Liputan6.com, Houston - Di antara banyak gejala serius COVID-19, efek neurologis aneh yang dialami oleh banyak pasien mungkin termasuk kondisi medis yang paling misterius.
Dikutip dari Science Alert, Sabtu (21/11/2020), hilangnya penciuman dan rasa yang tiba-tiba adalah salah satu gejala tidak biasa pertama yang dilaporkan oleh pasien COVID-19. Beberapa pasien yang didiagnosis COVID-19 juga mengalami kebingungan, delirium, pusing dan kesulitan berkonsentrasi.
Advertisement
Selama beberapa bulan, dokter tanpa henti berusaha memahami penyakit ini dan banyak manifestasinya yang tampaknya memengaruhi otak dengan cara yang tidak belum diketahui.
Dua ahli saraf kini telah melakukan tinjauan penelitian untuk mengeksplorasi bagaimana COVID-19 dapat mengganggu pola fungsi otak normal. Mereka menggunakan EEG untuk melakukan hal tersebut
EEG adalah singkatan dari electroencephalogram, yakni mencatat aktivitas listrik di berbagai bagian otak seseorang, biasanya dengan menggunakan elektroda yang ditempatkan di kulit kepala mereka. Dalam ulasan mereka, para peneliti telah mengumpulkan data pada hampir 620 pasien positif COVID-19 dari 84 penelitian, di mana data bentuk gelombang EEG sudah tersedia untuk dianalisis.
Melihat hasil EEG, mereka dapat menunjukkan beberapa bentuk ensefalopati (istilah untuk penyakit yang berkaitan dengan otak) terkait COVID-19 terhadap gangguan pada fungsi otak pasien.
Kira-kira dua pertiga dari seluruh pasien dalam penelitian ini adalah laki-laki dengan usia rata-rata adalah 61 tahun. Beberapa orang juga memiliki kondisi yang sudah ada sebelumnya, seperti demensia, yang dapat mengubah pembacaan EEG. Kemudian, para peneliti melakukan evaluasi lebih lanjut pada hasil tes tersebut.
Hampir dua pertiga dari seluruh pasien yang diteliti mengalami delirium, koma atau kebingungan.
Sekitar 30 persen pasien mengalami kejadian seperti kejang, yang mendorong dokter mereka untuk melakukan EEG, sementara beberapa pasien lainnya mengalami masalah bicara. Ada juga pasien lain yang mengalami serangan jantung mendadak, yang dapat mengganggu aliran darah ke otak mereka.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
EEG Menunjukkann Adanya Kelainan Aneh di Otak
Tindakan EEG pada pasien menunjukkan kelainan dalam aktivitas otak, seperti epilepsi. Kelainan paling umum yang dicatat adalah perlambatan gelombang otak secara keseluruhan yang mengindikasikan adanya disfungsi umum dalam aktivitas otak.
Dalam kasus COVID-19, kerusakan ini mungkin disebabkan oleh peradangan yang meluas, saat tubuh meningkatkan respons imunnya atau mungkin mengurangi aliran darah ke otak bila jantung atau paru-paru lemah.
Adapun efek yang terdeteksi terdeteksi di daerah lobus frontal, yakni bagian otak yang berfungsi untuk berpikir eksekutif, seperti penalaran logis dan pengambilan keputusan. Lobus frontal juga membantu kita mengatur emosi, mengendalikan perilaku dan terlibat dalam pembelajaran serta perhatian.
"Temuan ini memberi tahu kami bahwa kami perlu mencoba EEG pada lebih banyak pasien, serta melakukan pemindaian otak lainnya, seperti MRI atau CT scan, yang akan memberi kami pandangan lebih dekat pada lobus frontal,” imbuh ahli saraf Zulfi Haneef dari Baylor College of Medicine di Houston.
Pada waktunya, EEG dapat membantu memperkuat diagnosis COVID-19 atau mengisyaratkan bila ada kemungkinan komplikasi. EEG dapat membantu dokter memantau komplikasi jangka panjang COVID-19 dan mendeteksi efek jangka panjang pada fungsi otak pasien.
Sayangnya, hasil dari EEG tidak memberikan indikasi seberapa langka atau umum gangguan gelombang otak tersebut terjadi pada populasi yang lebih luas, karena yang menggunakan alat ini hanya pasien COVID-19.
Tapi hal itu menjadi bukti bahwa virus corona dapat berdampak serius pada kesehatan saraf kita.
"Diperlukan lebih banyak penelitian, tetapi temuan ini memberi tahu kami tentang harus memulai dari mana," kata Haneef.
"Kelainan EEG yang mempengaruhi lobus frontal tampaknya umum terjadi pada ensefalopati COVID-19 dan telah diusulkan sebagai penanda potensial jika dicatat secara konsisten," tulis para penulis dalam makalah mereka.
"Temuan ini memberi tahu kami bahwa ada masalah jangka panjang dan sekarang kami menemukan lebih banyak bukti pendukung," tambah mereka.
Reporter: Ruben Irwandi
Advertisement