Liputan6.com, Jakarta - Wacana hukuman mati bagi koruptor kembali menyeruak seiring penetapan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara sebagai tersangka dugaan korupsi bantuan sosial (bansos) Covid-19. Apalagi dalam beberapa kesempatan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri telah mengingatkan bahwa korupsi dana bencana seperti pandemi Covid-19 bisa diancam hukuman mati.
"Jangan pernah berfikir, coba-coba atau berani korupsi dana bansos. KPK pasti akan mengambil opsi tuntutan hukuman mati seperti tertuang pada ayat 2 pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berbunyi Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan," tegas Firli, Sabtu (29/8/2020).
Advertisement
Firli menuturkan, kondisi pandemi Covid-19 tentunya memenuhi unsur frasa dalam keadaan tertentu sesuai pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sehingga, hukuman mati layak diterapkan bagi koruptor bansos Covid-19.
Mantan Penasihat KPK, Abdullah Hehamahua mendukung penerapan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dalam kasus korupsi bansos Covid-19 yang turut menjerat Mensos Juliari Batubara. "Kalau misalnya jaksa KPK bisa masuk ke Pasal 2 B tentang pidana mati, berarti suatu terobosan yang luar biasa," katanya kepada Liputan6.com, Senin (7/12/2020).
Menurut dia, penerapan pasal dengan ancaman hukuman mati bisa berdampak positif untuk memberi shock therapy terhadap perilaku korupsi di Indonesia. Selama ini, KPK belum pernah menjerat koruptor dengan ancaman hukuman mati.
"KPK baru menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap Ketua MK, itu sejarah bagi Indonesia. Yang belum tentang pasal 2 ayat 2 karena disebutkan dalam keadaan tertentu bisa dipidana mati. Penjelasannya mengatakan, yang dimaksud dalam keadaan tertentu adalah negara dalam keadaan perang, atau bencana secara nasional. Kalau KPK bisa membuktikan bahwa Covid-19 adalah bencana nasional bahkan internasional, maka kemudian bisa dipakai pasal itu untuk menuntut hukuman mati," ucap Abdullah.
Lebih lanjut, penerapan ancaman hukuman mati dalam kasus korupsi bansos Covid-19 ini juga dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada KPK. Dia juga menyebut, hal itu bisa membantah anggapan sejumlah pihak bahwa UU baru KPK melemahkan upaya penegakan korupsi.
"Tapi jangan sampai kemudian ini dibuat suatu gerakan politik. KPK lembaga hukum, harus murni pure secara hukum, tidak ikut politik," ujarnya.
Kendati begitu, KPK tidak boleh hanya fokus pada penanganan kasus dugaan korupsi bansos Covid-19. "Akhirnya kemudian jika KPK bisa membuktikan pasal 2 tentang pidana mati, tapi masyarakat tetap mengatakan itu Harun Masiku tak bisa ditangkap-tangkap, maka bersamaan dengan kasus sekarang KPK jangan lupa dengan kasus lama seperti kasus Harun Masiku," kata Abdullah menandaskan.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyatakan bahwa KPK bisa menerapkan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor pada kasus Mensos Juliari dengan konstruksi dakwaan melakukan perbuatan melawan hukum membuat SK penunjukan perusahaan tertentu dengan menitip harga pada setiap unit bansos, sehingga merugikan keuangan negara.
"Dengan konstruksi tersebut, dakwaan tidak hanya korupsi suap, tapi juga korupsi karena melawan hukum merugikan keuangan negara. Tetapi KPK harus mengejar pembuktian 'ada korupsi' ketika menetapkan penunjukan perusahaan pelaksana bansos dan ada perjanjian kembalian Rp 10 ribu per paket bansos, sehingga ancaman hukuman mati bisa diterapkan," kata Fickar kepada Liputan6.com, Senin (7/12/2020).
Penerapan pasal 2 ayat 2 UU Tipikor dengan ancaman hukuman mati bisa diterapkan dalam kasus korupsi bansos Covid-19 yang menjerat Mensos Juliari Batubara. Sebab, situasi pandemi Covid-19 telah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional.
"Oleh karena itu, untuk penjeraan kiranya pantas hukuman maksimal diterapkan bagi korupsi yang dilakukan pada masa pandemi ini. Kalau mau menengok keluar, lihatlah China yang memberlakukan hukuman mati bagi para koruptor, sekrang menjadi raksasa ekonomi dunia," ucap Fickar.
Mantan Komisioner KPK Laode M Syarif menyatakan bahwa perbuatan Mensos Juliari Batubara memenuhi syarat penerapan hukuman mati sesuai Pasal 2 UU Tipikor. Kendati begitu, Laode menyatakan bahwa dirinya tidak percaya dengan manfaat hukuman mati dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
"Karena negara-negara yang tidak memberlakukan hukuman mati, (seperti) Denmark, Norwegia, Finlandia, Selandia Baru adalah negara-negara terbersih di dunia. Sedang negara yang menganut hukuman mati bagi koruptor seperti China dan Indonesia masih sangat korup sampai dengan hari ini," kata Laode kepada Liputan6.com, Senin (7/12/2020).
Menurut Laode, para tersangka korupsi bansos Covid-19 bisa diancam dengan hukuman maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU Tipikor.
"Tuntutan seumur hidup atau maksimum 20 tahun sesuai Pasal 12 UU Tipikor saya rasa sudah sesuai dengan rasa keadilan masyarakat," ucap Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 itu.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Hukuman Mati Bukan Solusi
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menuturkan, pidana mati memang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
Dalam UU tersebut dijelaskan, pemberatan hukuman mati bisa diterapkan apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
"Jadi secara positif memang dimungkinkan untuk mengancam pidana mati kepada para pelaku tindak perkara korupsi dalam keadaan-keadaan yang disebutkan itu. Namun untuk Mensos yang sekarang jadi tersangka ini menurut Pukat memang tidak dapat diancamkan pidana mati," ujar Zaenur kepada Liputan6.com, Senin (7/12/2020).
Dia beralasan, kasus hukum yang disangkakan kepada Mensos Juliari Batubara bukanlah perkara yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor sehingga merugikan keuangan negara. "Tetapi (disangka) pasal 11 atau 12 yaitu penerimaan suap atau gratifikasi, sehingga memang tidak berlaku ancaman pidana mati tersebut," katanya.
Di sisi lain, Pukat UGM memandang Covid-19 bukanlah bencana alam nasional, melainkan bencana non-alam, sehingga tidak masuk kondisi yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Kendati, kondisi krisis ekonomi yang disebabkan pandemi Covid-19 bisa menjadi alasan penerapan Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor.
Namun Zaenur kembali menegaskan, bahwa ancaman hukuman mati ini bisa diterapkan jika terbukti ada kerugian keuangan negara akibat tindak pidana tersebut. Sementara dalam kasus ini, Mensos Juliari Batubara cs disangka dengan pasal suap dan gratifikasi.
"Karena itu, menurut saya ancaman bagi para pelaku ini sesuai dengan apa yang disangkakan yang tepat sebagaimana yang telah diatur dalam UU, dan itu nanti dituntut seoptimal mungkin," ucapnya.
Alih-alih menggunakan ancaman hukuman mati sebagai efek jera, Pukat UGM menyatakan bahwa KPK sebaiknya memiskinkan koruptor dengan cara merampas seluruh uang hasil kejahatannya melalui pendekatan UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Ini yang penting agar harta seluruh hasil kejahatannya dapat dirampas untuk negara, sehingg tidak ada pihak yang dapat menikmati hasil kejahatan korupsinya. Dan ini penting untuk konteks mengetahui siapa saja yang menerima aliran dana dari kasus korupsi ini, karena sering kali korupsi yang dilakukan oleh seorang politikus itu bisa mengalir sampai jauh, tidak hanya dinikmati oleh diri sendiri, kadang mengalir kepada banyak pihak," kata Zaenur.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) berharap narasi ancaman hukuman mati untuk pelaku tindak pidana korupsi dihentikan. Pernyataan itu menyusul bergulirnya wacana ancaman hukuman mati terhadap Mensos Juliari Batubara dalam kasus korupsi bansos Covid-19.
"ICJR sangat menentang keras wacana KPK ataupun aktor pemerintah lainnya untuk menjatuhkan hukuman mati sebagai solusi pemberantasan korupsi, terlebih pada masa pandemi ini," ujar Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (7/12/2020).
ICJR meminta pemerintah fokus pada visi pemberantasan korupsi dengan memperbaiki sistem pengawasan pada kerja-kerja pemerintahan, khususnya dalam penyaluran dana bantuan sosial (bansos) dan kebijakan penanganan pandemi lainnya.
"Penggunaan pidana mati tidak pernah sebagai solusi akar masalah korupsi," kata dia.
ICJR sempat membuat laporan kebijakan soal hukuman mati. Dalam laporan tersebut, ICJR menekankan bahwa penjatuhan hukuman mati tidak mempunyai dampak positif terhadap pemberantasan korupsi di suatu negara.
Dia menyebut, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2019, negara-negara yang berhasil menekan angka korupsi tidak memberlakukan pidana mati bagi pelaku korupsi, seperti Denmark, Selandia Baru, Finlandia, hingga Singapura.
"Sebaliknya, negara-negara yang masih menerapkan pidana mati termasuk untuk kasus korupsi malah memiliki nilai IPK yang rendah dan berada di ranking bawah, termasuk Indonesia (peringkat 85), China (peringkat 80), dan Iran (peringkat 146)," kata dia.
Dia menyebut, narasi pidana mati menandakan seolah pemerintah berpikir pendek atas penanganan korupsi di Indonesia.
Pemberlakuan pidana mati untuk tindak pidana korupsi juga akan mempersulit kerja-kerja pemerintah dalam penanganan korupsi, sebab banyak negara yang bakal menolak kerja sama investigasi korupsi jika Indonesia memberlakukan pidana mati.
"Pembaruan sistem pengawasan yang harus dirombak, ketimbang bersikap reaktif dengan menjatuhkan hukuman mati terhadap kasus-kasus individual," kata Erasmus menandaskan.
Advertisement
Upaya KPK Jerat Koruptor Pidana Mati
Ketua KPK Komjen Firli Bahuri menyatakan, pihaknya siap bekerja keras untuk menjerat Mensos Juliari Batubara dengan Pasal 2 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tipikor yang mengatur hukuman mati kepada koruptor. KPK akan mencari bukti apakah ada kerugian negara dalam tindak pidana tersebut.
"Saya kira memang kita masih harus bekerja keras untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana yang merugikan keuangan negara sebagaimana yang dimaksud pasal 2 itu," ujar Firli di Gedung Penunjang KPK, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Adapun Pasal 2 UU Tipikor berbunyi:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pada Pasal 2 ayat 2 dijelaskan, yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Firli mengatakan, pihaknya segera memeriksa para saksi untuk membuktikan adanya perbuatan sesuai rumusan Pasal 2 yang dilakukan Juliari. Jika terbukti, tak tertutup kemungkinan KPK akan mengancam Juliari dengan hukuman mati.
"Tentu nanti kita akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti apakah bisa masuk ke dalam pasal 2 UU 31 Tahun 1999 itu," kata Firli.
"Di dalam ketentuan UU 31 tahun 1999 pasal 2, barang siapa yang telah melakukan perbuatan dengan sengaja memperkaya diri atau orang lain, melawan hukum yang menyebabkan kerugian keuangan negara, di ayat 2 memang ada ancama hukuman mati," ucap Firli menambahkan.
Saat ini, kata Firli, KPK masih akan fokus membuktikan penerapan Pasal 12 UU Tipikor yang telah disangkakan terhadap Juliari dan tersangka lainnya.
"Dan malam ini yang kita lakukan tangkap tangan adalah berupa penerimaan sesuatu oleh penyelenggara negara, jadi itu dulu," katanya.
Pada kasus ini, Mensos Juliari Batubara, Matheus Joko Santoso, dan Adi Wahyono sebagai penerima suap dan disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara Ardian I M dan Harry Sidabuke pihak swasta yang berperan sebagai pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kronologi Kasus Korupsi Bansos Covid-19
Ketua KPK Komjen Firli Bahuri mengatakan, kasus dugaan korupsi yang menjerat Mensos Juliari Batubara ini bermula dari pengadaan bansos Covid-19 berupa paket sembako di Kemensos dengan nilai sekitar Rp 5,9 triliun untuk total 272 kontrak. Kontrak ini dilaksanakan dengan dua periode.
Juliari disebut menerima fee dari tiap-tiap paket bansos tersebut. Fee yang diterima sebesar Rp 10 ribu per paket sembako senilai Rp 300 ribu.
"Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bansos," ujar Firli di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari.
MJS adalah Matheus Joko Santoso yang merupakan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos dan AW adalah Adi Wahyono. Firli mengatakan, Matheus dan Adi pada Mei sampai November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan, yang di antaranya Ardian IM, Harry Sidabuke, dan juga PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB (Juliari Batubara) dan disetujui oleh AW," ujar Firli soal dugaan korupsi Juliari.
Firli menyebut, pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, Juliari diduga telah menerima fee sebesar Rp 8,2 miliar dari total uang Rp 12 miliar yang diterima oleh Matheus. Uang untuk Juliari diberikan Matheus melalui Adi Wahyono.
Menurut Firli, pemberian uang tersebut dikelola oleh seseorang bernama Eko dan Shelvy N selaku sekretaris di Kemensos yang juga orang kepercayaan Juliari. Uang itu digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi Juliari.
Sementara untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos ini terkumpul fee dari Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sekitar Rp 8,8 milir. Firli menduga uang tersebut juga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.
Advertisement