Cerita Akhir Pekan: Liburan di Antara Pandemi Corona Covid-19 dan Bencana

Apa dampak pengurangan hari liburan akhir tahun bagi dunia wisata, dan benarkah itu memang keputusan yang tepat di masa pandemi corona Covid-19 ini?

oleh Henry diperbarui 02 Jan 2021, 04:05 WIB
Pengunjung melintasi akses jalan di kawasan wisata Gunung Bunder, Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/11/2020). Meskipun pandemi covid-19 belum berakhir, namun sejumlah lokasi wisata mulai dipadati pengunjung dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta -  Liburan akhir tahun dan cuti bersama akhirnya dipangkas sebanyak tiga hari. Hal itu dilakukan demi menekan potensi penyebaran corona Covid-19.  Hari libur akhir tahun yang dihapuskan berada di tanggal 28, 29 dan 30 Desember 2020.

Hal ini ditetapkan setelah melalui rapat bersama dengan kementerian/lembaga teknis. Mulai dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB), Menteri Agama (Menag), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Kepala Staf Presiden serta pihak Polri. Lalu, apakah kebijakan tersebut akan efektif menekan angka kasus positif corona dan apa imbasnya pada bidang pariwisata?

Ditambah lagi, di beberapa daerah terjadi bencana alam yang membuat sejumlah tempat pariwisata kembali ditutup untuk sementara. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) sudah menyatakan mendukung kebijakan apapun yang diambil Presiden Jokowi.

"Kita semua sudah sepakat kalau keputusan memangkas hari libur akhir tahun selama tiga hari adalah langkah yang terbaik. Apa pun yang diputuskan Presiden tentunya sudah lewat pertimbangan yang matang dan demi kepentingan masyarakat banyak terutama untuk kesehatan masyarakat," ucap Juru Bicara Kemeparekraf Prabu Revolusi kepada Liputan6.com Jumat, 4 Desember 2020.

"Bagi kita di Kemenparekraf, pariwisata harus tumbuh atas dasar masyarakat yang sehat dan aman. Pariwisata bisa berjalan dan berkembang kalau masyarakatnya sehat, semua pelakunya sehat, jadi kesehatan tetap yang utama," lanjutnya.

Prabu menambahkan, Kemenparekraf memahami keinginan masyarakat yang ingin berwisata dan pelaku wisata yang sudah banyak kekurangan dan bahkan kehilangan pemasukan karena dampak pandemi. Kesehatan memang harus diutamakan, karena banyak yang tidak sehat maka pariwisata akan semakin terpuruk nantinya. Masyakarat maupun pelaku wisata juga masih bisa merasakan liburan karena masih tetap ada dua libur panjang yaitu saat Natal dan Tahun Baru 2021.

"Hari libur Natal bisa dibilang cukup panjang karena tetap ada cuti bersama di 24 Desember lalu 26 dan 27 pas hari Sabtu dan Minggu. Begitu juga liburan akhir tahun, tanggal 31 Desember tetap cuti bersama dan tanggal 2 dan 3 juga pas hari Sabtu dan Minggu, jadi tetap ada dua hari libur yang cukup panjang," terang Prabu Revolusi.

Bagi yang ingin berwisata, Prabu menambahkan, jangan lupa menjalankan dan mematuhi protokol kesehatan. "Meningkatnya kasus positif corona ini karena kesalahan kita sendiri, banyak dari kita yang tidak disiplin menjalankan protokol kesehatan. Jadi supaya tidak terulang lagi, patuhi protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Pengelola wisata juga lebih ketat dan tegas dalam menerapkan protokol kesehatan, ya kita saling mengingatkan supaya semuanya berjalan dengan baik," tutur Prabu.

Selain itu, Kemenparekraf juga telah memberikan insentif kepada sejumlah pelaku wisata agar mereka bisa bertahan di masa pandemi ini. Tentang bencana alam yang sedang terjadi di beberapa daerah, seperti di Gunung Merapi (perbatasan Yogyakarta-Jawa Tengah) dan Gunung Semeru (Jawa Timur), Kemenparekraf juga mendukung penutupan sementara beberapa tempat wisata di sana.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Kepatuhan Menurun Saat Liburan

Liburan di Antara Pandemi Corona Covid-19 dan Bencana. foto: Youtube 'BNPB Indonesia'

"Kalau ada bencana alam ya beberapa tempat di sekitarnya termasuk kawasan wisata memang harus ditutup. Iya bersabar saja dan berdoa semoga bencana cepat berlalu. Lalu pilih tempat wisata lainnya yang lebih aman dari bencana, kan negara kita ini punya banyak tempat wisata yang menarik dan indah" lanjut Prabu Revolusi.

Meningkatnya kasus positif corona Covid-19 tentunya membuat Satgas Covid-19 sangat prihatin dan mendukung kebijakan pengurangan hari libur Natal dan Tahun Baru 2021.Dalam pesan elektronik pada Jumat, 4 Desember 2020, menurut Satgas Covid-19, pemangkasan hari libur pasti akan mengurangi potensi kerumunan.

Bagi mereka yang ingin tetap berlibur, disarankan untuk mengunjungi tempat wisata yang lebih sepi pengunjung atau menjalani staycation, dan akan lebih baik lagi kalau melakukan tur virtual dan tetap di rimah saja. Menurut Juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, Prof Wiku Adisasmito, adanya libur panjang telah menyebabkan kasus corona di Indonesia mengalami kenaikan hingga mencapai 50-100 persen.

"Naiknya antara 50 sampai lebih dari 100 persen. Sebelumnya kita belum pernah mencapai 5.000 kasus dalam sehari, tapi sekarang sudah banyak pecah rekor dari 6 ribu sampai yang terbaru 8 ribu kasus dalam sehari, ini benar-benar angka yang tidak bisa ditolerir," terang Prof Wiku dalam konferensi pers di Graha BNPB, Jakarta, yang disiarkan melalui akun Youtube BNPB Indonesia pada Jumat, 4 November 2020.

Prof Wiku menjelaskan, sejak pandemi erjadi Indonesia, sedikitnya ada tiga agenda libur panjang yang dijalani masyarakat.Dari dampak libur panjang ini, kenaikan kasus bahkan bisa terus terjadi antara 10 sampai 14 hari berikutnya. Selain itu, kasus tersebut juga bisa bertahan antara satu hingga dua pekan berikutnya.

"Dari data yang ada, libur panjang jadi momen melonjaknya kasus positif corona karena banyak yang tidak mematuhi protokol kesehatan terutama memakai masker dan menjaga jarak. Kasus paling banyak terjadi karena banyaknya kerumunan di restoran atau kedai (30,8 persen), lalu disusul di rumah, tempat olahraga umum/RPTRA, jalan umum dan tempat wisata," terangnya.


Kurangi Mobilitas

Abu tipis terdistribusi di beberapa wilayah sekitar lereng Gunung Merapi. (Foto: Humas BNPB)

Untuk menekan penularan kasus, Wiku mengingatkan masyarakat agar patuh menerapkan protokol kesehatan. Ia kembali menegaskan, Satgas Covid-19 mendukung pemangkasan waktu libur Natal dan akhir tahun dan menyarankan masyarakat agar lebih baik berada di rumah saja atau setidaknya di dalam kota.

"Kurangi mobilitas lakukan perjalanan yang seperlunya saja. Ini memang sulit tapi lamgkah ini merupaakan bentuk perlindungan terhadap diri sendiri maupun orang-orang terdekat," ucap Prof Wiku.

Sementara itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta tidak terlalu kaget dengan kebijakan tersebut karena tidak akan terlalu mempengaruhi tingkat hunian hotel dan pengunjung restoran di Jakarta. Pihaknya juga sudah mengantisipasi akan keluarnya keputusan pemotongan hari libur tersebut.

"Biasanya liburan natal dan akhir tahun Jakarta memang agak sepi karena banyak yang pergi ke luar Jakarta. Sebenarnya bukan keputusan pengurangan hari libur yang kita khawatirkan, kita lebih takut dengan kemungkinan adanya pemberlakuan kembali PSBB ketat di Jakarta," terang Krishnadi pada Liputan6.com, beberapa hari lalu.

Ia menambahkan, keputusan itu mungkin akan lebih berpengaruh di daerah lain di Indonesia terutama yang punya banyak tempat wisata. Begitu pula dengan daerah-daerah yang harus menutup tempat wisata untuk sementara karena dekat dengan kawasan yang mengalami bencana alam.

Meski begitu, ia meyakini wisatawan akan tetap banyak menyambangi berbagai destinasi wisata karena akhir tahun memang sudah identik dengan liburan. Krishandi pun berharap semua pihak mematuhi aturan yang sudah ditetapkan pemerintah untuk bisa mengurangi kasus positif Covid-19.


Kelalaian Wisatawan

Wisatawan yang mengenakan masker mengendarai motor atv mengelilingi Pantai Anyer di Cilegon, Banten, Minggu (25/10/2020). Akhir pekan dimanfaatkan warga Jakarta dan sekitarnya untuk berwisata dengan tetap menerapkan protokol kesehatan Covid-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

"Jangan lagi ada kerumunan, patuhii aturan-aturan yang sudah ditetapkan, ini perlu kerjasama semua pihak bukan hanya pemerintah saja. Kita harus saling mengingatkan. Pengelola tempat wisata termasuk juga hotel dan restoran harus konsisten menerapkan protokol kesehatan dan wisatawan juga harus patuh dan mengikuti aturan dengan baik," ucap Krishandi.

Pendapat itu juga didukung oleh pengamat pariwisata Robert Alexader Moningka. Menurut pria yang juga mengajar di Politeknik Sahid ini, tentu ada dampak dari pengurangan hari libur tapi tidak akan terlalu signifikan.

"Sepertinya akan lebih berdampak pada akomodasi, yang biasanya sudah mempersiapkan paket khusus libur panjang jadi harus memodifikasi paket mereka. Sedangkan bagi wisatawan mungkin akan merasa ‘rugi’ karena waktu libur berkurang atau 'putus' di tengah," ujarnya pada Liputan6.com, Jumat, 4 Desember 2020.

Namun sebagai pengamat, Robert mengatakan kalau ini adalah akibat dari kelalaian wisatawan sendiri. Belajar dari libur panjang kemarin, pengabaian protokol kesehatan mengakibatkan jumlah yang terpapar corona Covid-19 meningkat. Hal itu membuat sejumlah daerah yang sudah relatif membaik, kembali menjadi zona merah

"Saya pribadi setuju dengan kebijakan yang diambil, ini supaya kita bisa lebih displin dan konsisten dalam menerapkan protokol kesehatan. Penumpukan wisatawan di satu daerah akan sulit dihindari, apalagi kalau mereka tak mau diperingatkan. Kalau ditegur bisa timbul masalah lagi. Jadi, lebih baik dicegah dari jauh hari dengan memangkas hari libur," pungkasnya.


Dilema Libur Panjang Akhir Tahun 2020

Infografis Dilema Libur Panjang Akhir Tahun 2020 (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya