Liputan6.com, Jakarta Sebuah kecelakaan pesawat yang nahas menimpa dunia penerbangan Indonesia pada Selasa, 30 November 2004 silam. Sore itu, pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 538 tergelincir saat mendarat di Bandar Udara Adi Sumarmo, Solo, Jawa Tengah. 26 tewas, 55 orang luka berat, dan 63 orang luka ringan.
Dalam kecelakaan tersebut, pesawat mengangkut 156 penumpang. Saat itu cuaca memang buruk, sekitar pukul 18.15, hujan deras, petir dan angin membuat pesawat limbung.
Advertisement
Pesawat Lion Air jenis MD-82 itu awalnya lepas landas dari Jakarta dengan tujuan Surabaya pada pukul 17.00 WIB. Sebelum mendarat di Bandara Internasional Juanda, Surabaya, pesawat itu transit terlebih dahulu di Solo.
Menurut penuturan salah seorang penumpang, hujan lebat ditambah petir sudah sejak awal keberangkatan. Saat pendaratan sekitar pukul 18.15 WIB, menurutnya, pesawat seolah tidak dapat dihentikan dan akhirnya keluar landasan. Pesawat masuk ke sawah di bandara sebelum akhirnya berhenti di pemakaman penduduk di Desa Ngesrep, Kecamatan Ngemplak.
Badan pesawat akhirnya patah di tengah, tepatnya di bagian tulisan 'Lion' dan membuat pesawat dari tengah hingga depan pesawat hancur.
Penyebab Kecelakaan Pesawat
Berdasarkan hasil penyelidikan Tim Investigasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), penyebab pesawat Lion Air tergelincir adalah hydroplaning atau kondisi saat pesawat mendarat pada suatu landasan yang basah dan berakibat efektifitas pengereman pesawat pada saat mendarat hilang.
Ketua KNKT kala itu, Kapten Ertata Lananggalih mengatakan, kecelakaan pesawat itu lantaran fungsi sistem pendaratan pesawat yang tidak optimal ditambah cuaca buruk.
Lantaran landasan pacu yang tergenang air, menurutnya membuat pesawat tergelincir dan tidak dapat dikendalikan dan mengalami overshoot/overrun atau meluncur keluar landasan dan berujung berhenti di pemakaman umum sekirar bandara.
Sementara itu, menurut Ertata, penyebab banyaknya korban yang meninggal atau luka berat yang menimpa penumpang di kursi depan atau kursi nomor 1-11 adalah karena tertabraknya fondasi antena localizer di daerah Runway End Safety Area (RESA) pada lokasi 140 meter dari ujung landasan pacu. Sehingga bagian depan pesawat terkoyak.
Selain itu, tertutupnya panel perusak gaya angkat dibagian sayap (Spoiler) dan pintu pembalik arah gaya dorong mesin (Reverser) juga menjadi penyebab kecelakaan. Hal itu ditambah aktivitas awan di sekitar bandara telah menyebabkan timbulnya angin buritan sebesar 13 knots yang mengakibatkan bertambahnya jarak meluncur pesawat saat mendarat.
Dari penelusuran tersebut, KNKT merekomendasikan review prosedur pengoperasian pesawat pada saat mendarat dalam kondisi hujan, review pengawasan maintenance, dan peninjauan kembali kelayakan pesawat MD-82.
Manajer Humas Lion Air saat itu, Hasyim Arsal Alhabsi membantah jika kecelakaan yang terjadi itu disebabkan karena kondisi pesawat Lion Air yang tidak laik terbang. "Kami sudah berjalan sesuai dengan prosedur, segala sesuatu sudah berjalan sesuai dengan aturan yang ada," ujar Hasyim.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Para Korban
Beberapa pengurus Nahdlatul Ulama (NU) juga menjadi korban dalam kecelakaan yang menewaskan 26 orang tersebut. Mereka adalah peserta yang akan ikut Muktamar ke-31 Nahdlatul Ulama di Donohudan, Boyolali. Salah satu korban adalah KH Yunus Muhammad yang saat itu menjabat Ketua Komisi VIII DPR kala itu.
Diketahui, korban tewas sebagian besar disebabkan luka akibat tubuh terjepit kursi dan patahan besi pesawat.
Sementara korban awak pesawat, pilot Lion Air M Dwi Mawastoro juga menjadi korban meninggal dunia. Pilot Dwi ditemukan tewas disekitar lokasi pesawat. Pramugari Dewi Suyani juga menjadi korban tewas.
Belakangan, pada Januari 2006, sebanyak 43 orang korban dan keluarga korban mengajukan gugatan hukum kepada pembuat pesawat, Boeing di Amerika Serikat.
Gugatan diluncurkan karena Boeing dinilai gagal mendesain dan memproduksi pesawat tersebut. Pihak keluarga mempercayakan gugatan kepada Nolan Law Group sebagai kuasa hukum.
Advertisement