Indonesia Peringkat ke-2 Miliki Bank Berkelanjutan di ASEAN

Indonesia berhasil menempati posisi ke-2 lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) pada 38 bank di ASEAN

oleh Tira Santia diperbarui 01 Des 2020, 14:07 WIB
Ilustrasi bank (Sumber: Istockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berhasil menempati posisi ke-2 lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) pada 38 bank di ASEAN, dalam laporan WWF Sustainable Banking Assessment (SUSBA) edisi ke-4 tentang Kinerja Perbankan Berkelanjutan/Sustainable Banking (SUSBA) Tahun 2020.

Penilaian mencakup 5 bank Jepang, 5 bank Korea Selatan bersama dengan 38 bank di ASEAN termasuk Indonesia. Bank-bank di Indonesia yang dinilai berdasarkan SUSBA yakni Bank Central Asia Tbk (BCA), Bank Mandiri (Persero) Tbk (Mandiri).

Lalu, Bank Muamalat Indonesia Tbk (Muamalat), Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Bank Panin Tbk (Panin), Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank BJB), Bank Permata Tbk (Permata), dan Bank Rakyat Indonesia.

Penanggung jawab untuk program keuangan berkelanjutan Yayasan WWF Indonesia Rizkiasari Yudawinata, mengatakan penilaian SUSBA ini menggunakan kerangka kerja yang mencakup 6 pilar integrasi LST (Tujuan, Kebijakan, Proses, Orang, Produk, dan Portofolio), dan juga fitur baru berupa analisa sektoral dan isu terkait secara lebih mendalam mengenai kebijakan pembiayaan sektoral.

“Sejak 2019 penerapan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51 tentang Keuangan Berkelanjutan yang berlaku bagi bank kategori BUKU 3 dan 4 telah mendorong peningkatan pengungkapan integrasi LST secara lebih merata di sektor perbankan Indonesia, sehingga berhasil menempati posisi ke-2 di lingkup ASEAN,” kata Rizkiasari dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Selasa (1/12/2020).

Lanjutnya, pada tahun ini cakupan penilaian SUSBA diperluas, dengan ditambahnya bank Jepang dan Korsel. Bank-bank di kedua negara tersebut memainkan peranan penting terhadap kegiatan bisnis di Asia Tenggara.

Dibutuhkan keselarasan dan kesetaraan norma dalam penerapan keuangan berkelanjutan di tataran Asia, mengingat ketergantungan dalam hal ekonomi di antara negara-negara di wilayah tersebut.

Keselarasan ini penting untuk memberikan kontribusi yang signifikan untuk menghadapi tantangan pembangunan berkelanjutan, dan membangun daya lenting industri keuangan terhadap risiko perubahan iklim dan degradasi lingkungan.

“SUSBA diharapkan dapat membantu perbankan di wilayah dimaksud untuk meningkatkan kesetaraan penerapan keuangan berkelanjutan,” ujarnya.

Sementara, bank Jepang dinilai lebih baik dari sisi kriteria terkait pengelolaan risiko dan peluang terkait perubahan iklim.

Seluruh bank yang dinilai secara eksplisit telah sejalan dengan rekomendasi Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD) sebuah gugus tugas keuangan berkelanjutan yang dibentuk oleh Financial Stability Board (FSB).

Jepang juga unggul dalam hal pilar Produk, di mana setiap bank mencapai setidaknya 75 persen dari kriteria pilar ini.

“Mereka tidak hanya menawarkan produk keuangan, akan tetapi mempunyai target untuk meningkatkan pembiayaan bahkan secara aktif mendorong kinerja nasabahnya dengan jasa konsultasi maupun kegiatan sosialisasi,” jelasnya.

Sedangkan bank di Korsel unggul dalam pengungkapan visi dan strategi jangka panjang mereka, pada tataran yang sama dengan perbankan di ASEAN.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Masih ada Kekurangan

Ilustrasi Bank Dunia (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Namun secara umum, pengungkapannya masih lemah pada pilar Kebijakan dan Proses dalam hal pengelolaan risiko LST pada kegiatan pembiayaan.

“KB Koomin Bank merupakan satu-satunya bank Korsel yang telah memiliki kebijakan untuk tidak lagi memberikan pembiayaan baru untuk proyek konstruksi pembangkit listrik berbasis batubara,” katanya.

Kendati begitu banyak bank yang telah mengalami perkembangan di tahun ini. Menjaga konsistensi di tahun 2021 merupakan tantangan tersendiri namun penting, mengingat saat ini dunia sedang diguncang oleh pandemi Covid-19 yang datang secara tiba-tiba.

 “Berdasarkan Global Risk Report 2020, kegagalan aksi iklim dan bencana alam merupakan risiko yang tingkat probabilitas terjadinya tergolong tinggi. Terlebih Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap risiko perubahan iklim,” jelasnya.

Oleh karena itu, bank perlu menyadari bahwa momen ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyiapkan strategi bisnis yang berdaya lenting tinggi terhadap tantangan dimaksud.

“Pandemi ini perlu diambil sebagai pelajaran berharga untuk mengoreksi pendekatan kita mengantisipasi terjadinya krisis iklim yang telah lebih awal diprediksi tersebut,” pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya