Peneliti Sebut Sepertiga Kasus COVID-19 di Inggris Turun Saat Lockdown

Beberapa wilayah di Inggris yang terkena dampak terparah mengalami peningkatan terbesar, kini mulai berangsur membaik.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 01 Des 2020, 09:03 WIB
Pelanggan menikmati makan siang di meja di luar restoran di Soho, London, ketika pemerintah Inggris mempertimbangkan pembatasan baru pada Minggu (20/9/2020). Inggris kemungkinan akan kembali memberlakukan tindakan lockdown akibat lonjakan tajam infeksi virus corona COVID-19. (DANIEL LEAL-OLIVAS/AFP)

Liputan6.com, London - Infeksi Virus Corona COVID-19 di Inggris diperkirakan turun sekitar sepertiganya selama masa penguncian atau lockdown, menurut sebuah penelitian.

Dikutip dari laman BBC, Selasa (1/12/2020) beberapa daerah yang terkena dampak terparah mengalami peningkatan terbesar, kini mulai berangsur membaik. Meski kasus tetap relatif tinggi di seluruh Inggris.

Menteri Kesehatan Matt Hancock mengatakan, data menunjukkan negara belum bisa merayakan ini.

Temuan dari Imperial College London didasarkan pada pemeriksaan lebih dari 100.000 orang antara 13-24 November.

Peneliti memperkirakan tingkat penyebaran virus telah turun menjadi 0,88. Itu berarti rata-rata setiap infeksi diterjemahkan menjadi kurang dari satu infeksi baru, sehingga epidemi menyusut.

Studi Imperial melibatkan pengujian sampel acak untuk virus Corona COVID-19, apakah mereka memiliki gejala atau tidak.

Hasil tes ini menunjukkan penurunan infeksi sebesar 30 persen antara penelitian terakhir dan periode 13-24 November. Sebelumnya, kasus meningkat dua kali lipat setiap sembilan hari saat penelitian terakhir dilaporkan pada akhir Oktober. Sekarang mulai turun, tetapi lebih lambat daripada peningkatannya.

Penguncian diberlakukan di seluruh Inggris pada 5 November, tetapi data nasional, berdasarkan orang-orang dengan gejala, menunjukkan ada lonjakan kasus di minggu berikutnya.

Studi ini juga menemukan kelompok tertentu memiliki peluang lebih tinggi untuk terpapar COVID-19 selama periode ini: Mulai dari etnis Asia, warga yang tinggal di lingkungan yang ekonomi rendah, warga yang memiliki jumlah anggota keluarga banyak.

Saksikan Video Berikut Ini:


Kasus COVID-19 Tembus 1 Juta

Seorang pria memakai masker saat melewati London Eye di London, Kamis (29/10/2020). Sekitar 100.000 orang terjangkit virus corona setiap hari di Inggris, menurut studi terbaru Imperial College London. (AP Photo/Frank Augstein)

Pada awal November 2020, Perdana Menteri Boris Johnson memerintahkan Inggris untuk kembali menerapkan lockdown nasional, setelah Inggris melewati 1 juta kasus COVID-19 dan gelombang infeksi kedua yang mengancam akan membanjiri layanan kesehatan.

Mengutip Channel News Asia, Inggris, yang memiliki jumlah kematian resmi terbesar di Eropa akibat COVID-19, bergulat dengan lebih dari 20.000 kasus virus corona baru setiap hari.

Tak hanya itu, para ilmuwan juga telah memperingatkan akan adanya skenario "kasus terburuk" dimana 80.000 kematian dapat terlampaui.

Pada konferensi pers yang diadakan dengan tergesa-gesa di Downing Street setelah isu penerapan lockdown bocor ke media lokal, PM Boris Johnson mengatakan bahwa penguncian selama satu bulan di Inggris akan dimulai pada Kamis pagi mendatang dan berlangsung hingga 2 Desember. 

Dalam beberapa batasan paling berat dalam sejarah Inggris, orang hanya akan diizinkan meninggalkan rumah untuk alasan tertentu seperti pendidikan, pekerjaan, olahraga, berbelanja kebutuhan pokok dan obat-obatan atau merawat orang lain yang rentan.

"Sekaranglah waktunya untuk mengambil tindakan karena tidak ada alternatif," kata Johnson, yang ketika pidatonya diapit oleh kepala petugas medis, Chris Whitty, dan kepala penasihat ilmiahnya, Patrick Vallance. 

"Kecuali jika kita bertindak, kita bisa melihat kematian di negara ini mencapai beberapa ribu sehari."

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya