Jual Nikel Tak Sesuai Kualitas, Sanksi Izin Usaha Menanti

Tim satgas HPM Nikel telah menerima banyak laporan komplain dari pihak pembeli terhadap pihak surveyor.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Des 2020, 13:22 WIB
Nikel lagi-lagi mencatatkan trend kenaikan harga yang positif selama tahun 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Pelaksana Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel, Septian Hario Seto menyampaikan bahwa tim satgas HPM Nikel telah menerima banyak laporan komplain dari pihak pembeli terhadap pihak surveyor.

Laporan ini terkait kegiatan transaksi dan verifikasi mineral logam, khususnya nikel.

"Pihak penjual telah melaporkan adanya perselisihan dalam hasil verifikasi kualitas dan kuantitas bijih nikel yang dikeluarkan oleh pihak surveyor. Keluhan lain yang juga diterima adalah pihak surveyor memakan waktu yang sangat lama dalam menerbitkan Certificate of Analysis (COA)," ujar dia dalam keterangannya, Kamis (3/12/2020).

Sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020, apabila terdapat perbedaan hasil verifikasi kualitas mineral logam antara Pemegang IUP(K) Operasi Produksi Mineral Logam dengan pihak pembeli di dalam negeri, maka penentuan kualitas mineral logam mengacu pada hasil pengujian yang dilakukan oleh pihak ketiga yang disepakati bersama sebagai wasit (umpire).

"Setiap kegiatan pelaksanaan jual beli dan verifikasi kualitas bijih nikel harus mengikuti standar internasional dan jika ada dispute harus menggunakan mekanisme yang diatur dalam Permen ESDM dengan menggunakan wasit. Sehingga, kita akhirnya mengundang seluruh surveyor untuk meminta penjelasan dan menegaskan kembali aturan yang ada di Permen ESDM," tambah Seto.

Untuk itu, pihaknya menegaskan bahwa seluruh permasalahan antara surveyor dengan pihak penjual yang saat ini ada harus sudah selesai dalam satu minggu ke depan. Begitu pula dengan COA yang masih belum terbit diluar jangka waktu periode dalam kontrak, harus segera diterbitkan dalam kurun waktu satu minggu.

"Tidak boleh ada kesalahan dalam COA, semua harus diselesaikan sesuai target timeline. Kami selaku Tim Satgas akan terus monitor perkembangan aktivitas para surveyor. Apabila ditemukan kesalahan yang disengaja, maka kami tidak akan segan merekomendasikan pencabutan izin operasi," ucap Seto mengakhiri.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Gandeng CNI, WIKA Percepat Pembangunan Proyek Strategis Nasional Smelter Ferronickel

Ilustrasi Nikel

PT Wijaya Karya (WIKA) menandatangani kontrak kerjasama dengan PT Ceria Metalindo Indotama (CMI), entitas anak PT Ceria Nugraha Indotama (CNI) dalam proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) produksi 3 dan 4 (2 x72 MVA).

WIKA telah mendapat kepercayaan sebagai pelaksana proyek tersebut berdasarkan evaluasi administrasi, teknis, harga, kualifikasi dan verifikasi oleh PT CNI. Adapun, nilai kontrak yang diraih dari kesepakatan ini mencapai Rp 2,8 triliun dan USD 180,39 juta.

"WIKA menyambut positif kepercayaan besar yang diberikan oleh PT Ceria Nugraha Indotama. Insha Allah, proyek ini dapat selesai tepat waktu dengan kualitas yang memuaskan dan bisa menjadi titik ungkit kebangkitan industri berbasis mineral di tanah air dan dunia," ujar Direktur Utama WIKA, Agung Budi Waskito dalam sambutannya, Minggu (29/11/2020).

Pabrik Feronikel tersebut akan terdiri dari dua lajur produksi, dimana masing-masing lajur akan ditunjang dengan fasilitas produksi utama yaitu: Rotary Dryer berkapasitas 196 ton/jam (wet base), Rotary Kiln berkapasitas 178 ton/jam (wet base), Electric Furnace berkapasitas 72 MVA serta peralatan penunjang lainnya dengan target penyelesaian proyek pada tahun 2023 dan mampu mencapai kapasitas produksi sebesar 27.800 ton Ni/year (Ferronickel 22 persen Ni).

Selain CMI, entitas anak dari CNI yang juga melakukan tanda tangan kerja sama dengan WIKA adalah PT Ceria Kobalt Indotama (CKI). Kerjasama keduanya berfokus pada sinergi EPC proyek nikel Laterite Hydrometallurgy beserta power plant dengan estimasi nilai kontrak sebesar USD 1,1 miliar.

Proyek pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian kobalt dengan teknologi (HPAL) yang menjadi inti pada kerja sama tersebut diproyeksikan memiliki kapasitas produksi per tahun sebesar 100.000 ton/tahun Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) (40 persen Ni dan 4 persen Co dalam MHP) dan 158.000 ton/tahun konsetrat Chromium.

Fasilitas produksi utama pada pabrik tersebut adalah Ore preparation facility dan Hydrometallurgical plant berkapasitas 3,6 juta ton per tahun (dry base), Limestone treatment plant berkapasitas 770 ribu ton per tahun (wet base).

Kemudian Sulfuric Acid Plant berkapasitas 550 ribu ton per tahun, Residue storage facilites berkapasitas 970 ribu ton tailing serta peralatan penunjang lainnya.

Rencananya Proyek yang berlokasi di Wolo, Kolaka, Sulawesi Tenggara ini akan berlangsung selama 36 bulan kalender kerja. Lingkup pekerjaan Perseroan meliputi engineering, procurement, construction, commisioning, dan financing.

"Semoga dengan ditandatanganinya kontrak strategis ini, PT CNI bisa mengoptimalkan besarnya potensi nikel di dalam negeri dan menjadikan industri hulu dan hilir nikel sebagai sektor yang diprediksi bakal prospektif dalam beberapa tahun ke depan," ujar Direktur Utama CMI Derian Sakmiwata.

Sebagai informasi, proyek pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian nikel dalam pengoperasiannya kelak akan menggunakan rute Rotary Kiln – Electric Furnace yang sudah terbukti (proven) untuk mengolah bijih nikel kadar 1,59 persen Ni menjadi ferronickel dengan kadar 22 persen.

Berbeda dengan pabrik nikel di Indonesia pada umumnya yang menggunakan electric furnace tipe circular, pabrik ini menggunakan electric furnace tipe rectangular yang memiliki keunggulan, antara lain, pertama, memiliki konsumsi energi/ton atau kWh/ton yang lebih efisien karena menggunakan desain electrode yang tercelup slag (submerged).

Kedua, memiliki service life yang lebih lama karena fleksibilitas struktur rectangular yang sangat baik mengatasi masalah ekspansi furnace. Ketiga, Memiliki tingkat recovery Ni yang lebih baik, melalui bagian slag settling yang diperpanjang oleh dimensi rectangular.

Sementara, pada proyek dengan CKI, teknologi yang akan digunakan adalah teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang sudah terbukti (proven) untuk mengolah bijih nikel limonit kadar 1,25 persen Co and 0,13 persen Ni menjadi Mixed Hydroxide Precipitate dengan kandungan 40 ribu ton nikel per tahun dan 4 ribu ton kobalt per tahun sebagai bahan baku komponen baterai kendaraan listrik. Produk sampingan (byproduct) yang bernilai ekonomis dari HPAL plant ini adalah konsentrat Kromium sebesar 158 ribu ton per tahun.

Teknologi HPAL mampu menyerap mineral berharga dari bijih nikel kadar rendah (limonit) seperti kobalt dan nikel. Langkah ini ekonomis karena konsumsi energi yang rendah, sehingga meminimalisir biaya operasional (opex) dan memiliki tingkat perolehan (recovery) nikel dan kobalt mencapai 90 persen.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya