Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai, instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mencopot kepala daerah.
Sebab jika itu dilakukan, akan ada semacam surplus kebijakan yang dimiliki Kemendagri.
Advertisement
"Akhirnya instruksi tersebut sulit dan tidak dapat dieksekusi karena tidak sejalan dengan prinsip hukum itu sendiri. Jika dilihat dari optik hukum tata negara," kata Fahri, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (21/11/2020).
Fahri menegaskan, proses pengisian kepala daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi dengan mengedepankan prinsip daulat rakyat. Dia merinci ada tiga hal perlu diperhatikan saat memberhentikan kepala daerah.
"Pertama, secara teoritik, proses pemberhentian kepala daerah tentunya melalui mekanisme yang melibatkan rakyat yaitu lembaga perwakilan (DPRD). Kedua, secara prosedur, pemberhentian kepala daerah telah diatur sedemikian rupa dalam UU RI No 23 Tahun 2014 khususnya ketentuan norma pasal 79 sampai dengan pasal 82 terkait Pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah," ungkap dia.
Ketiga, secara yuridis, konstruksi pranata pemakzulan (impeachment) kepala daerah melalui pintu DPRD setempat dan kemudian diajukan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPRD.
"MA memutus apakah kepala daerah atau wakil kepala daerah itu dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, MA memeriksa dugaan pelanggarannya menurut hukum," jelas Fahri.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Harus Berdasar Konstitusi
Sederhananya, menurut Fahri, secara konstitusi, tindakan pemberhentian kepala daerah hanya dapat dilakukan dengan alasan hukum berdasarkan prosedur yang ketat berkaitan dengan proses Pemakzulan Kepala Daerah sebagaimana telah diatur dalam UU Pemerintahan Daerah.
"Pemberhentian seorang kepala daerah harus pure berdasarkan postulat-postulat hukum, dan tidak bisa secara politis, karena itu sangat bertentangan dengan prinsip negara demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis," dia memungkasi.
Advertisement