Ada Pandemi Covid-19, Sri Mulyani Pesimistis Penerimaan Pajak 2020 Capai Target

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui penerimaan negara tahun ini begitu seret akibat dampak pandemi Covid-19.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Nov 2020, 16:38 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2019). Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI kembali melakukan pembahasan mengenai asumsi dasar makro dalam RAPBN 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui penerimaan negara tahun ini begitu seret akibat dampak pandemi Covid-19. Bahkan, target penerimaan pajak tahun 2020 sebesar Rp1.404,5 triliun berisiko tidak tercapai.

"Dari sisi pendapatan negara, kita hadapi tekanan luar biasa, sehingga pendapatan negara tahun ini hanya Rp 1.699 triliun. Penerimaan pajak juga hanya 1405 triliun. Dan penerimaan pajak juga target hanya sebesar Rp1.404,5 triliun ini pun masih ada risiko tidak tercapai," ujar Sri Mulyani dalam webinar bertajuk "Serap Aspirasi Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja Sektor Perpajakan", Kamis (19/11).

Bendahara negara mengatakan, seretnya penerimaan pajak pada tahun ini akibat terganggunya aktivitas ekonomi korporasi maupun masyarakat selama pandemi berlangsung. "Karenanya ternyata kondisi dari korporasi maupun masyarakat betul-betul tertekan," imbuh dia.

Oleh karena itu, pihaknya sengaja melebarkan defisit anggaran sebesar 0,2 persen dalam postur sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 menjadi 5,7 persen. Langkah penyesuaian ini guna menutupi pembiayaan berbagai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

"Jadi, belanja sangat besar pada APBN 2021 yang merupakan bagian dari penerusan langkah-langkah untuk perlindungan sosial dan bantu masyarakat dalam kondisi masih sangat sulit," ucap Sri Mulyani.

Selain itu, pelebaran defisit ini juga demi menunjang pembiayaan berbagai proyek pembangunan infrastruktur baik fisik maupun digital. Sekaligus membiayai program ketahanan pangan dan pariwisata yang telah dicanangkan pemerintah.

"Namun, (APBN) tahun depan kita belanjakan cukup signifikan juga bagi infrastruktur baik jalan pelabuhan maupun infrastruktur di bidang Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (TIK). Ketahanan pangan juga jadi prioritas dan Pariwisata," tutup Sri Mulyani.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Dorong Orang Kaya Belanja, Pemerintah Perlu Ubah Stimulus Pajak

Pejalan kaki melintasi lajur penyebrangan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Rabu (23//9/2020). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan ekonomi nasional resesi pada kuartal III-2020, perekonomian Indonesia akan mengalami kontraksi hingga minus 2,9 persen. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Indonesia resmi resesi lantaran pertumbuhan ekonomi di kuartal II minus 5,32 persen dan kuartal III juga minus 3,49 persen. Salah satu penyebab tidak tumbuhnya ekonomi Indonesia ini karena konsumsi rumah tangga yang masih rendah, khususnya kalangan menengah atas atau orang kaya yang masih enggan membelanjakan uangnya selama pandemi covid-19.

Lantas bagaimana agar kalangan menengah atas membelanjakan uangnya? Alih-alih menyimpan uang di bank.

Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) per Juni 2020 menunjukkan nilai simpanan rekening di atas Rp 5 miliar meningkat 7,3 persen sejak awal tahun.

Lalu, kelas atas atau orang kaya terutama yang memiliki simpanan di atas Rp 5 miliar terlihat mengalihkan dana ke simpanan dibandingkan berbelanja.

Sementara itu kelas atas atau 20 persen kelompok pengeluaran paling atas memiliki kontribusi di atas 45 persen dari total pengeluaran nasional. Artinya, hampir setengah konsumsi bergantung pada perilaku belanja masyarakat kelas atas.

“Jadi sangat signifikan dalam membentuk pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Yang jadi faktor utama adalah kekhawatiran belanja di saat pandemi masih tinggi penularannya, dan sebagai antisipasi resesi ekonomi,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Jumat (6/11/2020).

Lanjut Bhima, tren konsumsi kelas atas masih akan rendah, selama kasus positif masih di atas 3.000-4.000 kasus per hari. Orang kaya yang biasa membeli mobil mewah tapi karena ada kekhawatiran kena Covid-19, sektor otomotif pun terimbas.

Biasanya orang kaya libur panjang bepergian keluar negeri atau ke destinasi wisata misalnya ke Bali, tapi saat ini banyak tempat wisata yang belum optimal. Mal dan restoran juga alami penurunan yang tajam dari sisi omzet karena keterbatasan untuk dine in atau makan di tempat.

“Jadi di kuartal III konsumsi masih kontraksi cukup dalam. Disarankan ubah stimulus pajak dari stimulus korporasi seperti pengurangan PPh badan menjadi stimulus yang langsung mengarah ke konsumsi akhir,” ujarnya.

Misalnya penangguhan sementara PPN 10 persen dalam 3-6 bulan, karena kelas atas atau orang kaya ini kan beli makan di restoran, hotel kena PPN 10 persen. Jika itu ditangguhkan bisa mendorong stimulus konsumsi.

“Setidaknya dalam 3-5 kuartal ke depan baru ada pemulihan konsumsi kelas atas yang optimal. Itu pun asumsinya vaksin ditemukan, dan kasus positif bisa ditekan. Selama pandemi belum terkendali dan mobilitas penduduk masih rendah maka orang kaya tetap memilih untuk saving,” pungkasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya