Sah, Cukai Rokok Naik 12,5 Persen di 2021

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 10 Des 2020, 12:12 WIB
Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 12,5 persen.

“Kita akan naikkan cukai rokok sebesar 12,5 persen,” ujar menkeu dalam Press Statement : Kebijakan Cukai Rokok, Kamis (10/12/2020).

Rinciannya, untuk industri yang mengeluarkan atau meprosukdi sigarete putih mesin (SPM) golongan I akan dinaikkan sbeesar 18,4 persen, SPM IIA 16,5 persen, dan SPM IIB naik sebesar 18,1 persen.

Kemudian, untuk sigaret kretek mesin (SKM), untuk golongan I naik sebesar 16,9 persen, SKM IIA naik 13,8 persen, dan SKM IIB naik 15,4 persen.

“Sementar itu, untuk industi sigaret kretetk tangan (SKT), tarif cukainya tidak berubah. Atau dalam hal ini tidak dinaikkan. Artinya kenaikannya 0 persen,” kata Menkeu.

Hal ini, lanjut Menkeu, mempertimbangkan bahwa industri SKT adalah yang memiliki tenaga kerja terbesar dibandingkan yang lainya.

“Dengan komposisi tersebut, maka rata-rata kenaikan tarif cukai adalah sebesar 12,5 persen. Ini dihitung rata-rata tertimbang berdasarkan jumlah prosuksi dari masing-masing jenis dan golongan,” jelas Menkeu.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Cukai Rokok Naik di 2021, Produsen Rokok Kian Terpuruk

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP-RTMM-SPSI) Sudarto kembali meminta kepada pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT) pada 2021, serta berharap agar kenaikan tarif cukai segmen rokok mesin di bawah 10 persen atau single digit.

Hal ini demi menjaga keberlangsungan industri hasil tembakau dan juga tenaga kerja. Terlebih, saat ini kondisi IHT terpuruk akibat kenaikan cukai tinggi pada 2020, serta situasi pandemi COVID-19.

“Saya setuju supaya cukai untuk SKT tidak usah dinaikkan. Sehingga, mereka yang bekerja sekarang ini masih bertahan, jadi tidak menambah pengangguran. Dunia usaha justru harus didorong supaya bisa merekrut yang baru. Paling sedikit mempertahankan mereka yang sudah bekerja,” ujar Sudarto, Senin (23/11/2020).

Disampaikan oleh Sudarto, tenaga kerja rokok adalah korban paling rentan jika ada kenaikan tarif cukai SKT pada 2021.

“Mereka semua tulang punggung keluarga. Realitas dalam regulasi tentang IHT, suka tidak suka telah menghantam kepastian pekerja rokok. Khususnya sektor SKT yang merupakan sektor padat karya menyerap tenaga kerja besar, serta termasuk pembangkit ekonomi daerah.

Sudarto mengharapkan kepedulian Pemerintah sebagai bukti perlindungan kepada pekerja. Untuk itu harus ditekankan bahwa perusahaan sekarang ini bisa menyerap tenaga kerja, harus diupayakan untuk tidak mengurangi tenaga kerja.

Sementara itu, pengamat ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak menyatakan meski pemerintah sudah melakukan berbagai usaha, tapi hal tersebut belum menolong menanggulangi masalah pengangguran.

“Kesempatan kerja yang sudah ada harus bisa dipertahankan untuk tidak menambah PHK. Sehingga usaha yang ada saat ini yang masih bisa menampung harus dipertahankan,” kata Payaman.

“Saya setuju supaya cukai untuk SKT tidak usah dinaikkan sehingga mereka yang bekerja sekarang ini masih bertahan. Pemerintah harus berupaya tidak menambah pengangguran. Dunia usaha justru harus didorong supaya bisa merekrut yang baru. Paling sedikit mempertahankan mereka yang sudah bekerja,” pungkas Payaman. 


Produsen Rokok Sebut Kenaikan Cukai Tak Tepat Diterapkan di Tengah Pandemi

Dok. Rokok ilegal Foto: Pixabay

Kementerian Keuangan belum memastikan waktu penerbitan aturan baru mengenai kenaikan tarif cukai rokok pada 2021. Tarif cukai rokok akan dikeluarkan pada waktunya untuk tujuan paling optimal dan dalam obyektif yang cukup banyak.

Dalam penyusunan kebijakan banyak dimensi yang harus dihadapi antara lain dimensi kesehatan, dimensi penerimaan negara, dimensi kondisi tenaga kerja, dimensi petani tembakau yang memasok industri rokok, dan dimensi maraknya rokok ilegal yang diproduksi di dalam negeri.

Menyikapi hal itu, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) berharap pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani agar memperhatikan amanat Undang Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai dalam penyusunan rencana kebijakan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2021.

Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan mengatakan, amanat Pasal 5 Ayat (4) UU tentang Cukai menyebutkan bahwa dalam membuat alternatif kebijakan mengoptimalkan target penerimaan, Menteri yang bersangkutan harus memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri.

“Penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan alternatif kebijakan Menteri dalam mengoptimalkan upaya mencapai target penerimaan, seharusnya dengan memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha industri, dan disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk mendapat persetujuan," kata Henry dalam keterangan resmi di Jakarta, Senin (23/11/2020).

Dalam catatan Perkumpulan GAPPRI, selama ini pemerintah belum menjalankan amanat UU tentang Cukai. Pasalnya, aspirasi dan kondisi industri selama ini tidak mendapat perhatian dalam penentuan kebijakan cukai 2021.

"Sementara ratusan pabrik rokok sudah menutup operasi dan sebagian kecil yang masih survive kehilangan konsumen akibat tingginya harga rokok," imbuh Henry Najoan.

Henry Najoan menegaskan bahwa lima dimensi yang dikemukakan bu Sri Mulyani sebagaimana marak di berbagai media tidak menyebutkan pelaku industri sebagai dimensi penting dalam rencana membuat kebijakan CHT 2021.

Kedua, rencana Kementerian Keuangan menaikkan tarif CHT 2021 antara 13-20 persen kurang tepat di tengah pelemahan kinerja IHT.

"Kenaikan tarif CHT 2020 yang sangat tinggi dan pelemahan daya beli akibat pandemi Covid-19 salah satu berdampak pada sektor IHT," terang Henry Najoan.

Ketiga, rencana kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau belum pernah dikomunikasikan dengan pelaku usaha. Karenanya Perkumpulan GAPPRI berharap sebaiknya perumusan kebijakan tersebut dilakukan secara transparan dan terukur, tidak mengorbankan IHT. 


Infografis Ekonomi Indonesia di Tengah Wabah Corona

Infografis Ekonomi Indonesia di Tengah Wabah Corona (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya