Liputan6.com, Jakarta - Peneliti Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Anta Maulana Nasution menilai kebijakan mengizinkan ekspor benih lobster atau benur tidak bisa dilihat hanya sebagai upaya pemerintah meningkatkan perekonomian nelayan. Melainkan sebagai upaya para aktor lain selain nelayan yang memiliki kepentingan ekonomi maupun politik.
"Juga harus dilihat sebagai upaya dari aktor-aktor selain nelayan yang memiliki kepentingan secara ekonomi maupun politik," kata Anta dalam SAPA MEDIA bertema Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial secara virtual, Jakarta, Senin (30/11/2020).
Advertisement
Tujuannya lanjut Anta, untuk menguasai atau memonopoli bisnis ekspor benih lobster dengan mengandalkan relasi kuasa politik. Fenomena kebijakan ekspor benih lobster juga menunjukkan adanya indikasi oligarki yang kemungkinan selama masa pemerintahan sebelumnya.
Oligarki sebelumnya berusaha untuk ditenggelamkan melalui pelarangan ekspor benur. Namun kini mereka mencoba bangkit kembali pada saat ini dengan pemerintahan yang baru.
Dia mengingatkan, aktor-aktor yang dimaksud antara lain pemerintah, swasta dan nelayan atau para pembudidaya.
"Jadi yang main di sana bukan eksportir saja, ada pemilik modal dan pemerintah juga yang membuat oligarki," kata dia.
Potensi relasi kuasa ini terlihat dari pasal 5 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 12 tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting dan Rajungan. Dalam pasal tersebut perusahaan yang ingin melakukan ekspor harus terdaftar di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Alur Kebijakan Sudah Baik
Menurut Anta, alur kebijakan ini sebenarnya sudah baik. Hanya saja pihak yang menentukan perusahaan yang diizinkan melakukan ekspor benur ditentukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tanpa melibatkan pihak eksternal.
"KKP ini punya kekuasaan yang besar buat menentukan perusahaan yang mana yang boleh ekspor," kata Anta.
Memang ada tim khusus yang melakukan penilaian tersebut. Hanya saja ini diisi oleh internal KKP tanpa ada perwakilan akademisi atau praktisi di dalam ti uji tuntas tersebut.
Padahal kehadiran pihak eksternal bisa mencegah adanya potensi relasi kuasa untuk melihat siapa yang memang bisa melakukan ekspor benur.
"Tim ini harusnya dari akademisi dan praktisi untuk mencegah potensi relasi kuasa dalam melihat siapa yang bisa melakukan ekspor benur," kata dia.
Anisyah Al Faqir
Merdeka.com
Advertisement