Militer Australia Akui Bunuh 39 Warga Sipil di Afghanistan Secara Tidak Sah

Pejabat tinggi militer Australia mengakui bahwa pasukannya telah membunuh warga sipil dan non-kombatan di Afghanistan.

Oleh DW.com diperbarui 19 Nov 2020, 14:59 WIB
Seorang wanita menjemur pakaiannya di atap yang menghadap kota Kabul di Kabul, Afghanistan (28/11/2019). Puluhan ribu warga Afghanistan yang terlantar secara internal tinggal di kamp-kamp, yang kekurangan fasilitas dasar, di Afghanistan. (AP Photo/Altaf Qadri)

Jakarta - Jenderal Angus Campbell, pejabat tinggi militer Australia, mengakui pada Kamis (19/11/2020) bahwa ada bukti di mana tentara Australia telah secara tidak sah membunuh sedikitnya 39 warga sipil dan non-kombatan (orang yang tidak boleh diserang selama pertempuran) di Afghanistan.

"Kepada rakyat Afghanistan, atas nama pasukan pertahanan Australia, saya dengan tulus dan tanpa pamrih meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan tentara Australia," kata Campbell, seraya mengungkapkan hasil awal penyelidikan konflik Afghanistan. Demikian seperti mengutip DW Indonesia

Inspektur Jenderal Angkatan Pertahanan Australia telah menyelidiki dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh militer Australia di Afghanistan antara tahun 2005 dan 2016.

Campbell menyimpulkan bahwa temuan penyelidikan konflik Afghanistan "menuduh pelanggaran paling serius atas perilaku militer (tentara Australia) dan nilai-nilai profesional."

Ia juga menyarankan langkah selanjutnya adalah mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang.


Bukti yang Ditemukan

Tentara Afghanistan dalam perang melawan Taliban (AP/Rahmat Gaul)

Adapun serangkaian bukti yang mengungkap 25 pasukan khusus Australia terlibat dalam pembunuhan terhadap tahanan, petani, dan warga sipil lainnya meliputi:

  • Informasi kredibel mengenai 23 insiden pembunuhan di luar hukum yang menewaskan 39 orang.
  • Pembunuhan secara ilegal dimulai pada 2009, dengan mayoritas pembunuhan terjadi pada 2012 dan 2013.
  • Insiden anggota patroli baru yang menembak tahanan untuk meraih "pembunuhan pertama mereka," dan kemudian menyimpan bukti palsu.
  • Tidak ada satu pun pembunuhan yang terjadi saat peperangan, atau dalam keadaan di mana niat pelaku "tidak jelas, bingung, atau salah" (semua dilakukan dengan sadar).
  • Setiap individu yang diselidiki sangat menyadari "hukum konflik bersenjata dan aturan keterlibatan yang mereka jalankan."
  • Beberapa dari mereka yang diduga terlibat dalam insiden tersebut masih bertugas di militer Australia.
  • Laporan tersebut merekomendasikan 19 orang untuk diselidiki atas kemungkinan tuduhan kriminal, termasuk pembunuhan.

"Saya telah menerima semua temuan Inspektur Jenderal dan rencana implementasi yang komprehensif sedang dikembangkan untuk melaksanakan 143 rekomendasinya dan setiap tindakan tambahan yang diperlukan," kata Campbell.


Dokumen Bocor

Suasana lokasi sehari setelah serangan di Kabul, Afghanistan (15/1). Menurut pejabat setempat, seorang pembom bunuh diri Taliban meledakkan kendaraan bermuatan bahan peledak pada Senin malam. (AP Photo/Rahmat Gul)

Unit militer elit Australia dikerahkan di Afghanistan bersama pasukan AS dan sekutu pada tahun 2002 setelah serangan di New York dan Washington pada 11 September 2001.

Lembaga penyiaran publik ABC mengungkapkan dugaan kekejaman setelah mendapatkan dokumen yang bocor dari Angkatan Pertahanan Australia yang dikenal sebagai "Afghan Files" yang mengungkap klaim bahwa tentara Australia telah membunuh pria dan anak-anak yang tidak bersenjata.

Polisi Australia melakukan penyelidikan terhadap jurnalis yang menerbitkan penemuan tersebut karena secara ilegal memperoleh informasi militer rahasia. Tuduhan itu kemudian dibatalkan.

Sebelum hasil penyelidikan dipublikasikan, Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan bahwa setiap klaim yang terbukti akan dituntut di pengadilan, sebuah langkah yang dianggap menghalangi yurisdiksi oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Australia menarik sebagian besar pasukannya dari Afghanistan pada 2013.

Presiden Donald Trump mengumumkan penarikan 2.000 tentara AS dari negara itu pada Januari 2021 menyusul pembicaraan antara pemerintah Afghanistan dan Taliban.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya