Lewat UU Cipta Kerja, Pengurusan Sertifikasi Halal Dipangkas Jadi 21 Hari

Sebelumnya dalam UU No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal, mengatur proses sertifikasi halal produk dalam negeri mencapai 97 hari

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Des 2020, 13:48 WIB
Kopi Kenangan jadi kopi susu kekinian pertama yang dapat sertifikasi halal (Foto: Kopi Kenangan)

Liputan6.com, Jakarta - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) memberikan kepastian hukum mengenai proses penyelesaian sertifikasi halal. Jangka waktu sertifikasi untuk produk dalam negeri dan luar negeri dibatasi hanya 21 hari kerja.

"Dari sisi waktu Undang-Undang Cipta Kerja ini dibatasi betul menjadi 21 hari kerja," kata Sekretaris Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Kementerian Agama, Lutfi Hamid, dalam acara Serap Aspirasi: Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Industri, Perdagangan, Haji dan Umroh serta Jaminan Produk Halal Edisi Semarang, secara virtual, Jakarta, Jumat (4/12/2020).

Namun dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait jaminan produk halal diberikan waktu toleransi penyelesaian proses sertifikasi. Untuk produk dalam negeri diberi batas toleransi maksimal 10 hari kerja dan 15 hari kerja untuk produk luar negeri.

Tambahan waktu ini dinilai sudah cukup lantaran beberapa negara di ASEAN juga melakukan sertifikasi produk halal dalam waktu yang tidak lama. "Toleransi ini sangat cukup karena benchmark ini ada di Singapura, Malaysia, dan Singapura, artinya negara lain melakukan sertifikasi dengan cepat," kata Lutfi.

Sebelumnya, dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, mengatur proses sertifikasi produk dalam negeri butuh 97 hari. Sedangkan untuk produk luar negeri selama 170 hari.

Di dalam undang-undang ini pun tidak mengatur sanksi bila proses sertifikasi menjadi molor dari batas waktu yang telah ditentukan. Maka, kata Lutfi, Undang-Undang Cipta Kerja memberikan kepastian hukum yang lebih terang dalam proses sertifikasi produk halal.

"Layanan sistem Jaminan Produk Halal dapat memberikan kepastian hukum, akuntabilitas dan keterukuran bagi para pelaku usaha dalam pengurusan sertifikat halal mengingat sertifikat halal dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini BPJPH," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Saksikan video pilihan berikut ini:


MUI Tak Lagi Dilibatkan dalam Sertifikasi Halal

Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Jakarta (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Sebelumnya, Lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pemerintah memberikan kemudahan bagi pelaku usaha untuk mendapatkan sertifikasi produk halal. Pengajuan sertifikasi produk halal pun tak lagi ditangani Majelis Ulama Indonesia (MUI), melainkan bisa dilakukan lembaga sertifikasi yang didirikan perguruan tinggi atau organisasi masyarakat.

Sekertaris (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) BPJHP, Kementerian Agama, Lutfi Hamid mengatakan undang-undang sapu jagat ini menjadikan MUI sebagai lembaga yang memberikan fatwa halal kepada produk.

"Undang-Undang Cipta Kerja ini tetap menjadikan MUI sebagai lembaga yang memberikan fatwa halalnya," kata Lutfi dalam acara Serap Aspirasi: Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Industri, Perdagangan, Haji dan Umroh serta Jaminan Produk Halal Edisi Semarang, secara virtual, Jakarta, Jumat (4/12).

Lutfi menceritakan, di media sosial banyak tersebar informasi yang mendiskreditkan pemerintah karena mengeluarkan kebijakan ini. Pemerintahan dianggap hanya berorientasi kepada industri dan kepentingan pelaku usaha.

Sehingga mengabaikan aspek kehalalan produk dan menghilangkan substansi dari sertifikasi produk halal. Dia menegaskan dalam UU Cipta Kerja dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tetap menjaga substansi kehalalan produk.

"Secara tegas, kami menolak atau memberikan jawaban bahwa jaminan produk halal dalam Undang-Undang Cipta Kerja atau penyusunan RPP ini tetap menjaga kehalalan produk," kata dia.

"Kita selalu menjunjung tinggi kehalalan produk," sambung dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya