Liputan6.com, Sigi - Matahari sedang terik saat Hanafi (38 th) dan beberapa petani anggota kelompok Sinar Tani berjibaku memasang mesin sumur di lahan pertanian RT 9, Desa Potoya, Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi. Mesin sebelumnya bantuan dari desa rusak karena sering dipakai bergantian dengan kelompok lain.
Sumber air itu mereka siapkan untuk mengairi 8 hektare lahan milik 12 anggota kelompok itu yang disiapkan untuk menanam jagung sebagai pengganti padi sawah.
Baca Juga
Advertisement
Petani yang sebelumnya menggarap sawah itu mengungkapkan sediaan air dari sumur darurat itu, bisa mengatasi kendala pertanian jagung yang sebelumnya hanya mengandalkan air hujan setelah saluran irigasi gumbasa yang menjadi sumber utama pengairan rusak karena gempa.
“Yang jelas kalau kurang pengairan banyak jagung kami yang rusak. 6 bulan yang lalu hasil panen maksimal per hektare hanya 1 ton,” Hanafi menceritakan, Minggu (29/11/2020).
Di lokasi lain, di Desa Karawana, air dari sumur bantuan juga dimanfaatkan sejumlah petani untuk membuat kolam budidaya ikan demi tambahan penghasilan selain bertani saat situasi pandemi.
“Kalau ada air kan bisa digunakan untuk usaha lain,” kata Rafiq (40 th) di lahan tomatnya di Desa Karawana.
Hanafi dan Rafiq mengakui bantuan mesin sumur vital bagi mereka. Berkat sediaan air, bertani sebagai sumber ekonomi utama bisa mereka lakukan dengan baik dan terencana.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak video pilihan berikut ini:
Intervensi Pengampu Petani Sampai Kapan?
Kondisi petani di dua desa itu hanya gambaran kecil dari nasib petani di empat kecamatan di sigi yang merasakan dampak langsung terhentinya pengairan dari Irigasi Gumbasa yang membuat mereka sepenuhnya bergantung pada sumber air alternatif.
Kepala UPTD Pengairan Daerah Irigasi (DI) Gumbasa, Arifin menyebut baru ada kurang lebih 200 sumur darurat dari pemerintah dan NGO yang disebar di lahan pertanian kategori rusak ringan dan sedang. Arifin mengakui jumlah itu jauh dari kebutuhan ideal jika merujuk data lahan terdampak di Sigi yang mencapai 6.611 hektare.
“Estimasi kami, idealnya harus ada 1.000 sumur darurat dengan luasan lahan yang terdampak seperti itu” kata Arifin, Senin (7/12/2020).
Sementara Lembaga Kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mencatat, sejak pertengahan tahun 2019 telah membangun 59 unit sumur recovery pertanian di enam Desa yang ada di empat kecamatan tersebut. Jumlah itu belum termasuk beberapa sumur wakaf yang dibangun untuk kebutuhan air bersih konsumsi warga yang juga digunakan untuk pertanian terbatas. Para petani juga diberi akses mendapatkan bibit yang akan mereka tanam dengan mengajukan permintaan.
“Kunci utamanya air. Dengan itu para petani bisa mengatasi situasi pandemi dengan usaha-usaha lain. kami terus berupaya memenuhi kebutuhan itu di daerah-daerah lainnya,” Kepala ACT Cabang Sulawesi Tengah, Nurmarjani Loulembah mengungpkan.
Nani, begitu sapaan akrabnya juga bilang, pihaknya juga turut menjamin sediaan pupuk. Dia menilai subsidi pupuk itu bisa memangkas biaya yang biasanya mengandalkan tengkulak dan mengalihkan untuk kebutuhan keluarga di masa pandemi ini.
Intervensi baik dari pemerintah maupun NGO untuk petani sigi disebut masih akan berlangsung lama. Ini karena menunggu pemulihan Irigasi Gumbasa dan saluran-salurannya yang hingga akhir tahun 2020 ini baru menjangkau 1.079 hektare lahan di dua kecamatan, Gumbasa dan Tanambulava.
“Awal Bulan Februari, 2021, perbaikan saluran dan jaringan irigasi lainnya dilakukan lagi. Prakiraan di tahun 2022 sudah menjangkau semua lahan,” Kepala UPTD Pengairan Daerah Irigasi (DI) Gumbasa, Arifin, memungkasi.
Bagi petani sendiri penyediaan sumber air darurat tetap menjadi pengampu utama untuk keberlangsungan pertanian dan peningkatan ekonomi dari dampak gempa dan pandemi.
“Dengan adanya air hasil panen jagung kami bisa mencapai 2 ton per satu hektare. Kalau harga per kilogramnya Rp2.500 kami saya bisa dapat kurang lebih Rp5 juta. Semoga harga bisa naik lagi,” Cerita Hanafi, Ketua Kelompok Sinar Tani, Desa Potoya.
Advertisement