Kasus COVID-19 Makin Parah, Pemerintah Turki Tetap Tak Mau Lockdown

Turki ogah lockdown meski diminta oleh pakar kesehatan. Kasus COVID-19 kini meroket.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 30 Nov 2020, 15:05 WIB
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan istri, Emine menyapa pendukung Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) di Ankara, Turki, Senin (25/6). Erdogan kembali memenangkan pemilu presiden di Turki. (Presidency Press Service via AP, Pool)

Liputan6.com, Ankara - Menteri Kesehatan Turki Fahrettin Koca berkata petugas medis di Turki sedang terbebani di tengah pandemi. Kasus COVID-19 di negara itu sedang makin parah, meski pemerintah masih ogah lockdown.

"Pasukan medis kita berada dalam beban berat," ujar Menkes Turki Fahrettin Koca via Twitter seperti dikutip Arab News, Senin (30/11/2020).

Kepala Turkish Society of Intensive Care, Ismail Cinel, bahkan meminta rakyat agar jangan keluar rumah.

"Jangan keluar dari rumahmu pekan ini. Kita harus waspada," ujarnya.

Kasus COVID-19 di Turki meningkat akibat perubahan cara hitung pasien. Pasien tanpa gejala kini juga dihitung. Turki kini menjadi salah satu negara yang terdampak paling parah akibat COVID-19.

Berdasarkan data Johns Hopkins University, Turki sudah mencatat 601 ribu kasus, lebih tinggi dari Indonesia.

Asosiasi Medis Turki sudah lama memperingatkan pemerintah terkait cara perhitungan kasus COVID-19. Asosiasi percaya bahkan kasus harian lebih dari 50 ribu kasus.

 

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Ogah Lockdown

Pengunjung mengamati karya seni dalam ajang BASE edisi keempat di Istanbul, Turki, 20 November 2020. Edisi keempat BASE, salah satu ajang seni terpenting di Turki yang didedikasikan untuk para seniman muda dibuka pada 20 November 2020. (Xinhua/Osman Orsal)

Pemerintah Turki memilih menerapkan jam malam ketimbang lockdown. Pakar kesehatan Dr Ergin Kocyildirim yang menjabat sebagai asisten profesor di sekolah kedokteran Universitas Pittsburgh menyebut lockdown terhalangi isu ekonomi.

"Ini memaksa pemerintah untuk membuka ekonomi," ujarnya.

Kocyilidrim juga tak percaya pemerintah Turki transparan dalam memberikan data. Pemerintah Turki berkata akan menggratiskan vaksin, namun Kocyildirim ragu dengan kapabilitas distribusinya.

Dr. Mehmet Adin dari Universitas Yale berkata bunyi alarm sudah terdengar sejak akhir musim panas, tetapi Turki terlambat bergerak.

"Implementasi kebijakan sejak awal musim panas cukup longgar. Menteri kesehatan berada di garis depan dalam melawan virus. Gugus tugas virus corona, yang disebut dewan penasihat ilmiah, mengeluhkan 'tidak mengetahui angka kasus sebenarnya' meski saya percaya itu seharusnya bukan menjadi alasan," ujar Adin.


Butuh Tindakan Nyata

Petugas kebersihan melakukan disinfeksi di kereta bawah tanah di Ankara, Turki (19/11/2020). Kementerian juga mengonfirmasi tambahan 123 orang meninggal dalam 24 jam terakhir, sehingga total kematian menjadi 11.943, sementara jumlah kesembuhan naik 2.918 menjadi 364.573. (Xinhua/Mustafa Kaya)

Adin berkata butuh tindakan nyata untuk mengubah situasi. Kecepatan turut dianggap penting.

Ia meragukan kemanjuran lockdown yang tidak menyeluruh serta jam malam yang hanya menarget usia tertentu.

Adin berkata kebijakan seperti lockdown perlu diterapkan dengan dasar ilmiah. Menunggu herd immunity juga percuma kecuali sudah ada distribusi vaksin.

"Kamu perlu melawan secara konsisten dan bernalar jika ingin memadamkan api ini. Virusnya tidak akan pergi ke mana-mana, dan tentunya herd immunity adalah sebuah utopia sampai ada pengiriman vaksin nasional," ujarnya.


Infografis COVID-19:

Infografis 8 Tips Nyaman Pakai Masker Cegah Covid-19 (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya