Liputan6.com, Bangkok- Para pempimpin demonstran anti-pemerintah Thailand hadir di kantor polisi pada 30 November 2020 untuk mendengar dakwaan terkait penghinaan terhadap Raja Maha Vajiralongkorn.
Namun, tuduhan dan dakwaan tersebut disebut tidak akan menyurutkan para demonstran.
Advertisement
Dikutip dari Channel News Asia, Selasa (1/12/2020) dakwaan ini terjadi pertama kalinya dalam lebih dari dua tahun, ketika seseorang didakwa dengan lese majeste, Pasal 112 dalam KUHP Thailand, yang bisa berarti hukuman penjara hingga 15 tahun.
Pengacara hak asasi manusia dan pemimpin demonstran, Arnon Nampa menyampaikan kepada wartawan, "112 adalah undang-undang yang tidak adil. Saya tidak memberikan nilai apa pun," dan melanjutkan, "Saya siap bertarung dalam sistem peradilan".
Arnon datang ke kantor polisi bersama pemimpin demonstrasi lainnya, yakni Panupong "Mike Rayong" Jadnok, Panusaya "Rung" Sithijirawattanakul dan Parit "Penguin" Chiwarak.
"Kami telah mengakui dan membantah tuduhan itu," kata Arnon di kantor polisi.
"Menggunakan angka 112 untuk melawan kami semua menunjukkan kepada dunia dan masyarakat Thailand bahwa monarki sekarang menjadi oposisi politik," sebut Parit.
Terdapat tujuh pemimpin demonstrasi yang menghadapi tuduhan penghinaan terhadap kerajaan.
Mereka dan puluhan demonstran lainnya diketahui telah menghadapi sejumlah tuduhan lain terkait aksi demonstrasi sejak Juli 2020.
Tiga demonstran lainnya, termasuk Patsaravalee "Mind" Tanakitvibulpon, Jutatip Sirikhan, dan Tattep "Ford" Ruangprapaikitseree juga mengatakan via Twitter bahwa mereka menerima panggilan dari polisi pada 29 November.
Saksikan Video Berikut Ini:
Seruan Pembatasan Kekuasaan
Kegiatan demonstrasi telah menjadi tantangan terbesar bagi monarki dalam beberapa dekade karena mereka telah melanggar tabu dengan secara terbuka mengkritik monarki yang harus dihormati menurut konstitusi.
Hingga saat ini, pihak Kerajaan belum menyampaikan komentar sejak aksi-aksi protes dimulai. Ketika ditanya tentang pengunjuk rasa baru-baru ini, raja mengatakan mereka juga dicintai.
Sementara itu, para pengunjuk rasa telah menyerukan agar kekuasaan raja dibatasi sehingga dia jelas bertanggung jawab berdasarkan konstitusi. Mereka pun berusaha untuk membalikkan perubahan yang memberinya kendali atas kekayaan kerajaan dan beberapa unit tentara.
Menurut kritikus monarki, hal itu telah memungkinkan dominasi oleh militer selama puluhan tahun yang telah melakukan 13 kudeta yang berhasil sejak berakhirnya monarki absolut pada tahun 1932.
Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, mantan panglima militer yang menggulingkan pemerintah terpilih pada 2014, sebelumnya mengatakan pada Juli 2020 bahwa dakwaan lese majeste saat ini tidak digunakan atas permintaan raja.
Namun para demonstran mengupayakan pencopotan Prayut. Mereka menuduhnya melakukan rekayasa pemilihan umum pada 2019 untuk tetap memegang kekuasaan. Namun Praut mengatakan pemungutan suara itu adil.
Selain itu, para pengunjuk rasa juga ingin mengganti konstitusi yang dibuat oleh pemerintahan miiliter Prayut dan kemudian diubah oleh raja.
Advertisement