Liputan6.com, Aceh - Aceh masih diselimuti kabut tebal konflik agraria. Bab tersebut terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit (PKS) yang tertebar di sejumlah gampong dari 4 kabupaten di provinsi ujung utara pulau Sumatera.
Sejumlah perusahaan dituding bermasalah dengan izin luasan areal perkebunan mereka. Tuduhannya cukup serius: telah merampas lahan masyarakat dengan paksa serta semena-mena.
Kasus yang terjadi di Aceh, yakni, antara masyarakat Gampong Paya Rahat, Tengku Tinggi, Perkebunan Sungai Iyu, Tanjung Lipat I serta II versus PT Rapala di Aceh Tamiang; Krueng Simpo versus PT Syaukat Sejahtera di Bireuen; Gampong Pante Cermin versus PT Dua Perkasa Lestari (PT DPL) di Abdya; dan Cot Mee versus PT Fajar Baizury & Brother's di Nagan Raya.
Resolusi dari konflik agraria tersebut mengalami pergerakan yang dinilai mandek. Upaya penyelesaiannya terbilang tidak pernah sampai pada taraf yang holistik, tidak diseriusi, terutama oleh lembaga negara.
Baca Juga
Advertisement
Kasus-kasus ini tidak pernah sampai pada tahap ketuk palu kembalinya lahan-lahan yang dituding telah dirampas. Di satu sisi, manajemen terus menampik tuduhan yang dialamatkan terhadap perusahaan mereka, sementara di pihak yang lain, pemerintah daerah bak hilang taring serta lebih banyak melontarkan sesuatu yang non sequitur.
Keberadaan TAP MPR RI Nomor IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 pun tak serta merta menjamin penyelesaian yang berdimensi keadilan bagi masyarakat. In casu, masyarakat berada pada posisi yang tidak diuntungkan sama sekali.
Kabar teranyar menyatakan bahwa salah satu dari perusahaan yang telah disebutkan sebelumnya, yakni, PT DPL, dilaporkan telah dicabut dari daftar rantai pasok Golden Agri Resources (GAR), perusahaan yang selama ini membeli hasil kebun mereka. Apa mau, sawit-sawit tersebut tumbuh di bumi mana prahara konflik agraria sedang terjadi.
Mengutip situs resmi mereka, GAR adalah salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit terbesar di dunia yang berdiri pada 1996, beroperasi di Indonesia serta memiliki bisnis distribusi di Eropa dan Amerika Serikat, termasuk memiliki pelbagai bisnis di Cina. Perusahaan yang tercatat di Bursa Singapura pada tahun 1999 serta memiliki beberapa anak perusahaan ini mengambil pasokan dari PT DPL melalui pabrik kelapa sawit bernama PT Beurata Subur Persada (PT BSP).
Dalam laporan Rainforest Action Network (RAN), yang telah dikonfirmasi oleh Liputan6.com, diterangkan bahwa GAR telah menginvestigasi PT. DPL secara mandiri sejak 2016, setelah perusahaan pemasok tersebut terungkap melakukan perusakan lahan gambut Tripa, yang disebut "ibu kota orang utan dunia." Namun, ketika itu, entah disengaja atau tidak, pelbagai pelanggaran yang dilakukan oleh PT DPL malah tidak muncul sama sekali dalam daftar keluhan yang ada di situs resmi GAR.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Pintu Masuk
"Entah GAR gagal mengidentifikasi ketidakberesan izin operasi PT. DPL pada awalnya, perampasan tanah adat yang terdokumentasi dengan baik, perusakan tanaman pangan masyarakat tanpa Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal tanpa Paksaan (PADIATAPA), dan pelanggaran kebijakan Kementerian Dalam Negeri Indonesia atas penggunaan aparat militer untuk mengintimidasi dan menggusur warga yang melanggar, atau GAR memilih untuk mengabaikan pelanggaran-pelanggaran tersebut," terang Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Hutan RAN, mengutip laporan mereka.
Dalam daftar keluhan termutakhir GAR, yang ditelusuri oleh Liputan6.com, PT DPL masuk dalam lis perusahaan yang dilaporkan dengan status "noncompliant" atau "tidak patuh." GAR sendiri menuliskan ekpos tersebut berdasarkan laporan dari RAN yang diterima oleh perusahaan itu pada 11 Juli 2016.
"GAR telah mengeluarkan pembaruan pada daftar keluhannya yang mengkonfirmasikan pelanggaran PT. DPL terhadap Kebijakan Sosial dan Lingkungan GAR dan keputusan mereka untuk menghilangkan pemasok tersebut dari rantai pasoknya yang diberlakukan mulai 6 Oktober 2020," kata Gemma.
Sebelumnya, GAR mengundang YLBHI-LBH Banda Aceh dalam diskusi pembahasan kasus perampasan lahan masyarakat dalam konsesi PT DPL pada tanggal 9 September 2020. Diskusi ini bertujuan untuk mengklarifikasi temuan kasus perampasan lahan oleh perusahaan tersebut.
Dicabutnya PT DPL dari rantai pasok GAR seharusnya menjadi kabar baik menurut Direktur YLBHI-LBH Banda Aceh, Syahrul. Fakta ini bisa dimanfaatkan sebagai pintu masuk untuk melepaskan sengkarut konflik agraria yang selama ini melilit masyarakat.
“Keputusan ini menunjukkan bahwa PT DPL memang sarat dengan masalah. Ini harus dijadikan sebagai pintu masuk baru bagi pemerintah terutama pemerintah Abdya untuk melakukan evaluasi terhadap PT DPL dan segera menyelesaikan konflik lahan dengan masyarakat," ujar Syahrul, kepada Liputan6.com.
Menurut Syahrul, masyarakat telah melakukan pelbagai upaya untuk merebut kembali lahan milik mereka yang diduga telah dirampas oleh PT DPL, baik pada tingkat kabupaten, provinsi bahkan pusat. Namun, penyelesaiannya, baik setelah dilaporkan ke pihak eksekutif maupun legislatif, terkesan jalan di tempat.
Hasil investigasi dan analisis YLBHI-LBH Banda Aceh menemukan bahwa masyarakat telah lebih dahulu menguasai lahan yang dipersengketakan sebelum PT DPL berdiri. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan pohon mangga, rambutan, kuini, serta jengkol yang ditanam oleh warga dengan umur tanam diperkirakan lebih dari 15 tahun.
"Masyarakat mulai menanam di lahan tersebut sejak 1992. Kemudian, pada 1996-1998 konflik senjata di Aceh yang semakin parah membuat masyarakat memutuskan meninggalkan lahan. Setelah masa perdamaian, masyarakat kembali turun lahan tersebut pada tahun 2005-2006," jelas Syahrul.
Advertisement
Monumental Hari HAM
Menurut dia, pengelolaan lahan pasca damai saat itu didukung oleh kebijakan bantuan modal bibit dari pemerintah setempat. Namun, pada 2008-2009, ketika sebagian lahan mulai digarap oleh masyarakat, tiba-tiba lahan tersebut diklaim masuk dalam areal Hak Guna Usaha (HGU) PT DPL.
"Ini merupakan kejanggalan, dan pelanggaran prosedur rantai perizinan yang tidak dilaksanakan dengan baik sesuai peraturan perundang-undangan. Bisa dipastikan tidak akan terbit HGU tersebut kecuali melalui ganti rugi atau ada perjanjian lain dengan masyarakat," lanjutnya.
Pengklaiman HGU di atas lahan yang tengah digarap dituding telah mengakibatkan para petani setempat kehilangan sumber daya ekonomi mereka. Syahrul mengatakan bahwa proses pengusiran masyarakat dari tanah yang tengah disengketakan itu berdimensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) karena berlangsung dengan represi seperti menempatkan alat negara sebagai tameng untuk menakut-nakuti sehingga proses penggarapan lahan oleh perusahaan berjalan lancar.
"Setidaknya, masing-masing petani kehilangan 2 hektare wilayah kelolanya," sebut Syahrul.
Fakta-fakta di atas dinilai menambah daftar buram dari penyelesaian konflik agraria di Indonesia di tengah koar-koarnya pembaruan agraria oleh pemerintah. Di satu sisi, lagi-lagi menjadi satu di antara ribuan monumental pelanggaran HAM yang kembali menguar pada momen-momen seperti peringatan Hari HAM internasional yang diperingati setiap 10 Desember.
"Bertepatan dengan Hari HAM internasional, penyelesaian masalah ketimpangan pemanfaatan sumber daya alam, salah satunya penyelesaian masalah perampasan lahan adalah momen penting bagi pemerintah untuk menunjukkan bahwa negara serius untuk menjamin pemenuhan HAM," tegas Syahrul.
Ia menambahkan, hak asasi tidak hanya berbicara tentang pemenuhan hak sipil dan politik, akan tetapi, negara juga mesti hadir serta aktif dalam menjamin pemenuhan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satunya, keadilan bagi masyarakat korban perampasan lahan.
"Selama ini, masih terlihat jelas ketimpangan hak atas sumber daya alam. Aturan hukum yang dibuat negara masih terlihat semata hanya untuk melindungi kepentingan pemodal. Konflik lahan dimana-mana, bahkan, angkanya terus meningkat, dan masyarakat yang kehilangan tanah juga semakin banyak. Negara harus hadir untuk ini," pungkas lelaki yang pernah aktif di organisasi Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) itu.
Perusahaan Menampik, Pemerintah Normatif
Sementara itu, orang yang menjadi pemilik PT DPL, Said Syamsul Bahri, menampik tuduhan yang telah dialamatkan terhadap perusahaannya. Ia menantang, jika memang tuduhan perampasan paksa tersebut memang benar, maka silakan melapor kepada pihak yang berwenang.
"Negara kita ini negara hukum. Penyerobotan itu sama dengan merampok orang. Halusnya penyerobotan, rampok namanya. Polisi ada, penegak hukum ada, jadi janganlah, mentang-mentang mengerti hukum, orang dituduh ini, dituduh itu, kan, enggak baik?" jawabnya, ketika dihubungi oleh Liputan6.com belum lama ini.
Selain itu, ia turut menyinggung serta membanding-bandingkan kepemilikan HGU yang menurutnya sebagian besar tidak dimiliki oleh pengusaha lokal. Harusnya, tukas dia, kenyataan ini bisa mendorong rasa solider kepada pengusaha seperti dia, bukan malah sebaliknya.
"Saya ini pengusaha Aceh, tidak ada orang kita orang Aceh yang ada HGU itu, semuanya milik Cina, apa bisa kayak gitu? Secara isme, kita sesama Aceh, seharusnya, pengusaha kita yang orang Aceh dibantu, kalau ada rezeki, bisa kita sedekahkan kepada anak yatim, bisa kita bayar zakat, janganlah punya Cina itu yang kita makan terus setiap hari. Jadi, kenapa orang kita menekan orang kita," cetusnya.
Sementara itu, menjawab Liputan6.com terkait peluang penyelesaian konflik agraria antara masyarakat dengan PT DPL setelah munculnya ekpose resmi dari GAR yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut telah dicabut dari rantai pasok mereka karena berstatus tidak patuh serta terlibat terhadap pelanggaran norma-norma hak asasi manusia dan kebijakan-kebijakannya, Bupati Kabupaten Abdya, Akmal Ibrahim melontarkan jawaban yang terkesan normatif.
"Akan saya pelajari dulu permasalahannya secara konkret. Saya akan menugaskan aparat saya untuk menpelajari lebih detail dan melaporkan pada saya. Setelah itu baru akan ada tindak lanjut," singkat Akmal, via pesan WhatsApp.
Advertisement