Liputan6.com, Jakarta Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri menilai derasnya impor garam hanyalah permainan politik belaka. Terlihat dari peningkatan impor garam di tengah meningkatnya juga produksi garam dalam negeri. Sementara kebutuhan garam dalam negeri tetap stabil.
"Impor ini tidak sesuai dengan kebutuhan, artinya ada garam yang merembes," kata Faisal Basri dalam Webinar bertajuk Mampukah Indonesia Swasembada Garam?, Jakarta, Kamis (3/12/2020).
Advertisement
Faisal mengatakan pada tahun 2018 terjadi bagi-bagi kuota impor garam. Saat itu, keran impor yang dibuka mencapai 3,8 juta ton. Akibatnya kuota yang ada tidak terserap dan tidak terpakai semua.
"Airlanggan Hartarto, Menteri Perindustriannya, kuota yang diberikan sehingga produksi dari petani ini tidak terserap," kata dia.
Dia melanjutkan saat itu sempat terjadi ketegangan di antara para menteri. Susi Pudjiastuti yang kala itu menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pun menjadi bulan-bulanan menteri yang lainnya.
"Menteri-menteri mengeroyok Bu Susi. Pak Luhut, Pak Darmin ini sebut sumber masalahnya Bu Susi. Akhirnya Bu Susi-nya mental," kata dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Menteri Tak Sanggup
Tak hanya Susi, Faisal menyebut banyak menteri yang mental karena kasus impor garam. Salah satunya Mari Elka Pangestu yang sempat menjadi Menteri Perdagangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Jadi banyak menteri yang mental karena masalah impor garam ini, dulu Ibu Mari Pangestu juga mental," kata dia.
Sehingga menurut Faisal, masalah produksi garam di Indonesia bukan semata kemampuan petani memproduksi garam. Melainkan campur tangan politik yang ikut bermain demi kepentingan kelompok tertentu. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas lainnya, seperti gula hingga benih lobster.
"Jadi persoalannya di politik, garam ini jadi komoditas untuk bagi-bagi rente dan ini yang tidak selesai-selesai," kata dia mengakhiri.
Advertisement