Kisah 2 Menteri Terjerat Kasus Korupsi di Tangan KPK

KPK membuktikan masih bergigi tajam dengan menangkap dua menteri dalam waktu berdekatan. Mereka diduga menerima suap dalam kasus yang berbeda.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 06 Des 2020, 09:11 WIB
Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuktikan masih bergigi tajam dengan menangkap dua menteri dalam waktu berdekatan. Mereka yakni Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo serta Menteri Sosial Juliari Batubara.

Keduanya diduga menerima suap dalam kasus yang berbeda.

Pada Rabu 25 November 2020 dini hari, KPK menangkap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Dia ditangkap saat kembali dari Honolulu, Hawai, Amerika Serikat.

"Tadi malam Menteri KKP diamankan KPK di bandara 3 Soetta saat kembali dari Honolulu," ujar Ketua KPK Komjen Firli Bahuri kepada Liputan6.com, Rabu (25/11/2020).

Menteri Edhy Prabowo ditangkap karena dugaan tindak pidana korupsi terkait ekspor benih lobster.

"Yang bersangkutan diduga terlibat korupsi dalam penetapan izin ekspor baby lobster," kata Firli.

Satgas KPK juga mengamankan 16 orang lainnya dalam operasi tangkap tangan (OTT) tersebut. Penangkapan dilakukan di Jakarta, Depok, dan Bandara Soekarno-Hatta.

KPK kemudian bergerak cepat dengan menggeledah sejumlah tempat. Salah satunya rumah dinas Edhy Prabowo. Penggeledahan dilakukan pada Rabu 2 Desember 2020. 

"Rabu (2/12/2020) tim penyidik KPK melakukan penggeledahan di rumah jabatan Menteri Kelautan dan Perikanan di Jalan Widya Chandra V Jakarta," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis 3 Desember 2020.

Saat penggeledahan, penyidik menemukan delapan unit sepeda yang diduga berasal dari uang suap. Selain sepeda, tim penyidik menemukan uang dengan total Rp 4 miliar di rumah dinas Edhy Prabowo.

"Ditemukan dan diamankan antara lain sejumlah dokumen terkait perkara ini, BB elektronik dan 8 unit sepeda yang pembeliannya diduga berasal dari penerimaan uang suap. Ditemukan juga sejumlah uang dalam bentuk rupiah dan mata uang asing dengan total senilai sekitar Rp 4 miliar," kata Ali.

Ali mengatakan, tim penyidik KPK bakal menganalisis temuan-temuan di rumah dinas Edhy Prabowo tersebut untuk kemudian disita dan dijadikan barang bukti dalam kasus ini.

Edhy Prabowo yang saat ini berstatus sebagai menteri nonaktif, mengakui telah berbelanja sejumlah barang mewah dalam kunjungannya ke Hawai.

Hal tersebut diakuinya saat diperiksa tim penyidik di Gedung KPK, Kuningan, Kamis (3/12/2020). Edhy mengatakan, dalam pemeriksaan ini, tim penyidik mencecar mengenai berbagai barang mewah yang dibeli Edhy Prabowo dan istrinya Iis Rosita Dewi saat kunjungan kerja ke Hawaii.

"Saya dikonfrontasi dengan bukti-bukti. Sudah saya akui semuanya. Barang-barang yang saya belanjain di Amerika itu. Baju, apa, semuanya," ujar Edhy.

Edhy berjanji kooperatif terhadap penyidik di KPK. Dia memastikan akan mengikuti proses hukum yang berjalan di KPK.

"Ya saya diperiksa. Saya ikuti. Mohon doanya saja," kata dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Penangkapan Mensos

Menteri Sosial Juliari P Batubara tiba di Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020). Juliari Batubara ditetapkan sebagai tersangka dugaan menerima suap terkait pengadaan bantuan sosial COVID-19 di Kementerian Sosial usai Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Kemensos. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pada Sabtu 5 Desember 2020 dini hari, KPK menangkap tangan sejumlah orang di Bandung dan Jakarta terkait korupsi bansos Covid-19. Kemudian, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka dalam kasus ini.

Salah satunya adalah Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara, meski dia tak ikut tertangkap tangan.

Mensos Juliari Batubara bersama Matheus Joko Santoso sebagai pejabat pembuat komitmen di Kemensos dan Adi Wahyono, ditetapkan sebagai terduga penerima suap. Dua orang lainnya sebagai pemberi yakni Ardian IM dan Harry Sidabuke. Keduanya dari pihak swasta.

 Juliari diduga menerima fee sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu.

Ketua KPK Komjen Firli Bahuri mengatakan, penerimaan suap terhadap Juliari bermula dari pengadaan bansos penanganan Covid-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun untuk total 272 kontrak. Kontrak ini dilaksanakan dengan dua periode.

Untuk memuluskan itu, Juliari menerima fee dari tiap-tiap paket bansos.

"Untuk fee tiap paket bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp 10 ribu perpaket sembako dari nilai Rp 300 ribu perpakat bansos," ujar Firli di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari.

MJS adalah Matheus Joko Santoso yang merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos dan AW adalah Adi Wahyono. Firli mengatakan, Matheus dan Adi pada Mei sampai November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.

"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB (Juliari) dan disetujui oleh AW," ujar Firli soal dugaan korupsi Juliari.

Firli menyebut, pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, Juliari diduga telah menerima fee sebesar Rp 8,2 miliar dari total uang Rp 12 miliar yang diterima oleh Matheus. Uang untuk Juliari diberikan Matheus melalui Adi Wahyono.

Menurut Firli, pemberian uang tersebut dikelola oleh seseorang bernama Eko dan Shelvy N selaku sekretaris di Kemensos yang juga orang kepercayaan Juliari. Uang itu digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.

Sementara untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos ini terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sekitar Rp 8,8 milir. Firli menduga uang tersebut juga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.

Juliari dijerat sebagai tersangka pasca operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Matheus dan Shelvy. Juliari sendiri tak terjaring dalam operasi senyap tim penindakan ini. KPK pun sempat mengultimatum Juliari agar kooperatif terhadap penegak hukum.

Tak lama setelah ancaman itu dimunculkan KPK, Juliari akhirnya menyerahkan diri pada dini hari sekitar pukul 02.50 WIB. Juliari menyerahkan diri dan langsung naik ke ruang pemeriksaan.

Tak ada komentar yang disampaikan oleh Juliari saat menyerahkan diri. Dia hanya melambaikan tangan. Tim penyidik pun langsung memeriksa intensif Juliari sebelum akhirnya ditahan.

 


Bukti KPK Tak Tebang Pilih?

KPK dalam kepemimpinan Firli diragukan oleh sejumlah pihak. KPK dituding tak bertaji karena mengungkap kasus-kasus kecil di awal perjalanannya.

Firli mengatakan, KPK tak akan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, dia berjanji KPK bekerja tak hanya sampai di bidang bantuan sosial.

"Kita tidak mengatakan terbatas dalam bantuan sosial saja, tetapi setiap tindak pidana korupsi. Tentu tidak akan lepas dari pekerjaan KPK, jadi kita sangat tegas, apapun bentuknya. Selama itu tindak pidana korupsi, pasti akan kita lakukan penyelidikan dan penyidikan sehingga kita tahu betul telah terjadi suatu peristiwa pidana berdasarkan bukti permulaan, kita akan terus bekerja," tutur Firli, Rabu (6/12/2020).

Sebelumnya, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fikar Hajar melihat masih ada semangat independensi di level penyidik dengan penangkapan Menteri Edhy Prabowo. Namun, Fikar mengaku kecewa dengan pernyataan Firli Bahuri saat itu yang justru mengatakan penangkapan Edhy Prabowo hanya untuk dimintai keterangan terkait dugaan korupsi ekspor benur.

"Kan konyol pernyataan seperti ini meskipun benar. Tetapi logikanya ditangkap itu OTT sudah ada buktinya. Inilah buktinya KPK dilemahkan dengan UU-nya, termasuk oleh pimpinannya," ujar Fikar kepada Liputan6.com, Rabu 25 November 2020.

Ahli Hukum Pidana Miko Ginting menilai kasus ekspor benih benur yang melibatkan Edhy Prabowo ini masuk dalam skala tindak pidana korupsi yang besar. Oleh karenanya, kerja penyidik KPK perlu diapresiasi. 

Dengan penangkapan ini, Miko menilai taji KPK terlihat hanya ada pada level penyelidik dan penyidik saja. Untuk itu Miko berharap pimpinan KPK dapat memberikan dukungan penuh kepada para penyidik. 

"Penyidik KPK punya keleluasaan sendiri dalam mengembangkan perkara dan kemudian melakukan operasi tangkap tangan. Oleh karena itu, taji KPK, sebagaimana pada era-era sebelumnya, masih berada pada penyelidik dan penyidik," ujar Miko kepada Liputan6.com.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya