Liputan6.com, Jakarta – Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan pantai terpanjang kedua di dunia. Tidak berlebihan jika Presiden Joko Widodo dalam acara Our Ocean Conference (OOC) 2018 yang digelar di Bali menyebut bahwa laut adalah masa depan Indonesia.
Laut yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia bukanlah pemecah, tapi justru pemersatu. Laut bukanlah kendala kesejahteraan, tapi justru sumber kemakmuran.
Sayangnya, mayoritas pola pikir masyarakat Indonesia masih menganggap laut sebagai “problem”. Hal ini membuat fokus pembangunan—dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik—masih terpusat di daratan. Sebagai warga negara kepulauan, pola pikir kita adalah pola pikir masyarakat agraris.
Baca Juga
Advertisement
Untuk itu, upaya mengubah pola pikir masyarakat Indonesia dari berperspektif agraris menjadi berperspektif bahari mendesak dilakukan. Perubahan pola pikir ini diharapkan lambat laun akan membentuk tradisi bahari dalam masyarakat kita.
Tradisi yang membuat kita bisa mencintai laut: memberi perhatian lebih besar pada peningkatan kapasitas nelayan maupun masyarakat pesisir, menaruh kepedulian pada pelestarian ekosistem laut, dan tidak meremehkan kedaulatan wilayah laut kita.
Saat Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaya pada 13 Desember 1957 mengumumkan kepada dunia bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan, butuh perjuangan 25 tahun untuk membuat dunia akhirnya mengakui bahwa luas wilayah Republik Indonesia adalah 5.193.250 km²--bertambah dua kali lipat dari luas wilayah yang ditetapkan oleh Peraturan Hindia Belanda tahun 1939.
Di bawah peraturan bertajuk Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939, luas wilayah Indonesia, di luar Papua, hanya 2.027.087 km² karena setiap pulau di wilayah Nusantara hanya memiliki laut sejauh 3 mil dari garis pantai. Sejak deklarasi Djuanda maka kedaulatan wilayah Indonesia membentang dari daratan dan laut, termasuk laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan.
Deklarasi Djuanda diresmikan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia dan diterima serta ditetapkan dalam konvensi hukum laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982).
Kini, 63 tahun setelah Deklarasi Djuanda, bangsa Indonesia masih memiliki “pekerjaan rumah” untuk menjadikan laut benar-benar sebagai masa depan bangsa. Pembangunan infrastruktur laut, mulai dari penyediaan kapal, penambahan pelabuhan, hingga tol laut yang digenjot Pemerintah Jokowi harus dan akan diikuti dengan perubahan pola pikir dan perilaku bahari, baik di jajaran pemerintahan, sektor industri, maupun komunitas masyarakat sipil.
Diperingati Secara Virtual
Atas alasan itulah, peringatan Hari Nusantara tetap dilakukan tahun ini meski situasi pandemi. Peringatan Hari Nusantara 2020 yang pertama kali dicanangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid di tahun 1999 dan ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri melalui Keputusan Presiden RI Nomor 126/2001—adalah upaya untuk terus menerus mengingatkan bangsa Indonesia bahwa laut adalah sektor pembangunan yang harus diprioritaskan, baik dari sisi materiil maupun nonmateriil.
Namun guna mengantisipasi penyebaran COVID-19, peringatan Hari Nusantara tahun ini yang bertema “"Budaya Bahari Demi Peningkatan Ekonomi Era Digital" akan digelar secara virtual atau full digital. Keputusan ini dibuat oleh pemerintah dalam rapat koordinasi (Rakor) yang digelar Selasa, 1 Desember 2020.
“Mengingat keadaan sekarang, kita semua harus prihatin dan bersatu padu untuk menghentikan pandemik ini,” ucap Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan dalam rakor tersebut.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Jhonny G. Plate yang turut hadir pada rapat daring tersebut mengatakan apa yang disampaikan oleh Menko Luhut sudah sangat relevan. “Di satu sisi kita perlu melaksanakan kegiatannya, di sisi lain tugas kita bersama menjaga, mengawal dan mengakhiri COVID-19 ini,” ungkapnya.
Meski partisipasi fisik minimal, Menkominfo yakin bahwa partisipasi yang dapat dijangkau secara digital bisa lebih luas. Tanggung jawab pembangunan kelautan, baik melalui penguatan tradisi bahari maupun peningkatan ekonomi maritim, bukan semata urusan pemerintah, tapi juga butuh kontribusi dari kalangan pengusaha dan masyarakat sipil.
Media massa, sebagai bagian dari masyarakat sipil, juga punya peran besar dalam melaporkan maupun mengkritisi progres pembangunan sektor kelautan. Para jurnalis harus bisa memotret dengan baik inisiatif-inisiatif yang muncul dari pemerintah maupun komunitas lokal—baik berbasis teknologi maupun modal sosial, terutama di kawasan pesisir, yang berhasil menggerakkan ekonomi laut.
Produk jurnalistik yang baik akan mampu memberi pencerahan kepada publik tentang apa yang sudah dan sedang dilakukan oleh pemerintah, kalangan pengusaha, maupun masyarakat sipil dalam menjadikan laut sebagai sumber kesejahteraan dan pemersatu bangsa.
Dari sini, maka masyarakat tak gampang jatuh pada disinformasi yang berpotensi meretakkan kesatuan Indonesia. Untuk itu, membekali generasi muda dengan literasi kelautan dan melatih mereka dengan tradisi bahari adalah hal yang harus dikerjakan secara terus menerus. Sehingga di masa depan, kita benar-benar menganggap laut sebagai samudera kesejahteraan bagi seluruh bangsa.