OJK Integrasikan Penyelesaian Sengketa Jasa Keuangan Lewat LAPS SJK

OJK mulai awal 2021 mendatang akan melakukan penyelesaian sengketa secara terintegrasi melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK).

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 30 Nov 2020, 09:23 WIB
Ilustrasi OJK

Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai awal 2021 mendatang akan melakukan penyelesaian sengketa secara terintegrasi melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK).

Juru Bicara Otoritas Jasa Keuangan Sekar Putih Djarot mengatakan, enam LAPS yang sudah ada saat ini yaitu BAPMI, BMAI, BMDP, LAPSPI, BAMPPI, dan BMPPVI akan disatukan menjadi LAPS Sektor Jasa Keuangan.

"Sehingga masyarakat akan lebih mudah menghubungi dan penyelesaian sengketa akan lebih cepat karena telah tersentralisasi. Mengingat semakin banyaknya produk keuangan yang hybrid," jelas Sekar dalam siaran pers resmi yang diterbitkan OJK, Senin (30/11/2020).

Dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, diatur bahwa setiap Lembaga Jasa Keuangan (LJK) wajib memiliki unit kerja dan atau fungsi serta mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen.

Jika penyelesaian pengaduan di LJK tidak mencapai kesepakatan sehingga timbul sengketa, konsumen dapat melakukan upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dapat dilakukan melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK).

Konsumen yang dapat memanfaatkan LAPS SJK dalam hal ini merupakan pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di pelaku usaha jasa keuangan (PUJK). Sementara kasus sengketa yang jadi urusan LAPS SJK yakni perselisihan antara konsumen dengan PUJK yang telah melalui proses penyelesaian pengaduan oleh PUJK.

Menurut catatan OJK, LAPS SJK dapat memberikan sejumlah manfaat. Di antaranya:

1) Memberikan layanan penyelesaian sengketa sektor jasa keuangan yang profesional, kredibel dan independen,

2) Meningkatkan aksesibilitas Konsumen dan Masyarakat dalam penyelesaian sengketa khususnya terkait produk yang bersifat hybrid,

3) Meningkatkan kepercayaan Konsumen dan Masyarakat pada industri jasa keuangan,

4) Membentuk standarisasi proses penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan.

Adapun kasus sengketa yang dapat disampaikan ke LAPS SJK merupakan sengketa atas Produk dan Layanan dari 8 industri yang terdaftar dan berizin dari OJK, baik konvensional maupun syariah. Seperti; Perbankan, Pasar Modal, Modal Ventura, Dana Pensiun, Peransurasian, Penjaminan, Penjaminan, dan Financial Technology (Fintech).

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


OJK Sebut Stabilitas Sektor Jasa Keuangan Terjaga di November 2020

Kepala OJK Wimboh Santoso menyampaikan paparan dalam pertemuan dengan pimpinan bank umum Indonesia di Istana Negara, Jakarta, Kamis (15/3). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa kondisi sektor jasa keuangan masih dalam kondisi yang stabil dan terjaga di tengah upaya keras yang dilakukan OJK bersama pemerintah dan otoritas lain untuk mendorong upaya pemulihan ekonomi nasional yang masih tertekan dampak pandemi Covid-19.

Upaya OJK ini sejalan dengan pernyataan Presiden RI Joko Widodo saat perayaan HUT OJK hari Minggu (22/11/2020) lalu, yang meminta OJK untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar, berbagi beban untuk membantu para pelaku usaha kecil, menengah maupun besar agar kembali produktif menggerakkan roda perekonomian.

Hal senada diungkapkan Wapres Ma’ruf Amin, yang meminta OJK meningkatkan pengawasan terintegrasi untuk tumbuh dan berkembangnya sektor jasa keuangan termasuk yang berskala ultra mikro, mikro dan kecil.

Berdasarkan keterangan yang diberikan OJK, Kamis (26/11/2020), Rapat Dewan Komisioner (RDK) bulanan pihak otoritas mencatat profil risiko dan permodalan sektor jasa keuangan dalam kondisi yang terjaga. Itu terlihat dari Oktober 2020, dimana rasio non-performing loan (NPL) gross tercatat sebesar 3,15 persen (NPL net: 1,03 persen), dan rasio non-performing financing (NPF) perusahaan pembiayaan sebesar 4,7 persen.

Terjaganya NPL dan NPF banyak ditopang kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan. Hingga 26 Oktober, realisasi restrukturisasi kredit mencapai Rp 932,4 triliun untuk 7,53 juta debitur perbankan. Terdiri dari restrukturisasi kredit UMKM Rp 369,8 triliun untuk 5,84 juta debitur dan non-UMKM senilai Rp 562,5 triliun untuk 1,69 juta debitur.

Realisasi restrukturisasi pembiayaan hingga 17 November mencapai Rp 181,3 triliun untuk 4,87 juta kontrak. Sementara risiko nilai tukar perbankan dapat dijaga pada level yang rendah terlihat dari rasio Posisi Devisa Neto (PDN) Agustus 2020 sebesar 2,31 persen, jauh di bawah ambang batas ketentuan sebesar 20 persen.

Likuiditas dan permodalan perbankan juga berada pada level yang memadai. Rasio alat likuid/non-core deposit dan alat likuid (Dana Pihak Ketiga/DPK) per 18 November 2020 terpantau pada level 157,57 persen dan 33,77 persen, di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen November dan 10 persen.

Sedangkan permodalan lembaga jasa keuangan, OJK mencatat, sampai saat ini relatif terjaga pada level yang memadai. Capital Adequacy Ratio perbankan tercatat sebesar 23,74 persen, serta Risk-Based Capital industri asuransi jiwa dan asuransi umum masing-masing sebesar 539 persen dan 337 persen, jauh di atas ambang batas ketentuan sebesar 120 persen. Begitu pun gearing ratio Perusahaan Pembiayaan yang tercatat sebesar 2,28 persen, jauh di bawah maksimum 10 persen.


Infografis Protokol Kesehatan

Infografis DISIPLIN Protokol Kesehatan Harga Mati (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya