Liputan6.com, Jakarta - Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana membeberkan beberapa tantangan dan kendala dalam mengimplementasi Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2020 tentang Restrukturisasi Kredit.
Tantangan tersebut antara lain bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan debitur dengan kapasitas bank. Juga, memastikan kualitas governance dan integritas para pelaku perbankan serta debitur untuk kelancaran restrukturisasi.
Advertisement
"Bank perlu memastikan tidak ada moral hazard atau free rider. Kalau terjadi moral hazard tentunya saat restrukturisasinya berakhir pasti banknya akan mengalami masalah," ujar Heru dalam webinar Forum Diskusi Finansial, Jumat (20/11/2020).
Kemudian tantangan lainnya adalah bagaimana prinsip kehati-hatian dan manajemen resiko dapat diterapkan dengan baik. Perbedaan dan persepsi masyarakat juga harus diluruskan soal restrukturisasi ini.
"Jangan sampai mereka memandang bahwa kredit semuanya boleh direstrukturisasi, ini yang bekali-kali terjadi," katanya.
Selanjutnya, terdapat kendala realisasi restrukturisasi kredit yang belum optimal antara lain kesulitan untuk tatap muka, verifikasi data dan pengkinian kondisi debitur akibat social distancing dan pembatasan akses.
Lalu, adanya restrukturisasi debitur secara bulk untuk yang bersifat mass product. Proses restrukturisasi yang dilakukan oleh pejabat yang tidak terlibat dalam kredit restrukturisasi juga berpotensi menghambat proses percepatan stimulus.
"Persetujuan restrukturisasi yang harus naik 1 tingkat menimbulkan bottle neck pemrosesan restrukturisasi kredit," demikian dikutip dari paparan Heru.
Lalu beberapa fungsi operasional juga tidak dapat dilakukan melalui WFH sehingga dilakukan mekanisme split office. Yang terakhir, tantangan dari industri yang masih berpedoman pada SOP lama sehingga memakan waktu dan birokrasi.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Ingat, Program Restrukturisasi Kredit Diperpanjang hingga Maret 2022
Guna memitigasi dampak lanjut pandemi Covid-19 terhadap perekonomian dan sektor jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama pemerintah dan Bank Indonesia (BI) telah menelurkan berbagai kebijakan dan instrumen ekxtraordinary untuk membantu para pelaku usaha. Termasuk perpanjangan kebijakan restrukturisasi kredit hingga Maret 2022.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, kebijakan itu tercantum dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2020. Regulasi tersebut dikatakannya memiliki peran yang sangat penting untuk memberikan ruang yang leluasa, sebab proses pemulihan terpantau masih membutuhkan waktu.
"Perpanjangan kebijakan ini akan menekankan penerapan manajemen risiko bank yang lebih memadai dalam penerapan perpanjangan restrukturisasi. Mencakup antara lain penilaian kemampuan untuk tetap going concern, dan prospek usaha debitur oleh penilaian masing-masing bank," paparnya dalam sesi teleconference, Senin (2/11/2020).
Perpanjangan restrukturisasi kredit juga memberikan peluang bagi bank untuk bisa mengukur mana debitur yang perlu dibuat Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).
"Untuk itu kita mengimbau seluruh industri perbankan untuk tetap melakukan penilaian terhadap seluruh debitur yang akan diterapkan perpanjangan di POJK 11 ini," imbuh Wimboh.
Lebih lanjut, Wimboh menyampaikan, restrukturisasi kredit di perbankan kini sudah mencapai Rp 914,65 triliun, atau dalam debitur berjumlah 7,53 juta. Itu terdiri dari pihak UMKM sebesar Rp 361,96 triliun dengan 5,58 juta debitur, serta non-UMKM senilai Rp 552,69 juta dalam jumlah debitur sebanyak 1,65 juta.
"Sedangkan untuk perusahaan pembiayaan, perbankan posisi 5 Oktober, sedangkan perusahaan pembiayaan pada posisi 27 Oktober, sudah mencapai Rp 177,66 triliun. Dalam debitur adalah 4,79 juta. Sedangkan lembaga keuangan mikro ini jumlahnya tidak terlalu besar, termasuk bank wakaf mikro," sambungnya.
Di lain sisi, OJK juga disebutnya terus mendukung berbagai stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah. Pihak otoritas percaya, hal itu dapat memberikan keleluasaan bagi perbankan dan juga para pengusaha untuk bisa bertahan, bahkan tumbuh recover lebih cepat.
"Kami berharap itu dapat mendorong penyaluran kredit lebih tinggi, dan akselerasi pertumbuhan ekonomi kita," ujar Wimboh.
Advertisement