Layanan TBC Tak Boleh Dihentikan, Tetap Agresif Meski di Masa Pandemi

Penyakit TBC dapat disebabkan adanya basil dari bakteri Mycobaceterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyerang bagian tubuh manapun, namun TBC yang paling umum menyerang paru-paru.

oleh Reza pada 08 Des 2020, 11:27 WIB
Perlu diketahui gejala utama pasien TBC paru, yaitu batuk berdahak selama dua minggu atau lebih.

Liputan6.com, Jakarta Tuberkulosis atau sering disebut TBC merupakan penyakit menular terbesar di dunia setelah HIV. Penyakit TBC dapat disebabkan adanya basil dari bakteri Mycobaceterium tuberculosis. Penyakit ini dapat menyerang bagian tubuh manapun, namun TBC yang paling umum menyerang paru-paru.

Berdasarkan data yang dihimpun, Indonesia termasuk delapan negara yang menyumbang 2/3 kasus TBC di seluruh dunia, bahkan menempati posisi kedua setelah India dengan kasus sebanyak 845.000 dengan kematian sebanyak 98.000 atau setara dengan 11 kematian/jam. 

Di sisi lain, baru sekitar 568 ribuan kasus yang baru teridentifikasi, sementara ada sekitar 33% kasus TBC yang belum ditemukan di Indonesia

Perbedaan TBC dan Covid-19

Pandemi saat ini diakibatkan dengan adanya penyebaran virus Covid-19. Penularan virus tersebut bisa melalui udara. 

Bicara TBC dan Covid-19, sebenarnya memiliki kesamaan, yaitu menular melalui droplet dan udara, serta menyerang bagian paru paru sehingga gejalanya pun kurang lebih sama, antara lain batuk, sesak nafas, badan letih lesu, demam/meriang. 

TBC disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium tuberculosis, sedangkan Covid-19 disebabkan oleh Virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV2), sehingga menyebabkan penyakit Coronavirus Disease-2019 (Covid-19).

Bakteri dan virus adalah jenis patogen yang bisa menyebabkan infeksi berbahaya. Memang sulit membedakan antara infeksi virus dan bakteri karena memiliki banyak kesamaan.

Sebagian besar pasien TBC adalah usia produktif (15 - 55 tahun), sehingga akan menurunkan produktivitas kerja dan kualitas hidup. Namun Salah satu perbedaan yang mendasar antara 2 penyakit ini adalah, jika Covid-19 menunjukkan masa inkubasi yang relatif singkat, 0-14 hari, sedangkan TBC bisa menjadi laten, dorman, atau tidur di dalam tubuh seseorang, untuk nanti menjadi bangkit dalam rentang waktu yang lama, khususnya ketika daya tahan tubuh seseorang tersebut sedang lemah. Penderita TBC dengan kondisi  dan gizi yang kurang, mudah menjadi faktor risiko tertular  Covid-19

Penemuan kasus TBC mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2019 ke tahun 2020. Pengobatan penderita TBC dan pengambilan obat ke layanan kesehatan mengalami kendala di kala pandemi, karena adanya pembatasan diberbagai sektor. Kegawatdaruratan pandemi Covid-19, menyebabkan rasa takut masyarakat untuk memeriksakan gejalanya ke layanan kesehatan, 

Tenaga Kesehatan beralih fokus untuk penanganan Covid-19, belum lagi mengenai dukungan sosial, atau pendampingan pasien dalam menyelesaikan pengobatan secara langsung menjadi sangat terbatas. 

Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan protokol yang mengatur layanan Tuberkulosis selama fase pandemi Covid-19. Protokol Kesehatan tersebut telah didiseminasikan secara nasional, yaitu layanan TBC tidak boleh dihentikan karena jika putus berobat akan menjadi Resisten Obat dan akan menularkan kepada yang kontak, Penunjukan fasyankes rujukan sementara dan terpisah dengan fasyankes Covid-19.

Penunjukkan faskes lain untuk layanan laboratorium untuk diagnosis TBC dan dilakukan penyesuaian dengan penanganan Covid-19, menggunakan teknologi digital untuk memantau pengawasan minum obat pasien TBC, mengajak dan melibatkan  komunitas setempat untuk pendampingan pasien. Kemenkes menghimbau agar pengobatan TBC tetap berjalan tanpa pasien harus terlalu sering mengunjungi fasyankes.

Sementara itu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau kerap disapa Jokowi memberikan arahan pelacakan secara agresif untuk menemukan penderita TBC sehingga dapat menumpang proses pencarian untuk Covid-19, dengan melakukan contact tracing, yakni dengan Investigasi kontak dan melacak kontak erat dan dilakukan skrining gejala”.

Jokowi menambahkan layanan diagnostik maupun pengobatan TBC di saat pandemi harus tetap berlangsung dan obati sampai sembuh, stok obat-obatan pun harus tetap tersedia. 

Arahan lainnya dari Jokowi adalah upaya pencegahan, preventif, dan promotif untuk mengatasi TBC ini betul-betul harus lintas sektor, termasuk dari sisi infrastruktur yang harus memadai.

Sementara itu, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan RI menjelaskan TBC bisa menyerang siapa saja, tak mengenal status sosial dan usia, dan dapat menyebar dengan sangat mudah melalui droplet. Namun TBC bisa disembuhkan, asal dengan pengobatan yang tuntas. 

“TBC pun dapat dicegah dengan menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan selalu mengkonsumsi makanan bergizi seimbang, memperhatikan ventilasi dan sirkulasi udara di rumah, olahraga teratur, pemberian vaksin BCG bagi anak dibawah 5 tahun, tidak merokok, menerapkan etika batuk-bersin yang tepat, dan mencuci tangan pakai sabun pada air yang mengalir serta memakai masker jika memang sedang batuk atau flu,” jelasnya.  

“Segera periksakan gejala TBC sedini mungkin, obati sampai sembuh dan tuntas, jangan biarkan bakteri TBC berkembang semakin parah dalam diri. Pemerintah telah menyediakan obat gratis dan berkualitas kepada seluruh pasien TBC yang tersedia di seluruh Puskesmas di Indonesia” tambahnya

Temukan TBC, Obati Sampai Sembuh (TOSS TBC) dimulai dari diri sendiri. Kita ingin menciptakan Indonesia dan seluruh masyarakat dunia terbebas dari TBC dan “mulai dari diri sendiri” artinya setiap individu, kelompok, lintas sektor dapat berkontribusi secara aktif dalam pencegahan dan penanggulangan TBC, sehingga Pencanangan Gerakan Maju Bersama Menuju Eliminasi Tuberkulosis (TBC) 2030, tak hanya sekadar Jargon.

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya