Liputan6.com, Jakarta - Policy Center ILUNI UI, Fakhrul Fulvian menilai di tahun 2021 sejumlah perusahaan yang kelebihan likuiditas tak akan membutuhkan lagi permodalan. Sehingga mereka tidak akan mengeluarkan obligasi atau surat utang.
"Kondisi di awal tahun 2021 ini sebagian besar perusahaan tidak membutuhkan lagi permodalan," kata Fakhrul dalam Forum Diskusi Salemba bertema: 9 Tahun Peran OJK dalam Menjaga Inklusi Jasa Keuangan Indonesia secara virtual, Jakarta, Kamis (3/12).
Advertisement
Fakhrul menjelaskan kelebihan permodalan tersebut sebagai akibat dari banyaknya nasabah di pasar modal. Sebab perusahaan yang tahun ini masuk dalam kelompok tidak terdampak pandemi menjadi incaran para investor.
Sisi lain kondisi ini didorong juga oleh minimnya jenis instrumen investasi yang membuat masyarakat mengalami kebingungan mengelola keuangannya. Sebab, dalam waktu yang sama, mayoritas bank saat ini juga mengalami kelebihan likuiditas.
"Di kita ini kekurangan instrumen investasi," kata dia.
Bahkan mereka kebanjiran likuiditas karena para nasabahnya lebih memilih menyimpan dana selama pandemi. Sementara itu kredit perbankan mengalami penurunan.
Untuk itu dia menyarankan agar agar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa memberikan kelonggaran kebijakan bagi sektor makro prudensial dan mikro prudensial. Semisal memperbolehkan perusahaan multi finansial melakukan pelelangan surat utang. .
"Bagusnya untuk mengejar makro Prudential yang lebih longgar, misalnya lelang sun di multi finance," kata dia mengakhiri.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
11 Perusahaan Bakal Catatkan Saham Perdana di Bursa pada Desember 2020
Bursa Efek Indonesia (BEI) melaporkan, hingga 1 Desember 2020 terdapat 20 perusahaan yang berencana melakukan pencatatan saham perdana atau Initial Public Offering (IPO).
Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Nyoman Gede Yetna mengatakan, sebanyak 11 perusahaan di antaranya dijadwalkan bakal melepas saham perdananya pada bulan ini.
"Progres terkini, 11 di antaranya diprediksi akan melakukan IPO pada bulan Desember 2020," kata Nyoman dalam pesan tertulisnya, Rabu (2/12/2020).
Secara kategori, ia memaparkan, sebanyak 3 calon emiten merupakan perusahaan dengan aset skala menengah antara Rp 50 miliar sampai dengan Rp 250 miliar. Sementara 8 perusahaan lainnya memiliki aset berskala besar, yakni di atas Rp 250 miliar.
Nyoman merinci, 3 perusahaan berasal dari sektor perdagangan, jasa dan investasi. Lalu dua perusahaan lain datang dari sektor properti, real estate dan konstruksi bangunan.
Sementara 2 perusahaan lain berasal dari sektor industri barang konsumsi, 2 perusahaan dari sektor agrikultur, 1 perusahaan dari sektor aneka industri, dan 1 perusahaan datang dari sektor keuangan.
Sebagai informasi, ada sebanyak 46 emiten baru di Pasar Modal Indonesia pada 2020 ini. Adapun total perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia mencapai 708 emiten.
Advertisement
Tengok Dampak Kebijakan Pemangkasan Bunga Acuan BI ke Bursa Saham
Bank Indonesia (BI) telah memangkas BI 7-day Repo Rate atau suku bunga acuan hingga level 3,75 persen. Pemangkasan bunga acuan ini menjadi salah satu cara mendorong pertumbuhan ekonomi yang telah mengalami tekanan akibat Pandemi Corona Covid-19. Namun sayangnya, pemangkasan suku bunga acuan ini berdampak pada diskon harga saham.
Direktur Sales dan Produk PT Mandiri Manajemen Investasi Endang Astharanti mengatakan, penurunan bunga acuan dilakukan Bank Indonesia dalam rangka memberikan stimulus sektor moneter.
"Pemerintah baik itu global atau nasional melakukan upaya akselerasi perekonomian, salah satunya memberikan stimulus moneter," kata kata Asti sapaannya dalam diskusi Woman Virtual Live Event bertajuk: Save, Spend or Invest?, di Jakarta, Rabu (25/11/2020).
Asti menjelaskan penurunan suku bunga acuan ini bertujuan untuk mendorong para pengusaha mengambil kredit sebagai modal usaha sehingga bisnis bisa berjalan kembali. Dengan begitu, roda perekonomian kembali bergerak.
Namun penurunan suku bunga acuan ini sangat berdampak pada instrumen investasi berupa deposito. Imbal hasil investasi ini ikut mengalami penurunan. "Karena penurunan suku bunga ini untuk instrumen deposito ini return-nya mengalami penurunan ," kata Asti.
Begitu juga dengan saham yang terjun sampai 15 persen. Sebab instrumen investasi saham mengikuti ekspetasi pertumbuhan ekonomi atau gerak emiten yang ada di bursa saham.
Dari kaca mata invetasi, menurut Asti dalam kondisi ini sebaiknya harus dimanfaatkan. Penurunan saham hingga 15 persen harus dijadikan sebagai kesempatan membeli.
"Sekarang kita beli di harga murah ini beli harga diskon 15 persen. Walaupun saham sedang mengalami penurunan tapi kita punya kesempatan beli di harga murah," kata dia.
Harapannya, lanjut Asti, perekonomian nasional tahun depan akan membaik dengan kehadiran vaksin. Sehingga harga saham kembali naik.
"Harapannya 2021 dengan ditemukannya vaksin ini perekonomian mulai pick up lagi, harga saham naik," kata dia mengakhiri.
Infografis Protokol Kesehatan
Advertisement