dapat bekerjasama dengan orang lain di pekerjaannya, kaku dan tidak bisa menyesuaikan diri,” ujar dia.

 


Cara Mengenalkan Toleransi kepada Anak

Ilustrasi Toleransi. (Bola.com/Pixabay)

Untuk mengenalkan toleransi kepada anak sejak dini, Dyan membagikan caranya:

1.Orangtua menjadi contoh

Dyan mengatakan, ada banyak sekali media yang digunakan untuk mengenalkan anak dapat menghormati dan menghargai perbedaan. Salah satunya dari orangtua. Sikap orangtua terhadap keterbukaan, keragaman menjadi contoh anak. Oleh karena itu, menurut Dyan, sikap, ujaran orangtua juga hati-hati ketika berada di depan anak. Hal itu agar dapat menjaga mengenai keragaman dan perbedaan kepada anak.

2.Ajarkan anak empati

Dyan mengatakan, orangtua mengajarkan empati kepada anak sehingga dapat menghargai perbedaan dan mulai mengenal identitas. Dyan menuturkan, orangtua juga memberikan penjelasan kalau memang 

"Nilai-nilai menghargai, memberikan empati kepada semua orang tidak melihat dari budaya, suku, agama dan etnis. Orangtua juga perlu hati-hati sehingga tidak salah ucap. Karena hal itu bisa terekam anak,” kata dia.

3.Mengajarkan anak mengenai perbedaan terutama dalam kalangan minoritas

"Ketika berasal dari golongan minoritas juga harus percaya diri. Its oke to be different. Berbeda dengan orang lain. Ajarkan perbedaan, sehingga bisa lebih menghargai orang lain. Ini juga meningkatkan percaya diri dengan perbedaan yang dimiliki,” ujar Dyan.

4.Mengajarkan tradisi kepada anak

Dyan mengatakan,orangtua juga mesti mengajarkan tradisi baik dari asal daerah sendiri dan daerah lain. Dengan begitu anak mengetahui tradisi budayanya sendiri dan orang lain.

5.Memberikan pengalaman langsung kepada anak mengenai keragaman dan perbedaan

Dyan mencontohkan, mengajak anak pergi ke pasar tradisional. Di pasar tradisional anak dapat melihat orang-orang yang berbeda. Selain itu, pergi wisata ke daerah lain. Dyan mengatakan, ketika anak interaksi langsung di daerah yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya akan lebih kena dan diingat anak.

"Maka ada pepatah tak kenal maka tak sayang. Oleh karena itu, interaksi dulu sehingga merasakan pengalaman. Selama ini kita mungkin hanya mengenal dari gambaran seseorang, dari orang lain, hanya mendengar kata-kata. Counter itu dengan pengalaman,” ujar dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya