LIPI Nilai Kebijakan Ekspor Benih Lobster Hanya Perlu Dievaluasi Bukan Dicabut

Kebijakan ekspor lobster dinilai tidak dicabut pasca penetapan Edhy Prabowo sebagai tersangka dalam kasus ekspor benur.

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Nov 2020, 13:11 WIB
Lobster dari Australia terhambat masuk ke China. Dok: ABC Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menilai produk hukum Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan sebaiknya tidak dicabut pasca penetapan Edhy Prabowo sebagai tersangka dalam kasus ekspor benur. Sebab regulasi ini telah hadir untuk menggantikan kebijakan yang dikeluarkan Susi Pudjiastuti tahun 2016 lalu.

Peneliti Pusat Penelitian Politik, LIPI, Anta Maulana Nasution mengatakan sebaiknya regulasi ekspor benih lobstersudah bagus, Hanya saja pasal 5 Permen KP tersebut harus dikaji ulang.

"Jangan dilihat ini sebagai produk yang buruk. Ini bagus hanya ada yang harus dilakukan ini revisi, kajian ulang terkait pasal 5," kata Anta dalam SAPA MEDIA bertema Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial secara virtual, Jakarta, Senin (30/11).

Anta menjelaskan, pasal-pasal yang ada dalam Permen KP itu telah dijalankan. Regulasi ini membawa kebaruan dalam penanganan lobster saat ini.

Hanya yang menjadi masalah pada pasal 5 yang membahas tentang kebijakan ekspor benur. Pemerintah harus bisa embuat ketentuan yang bisa dijalankan para eksportir benur.

"Ini membawa kebaruan buat lobster tapi yang jadi masalahnya kebijakan ekspor benurnya," kata dia.

Anta mengaku ragu dengan tiga ketentuan yang terdapat dalam pasal 5 Permen KP tahun 2020. Ketentuan yang dimaksud terkait budidaya, budidaya keberlanjutan lobster dan mengembalikan 2 persen hasil budidaya lobster ke habitat aslinya.

"Ada tiga ketentuan yang belum tentu bisa dijalankan. Apakah benar sudah dijalankan semua," kata dia.

Anta menaruh curiga lantaran kebijakan Edhy Prabowo tersebut baru dikeluarkan sekitar bulan Mei 2020. Lalu dalam waktu 2 bulan, pada Juli 2020 sudah ada pengusaha yang melakukan eksportir benur.

Padahal dalam proses budidaya lobster, fase hidup udang laut ini membutuhkan waktu minimal 7 bulan untuk siap diperjualbelikan. "Apakah dalam waktu 2 bulan sudah bisa dipanen," kata dia.

Selain itu untuk izin ekspor benur juga harus mendapatkan izin Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Kajiskan). Sementara kebijakan ini baru dibentuk sekitar bulan Oktober lalu.

"Komnas Kajiskan ini baru dibentuk atau Kepmen-nya (Keputusan Menteri) 27 Oktober, baru sebulan. Sementara ekspor benur dari Juni, Juli, Agustus. Ini bisa jadi evaluasi," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penangkapan Edhy Prabowo jadi Momentum Kaji Ulang Ekspor Benih Lobster

Lobster dan udang Tiger hasil tangkapan nelayan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Beberapa waktu lalu Indonesia dikejutkan dengan penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo pada Rabu (25/11/2020) ditangkap pukul 01.23 WIB, dini hari, di Bandara Soekarno-Hatta oleh KPK terkait dengan kasus dugaan korupsi ekspor benih lobster atau benur.

Peneliti Kebijakan Kelautan dan Perikanan Pusat Penelitian Politik LIPI Anta Maulana Nasution mengatakan momentum penangkapan Menteri KKP harus menjadi pendorong bagi KKP untuk mengambil langkah selanjutnya dalam menyikapi kebijakan ekspor benur.

“KKP dapat memulai langkahnya dengan mengkaji ulang dari awal apakah sebenarnya kebijakan ekspor benur merupakan solusi yang tepat dari permasalahan yang dihadapi nelayan. Atau jangan-jangan kebijakan ini hanya sekedar memfasilitasi 'para aktor jahat' pemain ekspor benur”,” kata Anta dalam diskusi LIPI Sapa Media #6, Senin (30/11/2020).

Kemudian Anta menyarankan pentingnya melakukan analisis aktor-aktor yang berkepentingan, sebelum menerapkan Kembali kebijakan ekspor benih lobster sebagai langkah preventif untuk mencegah terjadinya monopoli.

“KKP harus bisa berperan bukan hanya sebagai fasilitator, tetapi juga harus menjadi aktor penengah yang memastikan bahwa kebijakan tersebut memberikan dampak yang seimbang bagi semua aktor,” jelas Anta.

Lanjutnya, kebijakan mengizinkan ekspor benur dalam pendekatan ekologi politik, tidak bisa dilihat hanya sebagai langkah Pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nelayan.

Tapi juga harus dilihat sebagai upaya dari aktor-aktor selain nelayan yang memiliki kepentingan secara ekonomi, maupun politik untuk menguasai atau memonopoli bisnis ekspor benur dengan mengandalkan relasi kuasa politik.

“Ekologi politik melihat sebuah fenomena perubahan sumberdaya dari proses politik yang terjadi di belakangnya,” ujarnya.

Menurutnya fenomena kebijakan ekspor benih lobster menunjukan adanya indikasi oligarki yang kemungkinan selama masa Pemerintahan sebelumnya berusaha untuk ‘ditenggelamkan’ melalui pelarangan ekspor Benur dan mencoba bangkit kembali pada saat ini.

“Setidaknya ada tiga aktor yang berkepentingan dalam kebijakan ekspor benur, yaitu pemerintah, swasta, dan nelayan, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 tahun 2020, khususnya pasal 5 terkait eksportir, dan Potensi relasi kuasa,” sebutnya.

Demikian ia menegaskan perlunya mengkaji ulang aktor-aktor yang berkepentingan agar kedepannya pengelolaan budidaya lobster bisa berjalan dengan baik.    


Infografis Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo

Infografis Penangkapan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya