Liputan6.com, Jakarta - Dua acara perhelatan di kediaman Pimpinan Front Pembela Islam (FPI), Rizieq Shihab di Jalan Petamburan III, Tanah Abang, Jakarta Pusat masih menyisakan tanya. Bahkan, acara pernikahan putri Rizieq Shihab dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang dihadiri ribuan orang itu berujung denda.
Adalah Pemprov DKI Jakarta yang menjatuhkan denda kepada FPI dan Rizieq Shihab karena dinilai telah memicu terjadinya kerumunan yang tidak menaati protokol kesehatan Covid-19. Namun, masalah ini tak berhenti dengan denda Rp 50 juta yang disebut-sebut telah dibayar Rizieq Shihab.
Advertisement
Yang menjadi masalah, kalau memang dianggap melanggar, kenapa tidak sejak awal rencana acara itu dilarang untuk digelar. Atau, bisa juga aparat membubarkan kerumunan saat acara berlangsung. Pertanyaan selanjutnya, apakah pembayaran denda bisa memberikan efek jera bagi masyarakat untuk tidak melanggar protokol kesehatan?
Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Ede Surya Darmawan mengatakan, polemik tentang adanya kerumunan yang melanggar protokol kesehatan sudah mencuat sejak Rizieq Shihab pulang ke Indonesia karena terjadinya beberapa kali pengumpulan massa.
"Intinya begini, dalam penanggulangan bencana kan seharusnya yang terpenting justru bagaimana pencegahan dilakukan, bukan dendanya," tegas Ede Surya kepada Liputan6.com, Senin (16/11/2020).
Yang mesti diberikan penyadaran kepada publik, lanjut dia, adalah bahwa kerumunan itu tidak boleh. Positivity rate Covid-19 secara nasional masih tinggi, artinya potensi penularan masih tinggi.
"Seharusnya semua pihak menahan diri jangan mengundang kerumunan yang potensial untuk terjadinya penularan, sama semua, tak boleh pilih-pilih. Dari awal seharusnya proses itu bukan bayar dendanya, karena kan Corona nggak hilang gara-gara bayar denda, itu prinsipnya," beber Ede Surya.
"Apakah ketika bayar denda lantas penularan enggak terjadi? Denda itu membuat efek jera bagi yang tak mampu bayar. Bagi yang mampu bayar denda ya bayar saja, selesai masalahnya. Bagi kami sangat menyesalkan, dari sudat pandang masyarakat kami juga menyesalkan pemerintah membolehkan tindakan (kerumunan) itu karena akan mengakibatkan penambahan penularan," imbuh dia.
Yang mesti dilakukan menurut dia, sebelum acara digelar harus ada tindakan preventif, misalnya diizinkan melakukan hajatan asal hanya 100 orang yang hadir dengan luas ruangan tertentu. Kalau perlu pemerintah memberi fasilitas untuk acara digelar secara daring.
"Kalau yang sekarang terjadi kan bukan pencegahan, yang terjadi enggak apa-apa melanggar, yang penting bayar denda. Jadi tujuannya enggak tercapai, tujuannya pelarangan kerumunan itu bukan untuk mengumpulkan uang denda tapi supaya nggak ada penularan baru. Dalam public health itu semua orang kawan ya, lawan kita adalah keterbelakangan, kebodohan, dan ketidakpedulian," tegas Ede Surya.
Karena itu, lanjut dia, tak ada pilihan lain, langkah untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 adalah dengan mencegah penularan.
"Tak bisa ditawar lagi, jadi oke mau bikin ini acara, nah dari awal kepolisian tak bisa mengizinkan karena situasi seperti ini. Kepolisian itu mesti tegas menyampaikan. Kalau tetap ngotot, di sinilah peran negara, negara harus hadir di dalam mengamankan rakyatnya. Apakah itu dengan ketentuan pidana atau yang lain silakan sesuai aturan yang ada," ujar Ede Surya.
Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono melihat soal kerumunan orang di acara Rizieq Shihab pada Sabtu malam lalu dengan cara sederhana.
"Jadi, kerumunan itu menyebabkan penularan Covid-19 meningkat, itu sudah pasti. Setelah itu akan meningkatkan penularannya ke masyarakat sekitarnya. Buat saya, kalau saya lakukan itu (berkerumun), saya berdosa karena telah membuat peningkatan angka Covid-19," ujar Tri Yunis kepada Liputan6.com, Senin (16/11/2020).
Menurut dia, yang terpenting itu bukan dendanya, melainkan larangan untuk berkerumun dan agar semua taat terhadap protokol kesehatan. Syaratnya, lanjut dia, jangan dibeda-bedakan penerapannya. Misalnya, berkerumun dilarang, tapi di lokasi wisata orang berkerumun dibiarkan.
"Jadi mari kita sama-sama menjaga di manapun jangan berkerumun, tujuannya jangan menyebarkan Covid-19," sebut Tri Yunis.
Menurut dia, kuncinya adalah kejelasan dalam membuat aturan serta konsistensi para pejabat dalam menjalankannya. Selain itu, aturan harus berlaku universal, tidak hanya untuk kawasan atau daerah tertentu.
"Aturan larangan berkerumun itu diberlakukan menyeluruh, baik itu zona hijau, zona kuning, zona oranye, zona merah, semuanya tidak boleh berkerumun. Jadi harus adil. Tidak boleh kemudian kalaupun ada hajatan seharusnya maksimal 60 orang, jadi harusnya pake maksimal, bukan 25 persen atau 50 persen," tegas Tri Yunis.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Preseden Buruk, Bukan Efek Jera
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP Rahmad Handoto menilai, tanggung jawab atas terjadinya kerumunan saat acara di kediaman Rizieq Shihab berada di tangan Gubernur DKI Anies Baswedan.
"Saya kembalikan ke pemerintah DKI dan Gubernur DKI Anies Baswedan. Karena organisasi keagamaan, tokoh masyarakat, ahli epidemiologi dan semuanya telah mengingatkan bahaya dan risiko adanya kerumunan bagi kesehatan di era pandemi ini," ujar Rahmad kepada Liputan6.com, Senin (16/11/2020).
Dia beralasan, selama ini membuat regulasi tentang larangan berkerumun di masa pandemi Covid-19 atau PSBB Transisi adalah Gubernur DKI. Gubernur DKI lah yang membuat aturan teknis tentang mana acara yang boleh dan berapa jumlah orang yang boleh hadir.
"Jadi Gubernur jangan pura-pura tidak tahu dan jangan tutup mata dengan adanya pelanggaran protokol kesehatan. Semestinya Gubernur yang mengingatkan, semestinya gubernur yang membolehkan atau tidak," beber wakil rakyat dari Komisi Kesehatan itu.
Namun, dia mengaku hanya bisa pasrah kalau Gubernur DKI kemudian menutup mata atas apa yang terjadi. Hanya saja, sebagai penguasa wilayah Ibu Kota, dia berharap Anies serius mencegah meningkatnya jumlah pasien Covid-19.
"Kalau sungkan menegakkan aturan ya bagaimana mau mengendalikan Covid-19, apalagi semua kegiatan di DKI, gubernur yang bertanggung jawab. Harap diingat, PSBB masih berlangsung dan DKI belum ada tanda-tanda menurun angka Covid-19, masih sangat berbahaya," tegas Rahmad.
Dia berharap Gubernur Anies tidak hanya galak kepada pelaku usaha dan tempat hiburan serta masyarakat biasa, seperti soal pembatasan pengunjung atau jumlah karyawan yang boleh bekerja. Intinya, Anies Baswedan harus menegakkan wibawa PSBB.
"Saya juga membaca di media, Wakil Gubernur DKI juga sudah mengingatkan agar pengunjung taat protokol kesehatan, namun apa kenyataanya? Sebatas imbauan saja?" tanya Rahmad.
Menurut dia, entah ulama, politisi, artis ataupun tokoh nasional yang menghadiri atau mengadakan kegiatan di DKI di masa pandemi seharusnya ikuti aturan PSBB yang mash berlaku. Karena, kalau nekat resikonya sangat berbahaya bagi warga Jakarta. Soal adanya sanksi denda, menurut dia tak akan berdampak apa-apa.
"Mana ada efek jera, justru preseden buruk, nanti justru banyak yang melanggar karena hanya membayar uang segitu, konser musik, kegiatan semacam ini dan lainnya hanya didenda dengan rupiah. Ini tidak sebanding dengan resiko rakyat yang terancam tertular Covid-19," tegas Rahmad.
Dia bisa memahami jika membayar denda merupakan aturan tertulis, namun tetap saja kerumunan harus dilarang. Apalagi Pemprov DKI punya aparat yang bisa dikerahkan untuk membubarkan acara itu.
"Oke ini denda sesuai aturan, tapi jangan diam saja dan membiarkan. Kalau tidak mampu minta tolong ke TNI dan Polri untuk menertibkan. Pokoknya, sangat tidak efektif dan tidak akan membuat jera denda segitu, dengan risiko banyak rakyat yang akan terpapar," Rahmad memungkasi.
Menanggapi berbagai kritikan terhadap Pemprov DKI, Wakil Gubernur Ahmad Riza Patria menyampaikan alasan mengapa pihaknya tidak sejak awal mencegah atau membubarkan acara yang dihadiri ribuan orang tersebut. Menurutnya, jumlah personel yang terbatas membuat pihaknya susah mengawasi kerumunan.
"Kan ada batasan-batasan, jumlah kami juga terbatas," ucapnya di Balai Kota Jakarta, Senin (16/11/2020).
Karena terbatasnya personel Satpol PP, Ariza menyebut telah meminta bantuan aparat kepolisian untuk menjaga acara tersebut dari kerumunan.
"Kami sudah koordinasikan saat itu dengan aparat lainnya. Kan kami tidak bisa berdiri sendiri. Kami sudah imbau dan sosialisasi, ada baliho, spanduk, kami minta (tidak berkerumun) dan sebagainya," tegasnya.
Politikus Gerindra itu juga mengklaim, Pemprov DKI telah menjalankan tugasnya yakni mengimbau.
"Terkait Petamburan kami sebagai Pemprov sudah mengimbau, meminta, mendatangi, bahkan menyurati. Kemudian ketika ada pelanggaran kami tindak, diberikan sanksi yang tertinggi Rp 50 juta, kalau diulang lagi Rp100 juta," tandasnya.
Advertisement
Kerumunan Berujung Denda
Seperti sudah diduga jauh sebelumnya, acara pernikahan putri Rizieq Shihab dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar di kawasan Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Sabtu (14/11/2020) malam, menimbulkan kerumunan.
Sejak rencana acara ini digaungkan, banyak pihak yang khawatir gelaran ini akan menimbulkan kerumunan massa. Sebab, DKI Jakarta saat ini masih dalam masa pembatasan sosial berskala Besar (PSBB) transisi. Apalagi panitia penyelenggara memperkirakan acara tersebut akan dihadiri sekitar 10 ribu orang.
"Diperkirakan lebih dari 10 ribu, mengingat sambutan umat yang begitu cinta dan kangen, begitu banyak yang rindu dengan Habib Rizieq," kata ketua panitia Haris Ubaidillah.
Panitia pun sejak awal mengimbau jemaah yang akan hadir untuk menjaga protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan. Dengan banyaknya tamu undangan yang hadir, praktis massa kesulitan untuk menjaga jarak.
Bahkan, tak kurang dari Satgas Penanganan Covid-19 ikut mengawal dengan mengantarkan masker dan hand sanitizer untuk acara ini. Masker itu diantar ke kediaman Rizieq yang juga menjadi lokasi acara pernikahan di Jalan Petamburan III, Sabtu siang.
Direktur Pengelolaan Logistik dan Peralatan BNPB Rustian mengatakan, bantuan masker ini merupakan upaya Satgas Penanganan Covid-19 untuk memastikan protokol kesehatan diterapkan dengan baik selama acara berlangsung.
Namun, fakta di lapangan tak sesuai dengan harapan. Para tamu duduk berdesakan di depan panggung yang telah disediakan. Tak ada jaga jarak minimal satu meter sesuai protokol kesehatan untuk antisipasi penularan virus corona penyebab infeksi Covid-19.
Para tamu justru duduk saling berhimpitan. Meski demikian, hampir semua tamu terlihat memakai masker. Panitia juga turut membagikan masker bagi tamu yang tak membawa masker yang berasal dari bantuan Satgas Penanganan Covid-19.
Tak hanya itu, seluruh ruas Jalan KS Tubun juga ditutup akibat banyaknya massa yang datang. Rizieq sendiri mengungkapkan sulitnya menerapkan protokol kesehatan, khususnya mengatur dan menjaga jarak fisik antar tamu undangan.
Alhasil, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta menjatuhkan denda administratif sebesar Rp 50 juta kepada Front Pembela Islam (FPI) dan pemimpinnya, Rizieq Shihab.
Kepala Satpol PP DKI Jakarta Arifin mengungkapkan, ada pelanggaran protokol kesehatan pada perhelatan acara tersebut. Dia menambahkan, pihaknya sudah melayangkan surat pemberian sanksi kepada Rizieq, Minggu (15/11/2020).
Dalam suratnya, Arifin menyebut, pelanggaran yang dimaksud yakni tidak adanya pembatasan jumlah tamu undangan sehingga menimbulkan kerumunan.
"Pokoknya acara apa pun yang dilakukan ketika bertentangan dengan protokol Covid-19 maka itu akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan," kata Arifin.
Menurut dia, acara tersebut melanggar Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 799 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan Pergub Provinsi DKI Jakarta Nomor 80 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar pada Masa Transisi Menuju Masyarakat Sehat, Aman, dan Produktif. Rizieq juga disebut menerima dan bersedia membayar denda yang diberikan.
"Respons (Rizieq) baik, menerima untuk kami menegakkan aturan disiplin. Kami sudah sampaikan dan sudah dikenakan denda dan sudah diselesaikan," ucap Arifin.
Sementara, menantu Rizieq, Hanif Al Athos turut membenarkan hal tersebut. Hanif mengatakan, pihak keluarga telah menyelesaikan sanksi dengan membayar denda secara langsung ke Pemprov DKI Jakarta.
"Iya cash, iya (di rumah). Teknisnya, detailnya, saya rasa tidak perlu dijelaskan, yang jelas sudah dibayar. Saya enggak tahu detailnya berapa, tapi maksimal Rp 50 juta tadi," ungkap Hanif.
Menurut Hanif, pihak keluarga tidak mempermasalahkan sanksi denda yang diberikan Pemprov DKI kepada Rizieq atas acara pada Sabtu malam lalu.
"Kami dari pihak keluarga, sudah terima surat tersebut. Kami memaklumi sanksi itu. Meski panitia meminta kepada umat untuk patuh protokol, jaga jarak, dan sebagainya, tapi antusias terlalu besar. Jadi kami memaklumi ada denda dan kami sudah bayar dari pihak keluarga," ucap Hanif lagi.
Lebih lanjut, Hanif mengklaim bahwa FPI merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan yang fokus terhadap penanganan wabah. Bahkan, kata dia, instruksi penanganan dan pencegahan dipantau langsung oleh Rizieq saat masih berada di Arab Saudi.
"Bahkan Habib Rizieq yang memantau sendiri penanganan Covid ini dari Saudi sejak awal. Jadi kami sangat concern tangani Covid ini, karena ini masalah kemanusiaan sehingga setiap kegiatan yang diadakan kami imbau kepada umat Islam khususnya, untuk mematuhi protokol kesehatan," ujar Hanif.
Hanif pun memastikan, setiap kegiatan FPI ke depannya bakal menerapkan protokol kesehatan demi mencegah infeksi virus corona (Covid-19).