Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo atau Jokowi mewacanakan agar jumlah cuti bersama hingga pengganti Idul Fitri dilakukan pengurangan guna menekan kerumunan demi mencegah Covid-19 meluas.
Hal ini disampaikannya saat rapat kerja bersama para kabinet, Senin 23 November 2020. Adapun libur Natal dan Tahun Baru 2020 semula akan digabung dengan Cuti Bersama Idul Fitri yang digeser ke akhir tahun pada 28-31 Desember 2020. Libur Hari Raya Natal sendiri jatuh pada 24-25 Desember.
Advertisement
Kemudian, hari libur masih ditambah tanggal merah pada 1 Januari 2021. Jokowi memerintahkan agar ketentuan soal libur panjang akhir tahun dibahas lebih lanjut dalam rapat koordinasi Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK).
"Secara khusus nanti akan kita bicarakan mengenai libur panjang yang nanti juga akan ada di bulan Desember. Ini akan kita bicarakan nanti dalam rapat hari ini secara khusus," kata Jokowi.
Dia menilai bahwa saat ini strategi untuk menyeimbangkan 'gas dan rem' sudah terlihat hasilnya. Untuk itu, dia meminta para gubernur dan Komite Satgas terus menjaga keseimbangan tersebut agar tak muncul gelombang kedua Covid-19.
"Strategi yang sejak awal kita sampaikan rem dan gas itu betul-betul diatur betul. Jangan sampai kendor dan juga memunculkan risiko memunculkan gelombang yang kedua ini yang bisa membuat kita side back, mundur lagi," jelas Jokowi.
Menko PMK Muhadjir Effendy mengatakan, lonjakan kasus positif Covid-19 menjadi pertimbangan utama yang diambil pemerintah Jokowi memangkas libur panjang akhir tahun.
"Lonjakan kasus sehabis libur panjang memang menjadi salah satu pertimbangan," kata Muhadjir kepada Liputan6.com, Selasa (24/11/2020).
Dia menegaskan, berdasarkan pengalaman yang ada, usai liburan terjadi kenaikan kasus Covid-19 yang cukup signifikan antara 25 sampai 30 persen.
Kendati begitu, sebagaimana perintah dari Presiden Jokowi, wacana ini segera dirapatkan dengan semua pihak untuk memastikannya. "Beliau memerintahkan supaya segera ada rapat koordinasi yang dilakukan oleh Kemenko PMK dengan kementerian/lembaga terkait. Terutama, berkaitan masalah libur akhir tahun dan pengganti libur cuti bersama Idul Fitri," kata Muhadjir.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan kajian yang dilakukan Presiden Jokowi betul-betul melihat dari seluruh aspek, baik sisi ekonomi maupun juga kesehatan. Mengingat lonjakan kasus positif Covid-19 meningkat selepas libur panjang pada Oktober 2020.
"Dalam hal ini memang tidak bisa dipisahkan, Covid dengan proses pemulihan ekonomi. Kalau terjadi kegiatan yang menyebabkan penyebaran lebih tinggi atau buruk, pasti pengaruh dampak ke pemulihan ekonomi. Karena nanti akan dilakukan langkah-langkah mengenai bagaimana kegiatan ekonomi bisa berjalan tanpa memperburuk penyebaran Covid," kata dia Selasa, (24/11/2020).
Pertimbangan lain dilakukan Presiden Jokowi dalam mengurangi cuti bersama dan pengganti Idul Fitri juga karena turunnya aktivitas ekonomi. Berdasarkan data-data yang ada pada Oktober 2020, telah terjadi beberapa perkembangan aktivitas ekonominya yang sudah menunjukkan pelemahan kembali.
"Tapi yang kita lihat tiap libur panjang jumlah Covid naik, tapi indikator ekonomi tidak membaik atau tidak terjadi konsumsi yang diharapkan. Berarti ini harus hati-hati melihatnya. Apakah dengan libur panjang masyarakat melakukan aktivitas mobilitas tinggi, tapi tidak menimbulkan belanja dan menimbulkan tambahan kasus Covid. Itu harus dijaga," katanya.
Di sisi lain, jika libur panjang tetap dilakukan pada Desember 2020, maka jumlah hari kerja hanya 16 hari saja. Sementara pada Desember tahun lalu jumlah hari kerja masih 20 hari.
Lamanya libur panjang akan mempengaruhi konsumsi listrik sektor produksi. Berdasarkan datanya, konsumsi listrik sektor industri pada Oktober 2020 minus 8,1 persen secara tahunan.
"Dari data Oktober dengan jumlah hari kerja yang menurun konsumsi listrik di bidang industri, bisnis, manufaktur turun itu dampaknya kegiatan ekonomi sektor produksi turun, di sektor konsumsi tidak pick up," ujarnya.
Berdampak Menambah Kasus
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, libur panjang akhir tahun ini lebih lama waktunya. Sehingga, dikhawatirkan akan membuat klaster baru dari masa libur yang sudah-sudah.
"Masa libur panjang akhir tahun 2020 memiliki durasi yang lebih panjang. Dikhawatirkan berpotensi menjadi manifestasi perkembangan kasus menjadi 2 bahkan 3 kali lipat lebih besar daripada masa libur panjang sebelumnya," kata Wiku, Selasa (24/11/2020).
Dia mengingatkan, kenaikan kasus positif Covid-19 pada masa libur panjang, disebabkan kurangnya disiplin masyarakat terhadap protokol kesehatan. Terutama menjaga jarak dan menjauhi kerumunan. Karenanya, soal pembatasan liburan ini dikaji untuk menghindari korban lainnya.
"Pemerintah saat ini sedang mengkaji periode masa libur panjang akhir tahun, karena berdasarkan analisa setiap liburan panjang pada masa pandemi memakan korban," jelas Wiku.
Dia menuturkan, secara prinsip, keputusan pemerintah adalah yang terbaik bagi masyarakat. "Keputusan ini selalu mengutamakan keselamatan masyarakat Indonesia di tengah pandemi Covid-19," kata Wiku.
Dia juga mengungkapkan, belum terkendalinya kasus aktif nasional karena liburan panjang dan menimbulkan kerumunan. Karena itu, penting kebijakan pembatasan liburan ini adalah upaya mencegah hal tersebut.
"Masih belum terkendalinya kasus aktif nasional, disebabkan oleh liburan panjang dan kegiatan yang menimbulkan kerumunan," jelas Wiku.
Karenanya, dia meminta kepada pemda untuk melakukan pengawasan sosialisasi, penegakkan disiplin dan pemberian sanksi kepada masyarakat yang masih abai terhadap protokol kesehatan tanpa pandang bulu. "Kolaborasi pemerintah dan masyarakat merupakan kunci utama dalam menekan kasus aktif di tingkat nasional," tukas Wiku.
Sebagai sektor yang paling terdampak jika kebijakan ini dilakukan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) mendukung kebijakan Presiden Jokowi tersebut.
"Sesuai arahan Presiden bahwa kesehatan masyarakat adalah yang utama, Kemenparekraf mendukung kebijakan apa pun terkait dengan kesehatan masyarakat. Pariwisata harus tumbuh atas dasar masyarakat yang sehat dan aman. Sementara itu, Kemenparekraf akan terus mensosialisasikan protokol CHSE bagi destinasi wisata agar lebih siap dalam menyambut wisatawan pada waktunya," kata Juru Bicara Kemeparekraf Prabu Revolusi kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (24/11/2020).
Prabu meyakini para pelaku usaha wisata dan pihak terkait bakal memahami situasi bila pemerintah benar-benar memangkas jatah hari libur.
Menurut dia, bagaimana pun, kesehatan adalah yang utama sehingga baik wisatawan maupun pelaku wisata dituntut untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan.
Di samping itu, Kemenparekraf menilai pemangkasan hari libur memberi kesempatan lebih banyak bagi pelaku wisata untuk segera mengadopsi CHSE.
Saat ini, pihaknya menggencarkan sertifikasi CHSE untuk ribuan pelaku usaha wisata, termasuk hotel dan restoran, agar wisatawan merasa aman dan nyaman saat mengunjungi tempat-tempat tersebut.
"Sekarang masih banyak yang belum adopsi CHSE karena program ini juga baru berjalan sebulan lebih. Tapi dengan cara ini, wisatawan bakal tahun mana yang lebih aman untuk didatangi," kata Prabu.
Sertifikasi tersebut melalui proses panjang yang dimulai dengan mengisi form assessment mandiri oleh pelaku wisata. Selanjutnya, tim akan menjadwalkan visitasi untuk menilai apakah pernyataan yang disampaikan dalam laporan awal sesuai dengan fakta di lapangan.
"Kalau belum sesuai, yang harus dibenahi, diperbaiki. Itu prosesnya panjang. Kami pun enggak pengen instan," ujar Prabu.
Sementara bagi para pelancong, Prabu kembali mengingatkan wisatawan untuk melakukan perjalanan yang bertanggung jawab, baik untuk diri sendiri ataupun sesama.
"Pakai masker selalu, cuci tangan dan jaga jarak. Kita jaga kesehatan diri dan orang lain bersama-sama," sambung dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Langkah yang Tepat
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Satria Aji Imawan, mengatakan, langkah memangkas libur panjang akhir tahun ini dipandang tepat. Mengingat banyak kejadian yang belum selesai tracingnya, seperti klaster acara pemimpin Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab.
"Tracing di Jakarta belum selesai pasca insiden kemarin (kerumunan Rizieq Shihab). Jadi pemangkasan hari libur ini menurut saya bagus untuk kesehatan. Karena di beberapa sudah habis penampungnya, seperti di Yogyakarta," kata Satria kepada Liputan6.com, Selasa (24/11/2020).
Namun, dia tak sepakat dengan Sri Mulyani, bahwa pemangkasan hari libur ini tak membawa dampak baik bagi ekonomi, terlebih dunia wisata.
"Untuk ekonomi tidak baik. Karena kemarin libur panjang membawa animo berwisata dan memutar uang, dan sebagainya. Biasanya akhir tahun juga banyak perjalanan dinas kerja, libur natal, dan tahun baru," jelas Satria.
Karenanya, jika ingin memangkas, maka perlu mencontoh seperti Idul Fitri kemarin. Misal mengeluarkan tagar jangan mudik dulu. Karena menurutnya, banyak protokol kesehatan yang dilanggar, karena liburan ini. "Jadi saya pikir harus ada imbuan seperti Idul Fitri, terus kan ini ada cuti juga. Jadi harus ada pesan seperti Idul Fitri dulu. #janganmudik, #dirumahaja. Karena kalau dibuka prokes banyak dilanggar. Kenaikan jadi tinggi," tutur Satria.
Satria menegaskan, dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, maka yang harus jadi utama adalah menekan penyebaran virus.
"Belajar dari Idul Fitri kermarin, dilarang mudik, jadi saya rasa kita tidak harus keluar akhir tahun ini. Karena kita sama sekali tidak mengalami penurunan, secara sadar dan kasus naik terus. Sudah 500 ribu angka nasional," kata Satria.
Meski demikian, jika memang masyarakat ingin libur, maka pemerintah harus bisa memastikan pihak swasta maupun pengusaha memastikan protokol kesehatan dijalankan dengan ketat. "Karena akhir-akhir ini, saya lihat, masyarakat seolah lupa dengan Covid. Belum lagi awal Desember ada Pilkada. Sehingga ini menjadi tantangan tersendiri, bagi pusat dan daerah harus merancang gimana, eventnya banyak sekali," ungkap Satria.
Selain itu, disarankan masyarakat berpergian tapi sifatnya lokal. Bisa belajar dari apa yang terjadi saat liburan kemarin, membuat Malioboro di Yogyakarta penuh, dan Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X marah. "Jadi yang perlu ditegaskan, protokol kesehatannya saja. Penutupan susah, karena sebenarnya aturan ada tapi tak ditegakkan. Perangkat pemerintah sibuk dengan hal lain termasuk Pilkada," jelas Satria.
Namun, dia tetap sepakat bahwa, pemangkasan libur akhir tahun ini dilakukan. "Kita bisa pindahkan ke tahun depan. Tinggal sebulan lagi masuk ke tahun baru, mungkin 3 bulan pertama bisa sudah ada vaksin. Setelah itu lebaran, bisa libur dipindahkan di situ harinya, di tahun berikutnya," kata Satria.
Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio, sepakat dengan rencana pemerintah tersebut. Karena menurutnya, sudah banyak waktu liburan. Dan kapan mau selesai pandemi Covid-19 ini, jika masih ada yang berkumpul dan bergerombol. "Situasi lagi pandemi ngapain kita kumpul-kumpul, ini kan biar cepet selesai, kalau gini terus tidak selesai-selesai pandeminya," kata Agus kepada Liputan6.com, Selasa (24/11/2020).
Menurut dia, jika kebijakan itu diterapkan, sudah benar. Tinggal bagaimana pengawasan dan pemberian sanksinya bagi yang melanggar, misal memang tidak boleh liburan atau tak memperketat protokol kesehatan Covid-19.
"Kita cuek dengan aturan, dan negara tak berani mengatur. Ya sudah, tak akan pernah maju. Sekarang kan masih WFH, tapi kalau yang mau pulang ya pulang. Makanya saya heran bahas liburan mau gimana, orang kita kan udah libur terus. WFH sambil liburan sekarang bisa juga, transportasi sudah bisa kemana-mana boleh. Yang saya binggung ada kebijakan libur bersama, itu buat apa," tutur Agus.
Advertisement
Mencegah Kerumunan
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane, mengatakan, pemotongan itu adalah hak pemerintah. Namun, tak ada hubungannya dengan Covid-19. " Kalau dihubungan dengan Covid, itu tidak tepat. Ya menurut saya, tidak efektif," kata Masdalina kepada Liputan6.com, Selasa (24/11/2020).
Dia justru memandang, banyaknya kasus akhir-akhir ini, karena jumlah tes kita memang ditingkatkan. Bahkan sudah sesuai dengan WHO. Artinya kinerja petugas yang ada sudah meningkat. "Kalau saya lihat kemarin, kapasitas testing kita sudah sesuai dengan standar WHO. Satu suspek per 1.000 penduduk. Klaimnya kan 40.000 pemeriksaan per hari," jelas Masdalina.
Sehingga menurutnya tak ada korelasinya. Yang menjadi masalah saat liburan itu, adalah kerumunan di tempat wisata. "Jadi libur boleh saja, tapi tempat wisatanya tutup. Jangan sampai libur dijadikan alasan bahwa gara-gara liburan Covid jadi meningkat. Kalau liburannya itu tidak menimbulkan kerumunan," kata Masdalina.
"Jadi tempat wisatanya mesti ditutup, karena tempat wisata itu menimbulkan kerumunan. Jangan dikaitkan dengan liburannya. Kan ada orang liburan, hanya pulang ke daerahnya, kalau dia cuman di rumah saja berkumpul dengan keluarganya itu aman," tutur Masdalina.
Sementara, Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan juga melihat, bahwa liburan ini yang menjadi masalah adalah menimbulkan kerumunan. Sehingga, dengan pemangkasan ini, masyarakat harus diingatkan bahwa ini masih dalam keadaan pandemi Covid-19.
"Bukan liburannya, intinya aktivitas apa pun yang menyebabkan bergerombol, itu harus dihindari. Ya karena itu dikurangi, mudah-mudahan jadi sadar, bahwa ini dalam rangka upaya pencegahan. Ini yang barangkali harus diingatkan," kata Ede kepada Liputan6.com, Selasa (24/11/2020).
Menurut dia, jika masyarakat belum sadar, maka akan sulit menghentingkan pandemi Covid-19. Sehingga, salah satu yang paling efektif mencegah kerumunan ini adalah jangan liburan dulu. Menurutnya, sudah banyak pelajaran yang bisa diambil masyarakat dari berkerumun atau liburan dengan banyak orang.
"Saya kira tiga kali sudah cukup buat pelajaran bagi kita, jangan ditambahin. Termasuk hati-hati Pilkada besok ya. Jangan sampai pas sudah nyoblos, ngumpul-ngumpul bergerombol lagi, Nah itu juga harus hati-hati," tutur Ede.
Sehingga ada dua esensinya dalam liburan ini. Yang pertama adalah mencegah kerumunan. "Jadi ada dua lah, yang pertama berpotensi menimbulkan kerumunan, yang kedua kelelahan liburan mengakibatkan mudah tertular," kata Ede.
Jangan Politis
Sementara itu, politisi PKS Mardani Ali Sera memandang, wacana pemangkasan liburan akhir tahun ini sifatnya kasusistis. Seharusnya, pemerintah harus membuat kebijakan yang bersifat lebih luas, mengingat angka Covid-19 terus meningkat.
"Rencana pengurangan cuti bersama pun hanya bersifat kasuistis. Sebagai bangsa kita memerlukan langkah yang besar dan konsisten. Tidak salah jika kita bertanya, apakah ada yang salah arah dalam manajemen kebijakan penanganan pandemi Covid-19 ini?," kata Mardani, Senin (24/11/2020).
Dia menuturkan, harus diakui sampai saat ini pemerintah masih terlalu fokus menjalankan langkah kuratif atau pengobatan untuk mengatasi Covid-19. Edukasi pencegahan kepada akar rumput sejatinya lebih pas untuk mengendalikan dampak negatif yang dihasilkan penyakit ini.
"Sisi hulu dari kehidupan masyarakat harus dijaga dgn pendekatan kesehatan masyarakat. Covid-19 di RS semakin membludak bahkan kerap kali di luar batas kemampuan kamar yang ada. Penurunan kasus Covid-19 akan efektif jika seluruh warga kembali mematuhi protokol Covid-19 yang ada," jelas Mardani.
Berbeda dengan Wakil Ketua Komisi IX Melki Laka Lena. Dia sepakat dengan libur yang dikurangi. Menurutnya, ini bisa mencegah interaksi warga Indonesia dalam jumlah besar di berbagai daerah yang berpotensi menaikkan angka penularan Covid- 19.
"Pemerintah dan mengajak pemda dan pihak swasta perlu diajak kerjasama terkait pencegahan ini. Kami mengajak semua warga masyarakat untuk menahan diri untuk libur ke tempat tempat keramaian dengan tetap di rumah bersama keluarga terkasih," kata Melki kepada Liputan6.com, Selasa (24/11/2020).
Jikalau akhirnya tetap ingin berlibur, setidaknya tetap perhatikan protokol kesehatan Covid-19 yang ketat. "Dalam keadaan apapun tegap disiplin jalankan 3 M dan 3 T di berbagai aktivitas dan tempat apalagi di tempat keramaian dan pariwisata," kata Melki.
Advertisement